Senin, 16 Mei 2011

Al Quran sebagai sumber hukum syari'at

I. PENDAHULUAN.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jagad raya dengan penuh rahasia. Shalawat serta salam selalu terhaturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW makhluk tuhan paling sempurna. Islam adalah agama yang relevan di setiap tempat maupun zaman. Di dalam islam terdapat dua wilayah, yaitu syari’at dan ‘aqidah. Syari’at adalah segala bentuk peribadatan yang berkaitan dengan dhohir atau luar yang notabenenya dapat ditemukan secara empirik, lingkup syari’at adalah alhukmu bidhdhowaahir tidak bilbawaathin. Sedangkan ‘aqidah berkaitan dengan kepercayaan atau lingkupnya bersifat baathiniyyah. Secara etimologi, syari’at adalah: “jalan ke tempat pengairan” atau “tempat lalu air di sungai”. Secara terminologi adalah: “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian, syari’at bersifat ‘amaliyyah.[1]

Fiqih adalah ilmu yang mempelajari hukum syari’at yang bersifat pekerjaan yang sumber pengambilannya adalah dalil-dalil yang rinci dari Al Qur’an dan Al Hadits. Sedangkan Ushul Fiqih adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali hukum dari dalil-dalil syari’at. Artinya, Ushul Fiqih adalah metodologi dalam menggali serta menetapkan sebuah hukum. Fiqih membutuhkan Ushul Fiqih sebagai alat untuk istinbath atau mengambil sebuah hukum dari Al Qur’an maupun Al Hadits.

Pada kesempatan kali ini, kami insyaAllah akan membahas tentang sumber hukum pertama dalam Ushul Fiqih yaitu Al Quran, tentunya membahas Al Qur’an memakai paradigma Ushul Fiqih, definisi Al Qur’an, Al Qur’an sebagai sumber hukum syari’at, keistimewaan Al Qur’an, macam-macam hukum dalam Al Qur’an, mekanisme Al Qur’an dalam menunjukkan sebuah hukum, kaidah-kaidah istinbath hukum dalam Al Qur’an, dan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang yang ingin menggali hukum dari Al Qur’an.

II. PEMBAHASAN.

A. Definisi Al Qur’an.

Al Qur’an adalah merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rosulullah Muhammad ibn ‘Abdullah dengan medium bahasa Arab yang sampai kepada kita secara mutawatir.[2] Banyak ulama’ menambahkan pengertian “yang dengan satu ayat bisa melemahkan musuh atau merupakan sebuah mukjizat dan yang membacanya dianggap sebagai ibadah”.[3] Biasanya maksud dari term Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang ditulis dalam lembaran-lembaran yang dijadikan sebagai pedoman umat islam, mulai dari surat Al Fatichah sampai surat An Naas. Tentang basmalah dalam Al Qur’an, ada yang mengatakan bahwa basmalah merupakan sebuah ayat dalam Al Qur’an dan ada yang mengatakan tidak. Tentang dikategorikannya basmalah sebagai sebuah ayat atau tidak, kami tidak perlu mengutarakan perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Yang terpenting adalah bahwa Al Qur’an adalah sumber hukum syari’at yang pertama.

Termasuk esensi pokok Al Qur’an adalah mutawatir, sehingga adanya bacaan yang asing yang tidak biasa digunakan oleh para ulama’ ahli qiro’ah (qurro’ al amshar) tidak dianggap Al Qur’an dan tidak sah shalat dengan bacaan tersebut. qurro’ al amshar adalah yang telah dibaca oleh tujuh orang imam, yaitu: Ibnu Katsir, Nafi’, Ibnu ‘Amir, Abu ‘Amr, ‘Ashim, Hamzah, dan ‘Ali Al Kisaa’i. Ketujuh bacaan tersebut telah disepakati kemutawatirannya.

