Selasa, 03 Juli 2012

Islamisasi Sains


I.             PENDAHULUAN        
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan segala yang ada di jagad raya dengan penuh hikmah. Shalawat serta salam selalu terhatur atas Baginda Rasul Muhammad, semoga kita selalu digenang cahaya di setiap derap maupun langkah.
            Pada kesempatan kali ini, kami para pemakalah akan membahas tentang “Islamisasi Sains” sebagai makalah yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester II yang diampu oleh Bapak Mohammad Anas Mphil. Ketika membahas “Islamisasi Sains” ada satu pertanyaan pertama yang mendasar. Sebenarnya, ada apa dengan sains?? Mengapa harus diislamkan atau mengapa harus ada islamisasi dalam sains?? Atau apakah sains itu kafir??. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul dalam benak para pemakalah tatkala diberi judul makalah “Islamisasi Sains” tugas dari mata kuliah Filsafat Ilmu.
            Pada dasarnya semua pengetahuan itu sama, sama-sama berasal dari sumber pengetahuan sejati Tuhan Semesta Alam.[1] Tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu atau sains. Karena beberapa alasan dan beberapa faktor pendorong, maka kemudian pengetahuan itu terpecah-pecah.[2] Salah satu faktor pendorongnya adalah bahwa manusia jika diberi ilmu maka akan saling berselisih, dan hal ini sudah menjadi sunnatullah atau dalam bahasa kerennya adalah sudah menjadi “Hukum Alam”. Filsafat Ilmu ada, maka ada dikotomi antara pengetahuan ilmiah dan non ilmiah. Psikologi ada, maka ada dikotomi antara orang sehat dengan orang gila secara psikologis. Ilmu-ilmu keagamaan ada, maka juga ada dikotomi antara orang beriman, orang munafik dan orang kafir. Kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan yang semakin pesat juga adalah salah satu faktor yang menyebabkan ia terlepas dari ranah keagamaan dan menjadi satu entitas yang berbeda dari agama. Sehingga pada akhirnya tidak ada  agama atau dengan bahasa kasarnya tidaka ada “Tuhan” dalam sains modern. Hal inilah yang mendorong perlu adanya islamisasi sains sehingga agama dan sains dapat berintegrasi atau dalam bahasa Amin Abdullah adalah memandang dengan “paradigma interkoneksitas”.
II.          PEMBAHASAN
A.    Dikotomi Sains Modern Dan Agama.
            Dalam sambutannya pada acara akreditasi Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, Prof. Dr. Azhar Arsyad mengutip pendapat John Esposito[3]: “Islamic Studies atau kajian Islam adalah yang paling terakhir untuk dipilih jika selainnya tidak ada, dan yang paling pertama yang harus dipilih jika harus membuang antara ia dan lainnya”.[4]
 Ini adalah salah satu contoh yang mengamini atas adanya dikotomi yang mendasar antara sains dan agama, ditambah adanya dua departemen yang membedakan antara ranah sains dan agama di Indonesia, yaitu Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) dengan Departemen Agama (DEPAG) yang semakin membuat sulit sains untuk diislamkan. Akan tetapi, pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kalangan akademisi Islam kontemporer semacam ‘Abid Al Jabiriy, Muhammad Arkoun, Nashr Hamid, Muhammad Syahrur, Amin Abdullah, Atho Mudzhar dsb. telah memberikan angin sejuk bagi proyek islamisasi sains meski banyak memicu kontroversi. Tokoh-tokoh akademisi Islam ini ingin membingkai antara ilmu-ilmu agama yang bersumber pada teks-teks (Hadhaaratun Nashsh), sains yang bersumber pada ilmu-ilmu alam (Hadhaaratul ‘Ilm) dan filsafat (Hadhaaratul Falsafah) dalam satu organ agar bisa saling bertegur sapa serta dapat berintegrasi dan berinterkoneksi antara satu dengan yang lainnya.[5]
B.    Sains Modern Perlu Membaca Syahadat.
Pada masa setelah renaissance di Barat, perkembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam berbagai bidang mengalami kemajuan yang signifikan. Namun, kemajuan sains ini didominasi oleh Barat yang memiliki pemikiran yang sekuler, pragmatis, positivistik dan materialistik. Sekuler yang memiliki pandangan bahwa ilmu disusun untuk ilmu itu sendiri (science/knowledge for the sake of science/knowledge). Hal ini jelas kontradiktif dengan fithrah manusia, dan bahkan amat kontras dengan agama yang berpandangan bahwa ilmu disusun adalah untuk mengenal dan mengetahui Tuhan (science/knowledge for the sake of God).
Ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas paradigma filsafat Barat yang sekuler tersebut jelas tidak memberikan tempat bagi pemahaman tauhid. Filsafat materialisme misalnya, menganggap bahwa materi merupakan satu-satunya kejadian di alam, dan merupakan tujuan dari gerak-gerik alam semesta sangat jelas telah menafikan dunia spiritual, rohani dan persoalan supranatural yang mendasari segala keberadaan alam semesta. Pendapat seperti ini sama juga dengan menempatkan alam semesta sebagai realitas yang independen dari sang pencipta. Dalam filsafat ini, alam semesta tidak dikatakan sebagai ciptaan Tuhan. Dengan demikian, sains modern telah meniadakan pemahaman tauhid tentang asal-usul dan tujuan alam semesta ini sebagai berasal dan kembali kepada Tuhan.[6] Di sinilah filsafat Barat sebagai landasan sains modern yang memiliki watak materialis tersebut dapat mendistorsi sendi-sendi keimanan masyarakat Islam. Maka dari itu, sains modern perlu untuk mengucap syahadat lalu kemudian masuk Islam.

C.     Posisi Sains (Rasio) Dan Agama (Wahyu).
            Masalah posisi dan hubungan antara wahyu dan rasio, atau antara agama dan filsafat telah menjadi masalah yang rumit dalam sejarah pemikiran Islam. Kutub ekstrim dari dua hal itu juga telah melahirkan pertentangan sengit di antara para pendukungnya bahkan tidak jarang menimbulkan korban. Vonis kufur yang diberikan Al Ghazaly terhadap kaum filosof khususnya Al Faraby dan Ibnu Sina, juga hukuman pengasingan yang dijatuhkan para fuqoha’ atas Ibnu Rusyd serta pembakaran kitab-kitab dan karya-karya filsafatnya adalah merupakan merupakan sebagian bukti tentang sengitnya pertentangan antara dua kutub ini. Karena itulah, para pemikir muslim sejak abad pertengahan telah berusaha keras memecahkan dan menjelaskan posisi serta hubungan di  antara dua kutub ini.
            Menurut Yusuf Musa, apa yang dilakukan para ahli dalam masalah ini tidaklah terlepas dari salah satu tiga tindakan berikut.[7]
 Pertama, mengambil wahyu dan mengesampingkan rasio. Ini umumnya dilakukan oleh para tokoh agama non-filosof. Imam Syafi’i kiranya dapat dijadikan contoh dalam kasus ini. Dalam Ar Risaalah secara tegas Imam Syafi’i menyatakan bahwa wahyu adalah satu-satunya sumber kebenaran dan tidak ada yang dapat dijadikan pegangan kecuali wahyu.[8]
Kedua, mengutamakan rasio dan menepikan wahyu. Ini umumnya dilakukan oleh para rasionalis murni atau filosof muslim yang dianggap kurang peduli dengan ajaran agamanya. Dalam hal ini adalah seperti pemikiran Ibnu Zakarya Ar Razy yang menurutnya rasio adalah anugerah terbaik dari Tuhan dan dengannya manusia bisa mengetahui baik dan buruknya sesuatu serta mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya dengan baik. Menurut     Ar Razy, kita tidak boleh melecehkan akal, tidak boleh membatasinya, mengendalikan atau memerintahnya, sebab justru rasiolah yang membatasi, yang mengendalikan dan memerintah. Kita harus bertindak sesuai perintahnya dan senantiasa merujuk kepadanya (akal) dalam segala hal.[9] Tegasnya, Ar Razy berpendapat bahwa kekuatan wahyu masih dibawah kendali  rasio.
Ketiga, mendamaikan atau mencari titik temu antara keduanya, antara wahyu dan rasio, antara agama dan filsafat serta sains. Ini dilakukan oleh para kalangan pemikir muslim yang peduli dengan doktrin keagamaan dan filsafat, seperti Al Kindy, Al Faraby, As Sijistany, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Thufayl, dan Ibnu Rusyd. Meski demikian, argumen dan cara yang dipakai keolmpok ini dalam mengintegrasikan wahyu dan rasio berbeda-beda. Al Kindy mengakui bahwa agama dan filsafat adalah dua hal yang berbeda dari aspek sumber maupun muatannya.  Filsafat berasal dari pengetahuan diskursif sedangkan agama berasal dari wahyu ilahi. Meski demikian, tujuan tertinggi keduanya adalah sama yaitu ilmu ketuhanan (metafisika) yang disebut sebagai ilmu kebenaran pertama, sehingga tujuan agama dan filsafat adalah sama.[10]
            Dalam perjalanan sejarah keilmuan Islam, para tokoh dan ulama’ yang lahir dari golongan kedua dan ketiga seakan-akan tidak punya tempat dalam kajian ilmu-ilmu Islam sendiri. Golongan pertamalah yang mendominasi dari zaman dulu sampai sekarang. Golongan kedua dan ketiga seperti berjalan di jalur yang berbeda yang berseberangan sehingga namanya tidak disinggung dalam carut-marut kajian ilmu-ilmu Islam pada umumnya.