B. Al Qur’an sebagai sumber hukum syari’at.

Pengertian sumber atau mashdar hukum syari’at adalah dalil-dalil yang bisa dijadikan landasan dalam pengambilan sebuah hukum syari’at. Dalil ada dua macam, yang pertama adalah dalil yang disepakati kebanyakan ulama’ yaitu: Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Yang kedua adalah dalil yang masih diperselisihkan ulama’ untuk dijadikan sebagai sebuah sumber ataupun landasan, seperti: Istihsan, Istishhab, Mashlahah mursalah, ‘uruf, saddudz dzarooi’ dsb.[4] Sedangkan ketika melihat jenisnya, maka kita akan menemukan bahwa dalil terbagi menjadi dua, dalil naqly dan ‘aqly. Al Qur’an adalah termasuk dalam kategori dalil naqly dan merupakan sumber hukum yang harus dijadikan landasan utama dalam penetapan sebuah hukum. Dasar dari hal tersebut adalah firman Allah:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa’, 59).

!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (Al Maidah, 48)

Dasar dari hadits yang menunjukkan bahwa Al Qur’an adalah sumber pertama dalam menetapkan sebuah hukum syar’i adalah hadits Mu’adz ibn Jabal sewaktu diutus Nabi pergi ke Yaman, Nabi berkata kepadanya: “Dengan apa engkau memutuskan (sebuah permasalahan)??”, Mu’adz berkata: “Aku memutuskan (suatu perkara) dengan Al Qur’an”, Nabi berkata: “Jika engkau tidak menemukan (dalil di dalamnya)??”, Mu’adz berkata: “Aku memutuskan (suatu perkara) dengan sunnah rosul”, Nabi berkata: “Jika engkau tidak menemukan (dalil di dalamnya)??”, Mu’adz berkata: “Aku putuskan dengan pendapatku”.[5] Dalam hadits tersebut, kita dapat mengetahui tentang mekanisme penetapan sebuah hukum syar’i, dan Al Qur’an adalah rujukan pertama dalam menetapkan hukum, baru kemudian Al Hadits dan disusul ijtihad atau pendapat.

C. Keistimewaan Al Qur’an.

Al Qur’an diturunkan kepada umat Islam agar dijadikan pedoman dalam kehidupan, dan tentunya akan selalu tetap relevan di setiap tempat maupun zaman. Al Qur’an memiliki beberapa keistimewaan yang tidak terdapat dalam kitab-kitab ataupun buku-buku yang lain. Diantaranya adalah:

1. Terjaganya otentisitas Al Qur’an, Al Qur’an yang ada sekarang sama dengan Al Qur’an pada saat diturunkan dan tidak ada penambahan maupun pengurangan satu huruf pun. Dari generasi ke generasi Al Qur’an akan tetap eksis sampai hari kiamat. Karena Alllah sudah berjanji menjaga keotentikannya, firman Allah:

$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (Al Hijr, 9).

2. Al Qur’an tiada tanding, maksudnya adalah bahwa tidak ada satu kitab atau buku yang mampu menandingi Al Qur’an dari segi manapun. Dan Allah sudah menash dalam Al Qur’an bahwa seandainya manusia dan jin berkonsolidasi untuk membuat bandingan Al Qur’an, maka mereka tidak akan pernah bisa meskipun Cuma satu ayat, firman Allah:

@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ

Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain" (Al Isroo’, 88).

(#qè?ù'uù=sù ;]ƒÏpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. šúüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ

Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (Aththur, 34).

3. Al Qur’an sumber segala pengetahuan dan bersifat ilmiah. Di dalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan tentang segala sesuatu, sudah terbukti bahwa Al Qur’an adalah kebenaran sejati dan teruji secara ilmiah. Kebenaranya tidak dapat diragukan lagi, firman Allah:

$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u šcrçŽ|³øtä ÇÌÑÈ

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (Al An’aam, 38).

óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÎÌÈ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Fushshilat, 53).

4. Al Qur’an sumber hudan atau petunjuk bagi umat manusia terlebih orang-orang yang bertakwa, firman Allah:

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (Al Baqoroh,2).

5. Memakai bahasa yang indah, Al Qur’an bukan kitab sastra tetapi bahasanya melebihi buku-buku sastra. Akal pun terbui untuk mencoba menyaingi, firman Allah:

!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wŠÎ/ttã öNä3¯=yè©9 šcqè=É)÷ès? ÇËÈ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (Yusuf, 2).