D.    Beberapa Tawaran Untuk Sains Modern Agar Masuk Islam.
            Setidaknya pada masa ini atau masa kontemporer, secara umum ada lima arus utama wacana islamisasi sains, yaitu[11]:
            Yang Pertama, islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang mengatakan bahwa ilmu atau sains hanyalah alat atau instrumen. Artinya, sains atau ilmu terlebih teknologi hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan agama, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri. Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa Barat maju dan berhasil menguasai dunia Islam dengan kekuatan sains dan teknologinya. Karena itu, untuk mengimbangi Barat, kaum Islam juga dituntut untuk menguasai sains dan teknologi. Jadi, islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik ini adalah bagaimana umat Islam maju dan menguasai apa yang telah dikuasai oleh Barat.
            Yang Kedua, Islamisasi sains dengan konsep justifikasi, yaitu Islamisasi sains yang menggunakan Al Qur’an dan Al Hadits untuk menjustifikasi (membenarkan) dan melegitimasi penemuan-penemuan ilmiah modern. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran Al Qur’an dengan fakta-fakta obyektif dalam sains modern. Tokoh-tokohnya adalah Maurice Bucaille, Harun Yahya, fazlur Rahman, Zaghl An Najjar dsb. Namun, wacana islamisasi semacam ini ditolak oleh Ziyaa’uddin Sardar[12] dengan pendapatnya bahwa legitimasi Al Qur’an dalam kerangka sains modern tidak perlu dilakukan oleh Al Qur’an sebagai kitab suci kalam ilahi.         
            Yang Ketiga, Islamisasi sains dengan menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini pertama kali dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern sekarang ini  bersifat sekuler dan jauh sekali dari nilai-nilai spiritual sehingga membutuhkan adanya sakralisasi atau penyakralan. Nasr mengkritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Sains modern menganggap bahwa alam tidak termasuk bagian dari Tuhan, dan alam merupakan sebuah entitas yang berbeda yang berdiri sendiri dan bekerja sendiri. Menurut Nasr, sains modern harus harus berjalan di jalur nilai-nilai kesakralan Islam yang unik yang tidak ditemukan dalam agama-agama lain.
            Yang Keempat, Islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Ide ini diungkapkan oleh Ismail Al Faruqi. Menurutnya, kemunduran umat Islam selama ini adalah disebabkan karena adanya dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan makna di berbagai dimensi, dan di sisi yang lain pendidikan sekuler sangat mewarnai pemikiran umat Islam. Menurut Al Faruqi, sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan kemudian disatukan dalam jiwa Islam.
            Yang Kelima, Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam. Ide ini pertama kali disampaikan secara sistematis oleh Syekh Muhammad Naquib Al Attas. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti. Itu sebabnya Al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai, ”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya.”[13]
            Pada dasarnya ada dua cara metode Islamisasi yang saling berhubungan dan sesuai urutan. Pertama, ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah). Islamisasi melindungi umat Islam dari sains yang menimbulkan kekeliruan dan mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya.  Oleh karena itu islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempeli (melabelisasi) sains dengan prinsip Islam. Hal ini hanya akan memperburuk keadaan selama "virus"nya masih berada dalam tubuh sains itu sendiri. Jadi, Islamisasi sains tidak sesederhana, misalnya, tidak sekedar menyalakan lampu dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Islamisasi sains adalah sebuah konsep dasar yang berkaitan dengan worldview seorang muslim untuk mengembalikan Islam menuju peradaban dunia yang berjaya.