D. Macam-macam hukum dalam Al Qur’an.

Macam-macam hukum dalam Al Qur’an menurut Dr. Wahbah Zuhayli ada 3:

1. Hukum-hukum i’tiqoodiyyah (bersifat keyakinan), yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercayai oleh setiap mukallaf, seperti mempercayai Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para rosulNya, dan hari akhir.

2. Hukum-hukum khuluqiyyah (bersifat moral), yang berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang hina.

3. Hukum-hukum ‘amaliyyah (bersifat perbuatan/tindakan), yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum dan pembelanjaan. Jenis hukum yang ketiga inilah yang merupakan fiqihnya Al Qur’an, dan inilah (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum ‘amaliyyah) obyek kajian dari ilmu ushul fiqih.[6]

Hukum-hukum ‘amaliyyah yang merupakan obyek kajian ilmu fiqih dan ushul fiqih yang terdapat dalam Al Qur’an terdiri dari dua macam, yaitu:

a. Hukum-hukum ibadah, yang dimaksudkan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, seperti: shalat, zakat, haji, nadzar dan ibadah-ibadah lain.

b. Hukum-hukum muamalat, yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, seperti: jual-beli, sewa, utang-piutang, pegadaian dan lain sebagainya.[7]

E. Mekanisme Al Qur’an dalam menunjukkan hukum (Dalaalatul Qur’an ‘alal ahkaam).

Dari segi turunnya, Al Qur’an berkualitas Qoth’i (pasti). Akan tetapi, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya ada yang bersifat Qoth’i dan ada yang bersifat Dzhonni (relatif benar).[8] Yang dimaksud dengan ayat-ayat yang bersifat Qoth’i adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Adapun yang dimaksud dengan ayat-ayat yang bersifat Dhzonni adalah lafadz-lafadz yang dalam Al Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.[9]

Ayat-ayat yang bersifat Qoth’i dan Dzonni erat kaitannya dengan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Bisa dikatakan bahwa ayat-ayat yang bersifat Qoth’i adalah ayat-ayat muhkamat, dan ayat-ayat yang bersifat Dzonni adalah ayat-ayat mutasyabihat. Karena, ulama’ berbeda pendapat mengenai definisi dari ayat yang muhkam dan mutasyabih. Dalam salah satu pendapat dikatakan bahwa ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas dan tidak membutuhkan takwil. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang membuhkan takwil dan mengandung pengertian lebih dari satu.[10]

Contoh ayat-ayat yang bersifat Qoth’i (pasti/jelas):

(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (Al Baqoroh, 43).

èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( ……………………………..…… ÇËÈ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera……. Al ayat (An Nuur, 2).

Contoh ayat-ayat yang bersifat Dzonni (relatif benar):

àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ……………………..……………4 ŸÇËËÑÈ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'….. al ayat (Al Baqoroh, 228).

Dalam ayat tersebut, lafadz qur’u bersifat Dzonni karena mengandung dua pengertian, yaitu suci atau thuhr dan menstruasi atau haydh.

F. Kaidah-kaidah Istinbath (pengambilan) hukum dalam Al Qur’an.

Ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an memiliki redaksi yang berbeda-beda, dan berikut adalah kaidah-kaidah seputar bagaimana menangkap hukum dari sebuah ayat hukum dalam Al Qur’an:

1. Ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang perbuatan yang diagungkan Allah, dipuji Allah, dicintai Allah, disifati dengan istiqomah, dan yang disumpai Allah, maka ayat tersebut mencakup dua hukum, yaitu wajib dan mandub (sunnah).

2. Ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang perbuatan yang diperintah Allah untuk meninggalkannya, Allah mencelanya, Allah melaknatnya, Allah menyerupakan pelakunya dengan hewan atau syaitan, menyebutnya sebagai perbuatan menjijikkan atau perbuatan yang mengantarkan seseorang pada kefasikan, maka ayat tersebut mencakup dua hukum, yaitu haram dan makruh.

3. Ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang perbuatan yang Allah menghalalkannya, mengizinkannya, mengangkat dosa dari perbuatan tersebut, maka ayat tersebut mencakup hukum mubah.[11]

G. Hal-hal yang harus diketahui oleh seorang yang ingin mengambil hukum dari Al Qur’an

1. Al Qur’an diturunkan dengan bahasa ‘arab, jadi tidak ada kata-kata yang berasal dari selain bahasa ‘arab di dalamnya.

2. Di dalam Al Qur’an terdapat lafadz haqiqoh dan lafadz majaz.

3. Di dalam Al Qur’an terdapat ayat muhkam dan ayat mutasyabih.

4. Di dalam Al Qur’an tidak terdapat lafadz yang muhmal, yang pada dasarnya tidak memiliki makna. Jadi, semua lafadz di dalam Al Qur’an memiliki makna.

5. Di dalam Al Qur’an tidak terdapat lafadz zaaidah (tambahan). Meskipun sebuah huruf kelihatannya adalah tambahan, pada hakikatnya tetap memiliki makna.

6. Tidak diperbolehkan memaknai Al Qur’an memakai makna selain dzohir. Artinya, memaknai Al Qur’an tidak dengan makna ashlinya.

7. Penjelasan Al Qur’an mengenai sebuah hukum ada yang bersifat mujmal atau global dan ada yang bersifat tafshily atau rinci. Hikmah dari penjelasan Al Qur’an yang bersifat global adalah agar Ulama’ bisa menginterpretasikan sendiri ayat tersebut sehingga Al Qur’an selalu relevan di setiap tempat dan zaman.

III. PENUTUP.

Alhamdullillah dengan izin Allah makalah ini dapat terselesaikan. Jika terdapat kesalahan ataupun kekhilafan mohon kritik dan saran. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Wallahu A’lamu Bishshowaabi.

IV. DAFTAR PUSTAKA.

1. Syarifuddin, Amir, Ushul fiqh jilid 1, (Kencana PM Grup, Jakarta; 2008).

2. Asysyaukany, Irsyadul Fuhuul, (Darul Fikr, Beirut Lebanon).

3. Alanshoory, Zakarya, Ghoyatul Wushul, (Al Hidayah, Surabaya).

4. Zuhayly, Wahbah, Ushulul Fiqhil Islaamy, (Darul Fikr, Beirut Lebanon).

5. Khollaf, Abdul Wahhab, Taariikhut tasrii’il islaamy, (Alharomayn, Surabaya).

6. Khollaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Dina Utama, Semarang; 1994).

7. Sya’ban, Zakiyyudin, Ushulul Fiqhil Islaamy, (Darut Ta’lif; 1961).

8. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih, (Logos Publishing House, Jakarta; 1996) .

9. Azzarkasyi, Al Bahrul Muhiith fi Ushulil Fiqh, (Wuzarotul Awqof Wasysyuun Al Islaamiyyah, Kuwait; 1992).



[1] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid 1, (Kencana PM Grup, Jakarta; 2008), hlm 1.

[2] Asysyaukany, Irsyadul Fuhuul, (Darul Fikr, Beirut Lebanon), hlm 5.

[3] Zakarya Alanshoory, Ghoyatul Wushul, (Al Hidayah, Surabaya), hlm 33.

[4] Wahbah Zuhayly, Ushulul Fiqhil Islaamy, (Darul Fikr, Beirut Lebanon) hlm 417.

[5] Abdul Wahhab Khollaf, Taariikhut tasrii’il islaamy, (Alharomayn, Surabaya) hlm 34.

[6] Wahbah Zuhayli, ibid, hlm 438.

[7] Abdul Wahhab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dina Utama, Semarang; 1994) hlm 34.

[8] Zakiyyudin Sya’ban, Ushulul Fiqhil Islaamy, (Darut Ta’lif; 1961) hlm 144.

[9] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, (Logos Publishing House, Jakarta; 1996) hlm 33.

[10] Azzarkasyi, Al Bahrul Muhiith fi Ushulil Fiqh, (Wuzarotul Awqof Wasysyuun Al Islaamiyyah, Kuwait; 1992) hlm 451.

[11] Wahbah, Ibid, hlm 444-445.