E.     Agama Harus Disainskan Agar “Rahmatan Lil ‘Alamin”.
            Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut “Syari’at”. Kitab suci Al Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlaq, kebijaksanaan dan dapat menjadi theologi ilmu serta grand theory ilmu. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagi satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.[14]
            Modernisme dan sekularisme yang menghendaki differensiasi (pembedaan) yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Spesialisasi dan penjurusan yang sempit sesungguhnya mempersempit jarak pandang atau horizon berpikir. Pada peradaban yang disebut sebagai pasca-modern perlu ada perubahan. Harus ada dedifferensiasi yang menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain termasuk agama dan ilmu. Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (haajiyyah; baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiiniyyah; manfaat, madharat). Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang obyektif, dalam arti bahwa ilmu tersebut tidak dapat dirasakan oleh pemeluk agama lain, non-agama, dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi sebagai gejala keilmuan yang obyektif (sisi historisitas-empirisitas) semata. Ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang obyektif, bukan agama yang normatif. Maka obyektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya orang beriman saja, lebih-lebih satu pengikut agama tertentu saja. Contoh obyektifikasi ilmu antara lain: aljabar tanpa harus terlalu dikaitkan dengan budaya Islam era Al Khawarizmy, mekanika dan astropisika tanpa dikaitkan dengan budaya Yudeo-Kristiani, akupunktur tanpa dikaitkan dengan animisme-dinamisme leluhur, yoga tanpa dikaitkan dengan agama Hindu, khasiat madu dan lebah tanpa harus dikaitkan dengan    Al Qur’an yang memuji lebah dan berbagai contoh lainnya.[15]
            Beberapa contoh di bawah ini akan memberikan gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip sosok ilmuan integratif yang dihasilkannya. Contoh dapat diambil dari ilmu Ekonomi Syari’ah yang sudah nyata ada praktik penyatuan wahyu Tuhan dengan temuan pemikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syari’ah, usaha-usaha agrobisnis, transportasi, kelautan dsb. Agama menyediakan etika ekonomi dalam praktik mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kerja sama).[16] Di situ terdapat proses obyektifitasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi semua orang (rahmatan lil ‘alamin) dari berbagai kalangan baik itu pemeluk agama, non-agama dan bahkan anti agama. Maka kemudian segeralah IAIN di tanah air menuju dan beralih menjadi UIN yang tercakup di dalamnya kajian ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science), dan humaniora (humanities) kontemporer. Diharapkan dengan peralihan IAIN menjadi UIN adalah awal dari kebangkitan dan kejayaan Islam dengan paradigma integralistik-interkoneksitas sehingga para outputnya menjadi ulama’ yang intelek dan intelektual yang ‘alim.
            Jika saja “keilmuan agama Islam” (termasuk di dalamnya Ilmu Pendidikan Agama Islam) tidak lain adalah juga hasil konstruksi keilmuan para ulama’, cendekiawan muslim, ahli pendidikan Islam dan lain-lain, maka sesungguhnya ia adalah produk yang bersifat historis semata. Jika memang begitu, maka ia harus sanggup mengikuti, mencermati sejarah perkembangan, teori-teori epistimologi dan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya untuk kemudian melakukan perbaikan dan penyesuaian metodologis dengan perkembangan yang ada. Jika tidak, maka ilmu pendidikan Agama Islam akan tertinggal oleh laju perkembangan metodologi keilmuan yang lain, dan terlebih lagi akan tertinggal jauh dari pergeseran dan perkembangan muatan pengalaman manusia yang semakin hari semakin kompleks.

F.     STAIMAFA, Kampus Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren.
            Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah atau yang lazim dikenal dengan STAIMAFA adalah perguruan tinggi Agama Islam yang terlahir dari rahim pesantren. STAIMAFA yang terletak di Desa Purworejo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah telah mendeklarasikan diri sebagai kampus riset berbasis nilai-nilai pesantren. Dalam hal ini ada yang unik, yaitu kampus yang identik dengan modernitas-akademitas yang penuh dengan hal-hal yang bersifat ilmiah yang mengedepankan rasio, disandingkan dengan pesantren yang identik dengan tradisionalitas yang syarat akan nilai etika, menjunjung tata-krama dan mengedepankan agama. Terdapat perbedaan yang mendasar antara kampus dan pesantren. Namun, STAIMAFA yang lahir dari rahim pesantren ingin menggabungkan keduanya dalam satu bingkai atau dalam bahasa Amin Abdullah disebut sebagai Dedifferensiasi (meniadakan pembedaan antara ilmu-ilmu agama dengan sains modern).
            STAIMAFA menggunakan kata-kata “Robby zidny ‘ilman” sebagai simbol dalam lambangnya, yang artinya adalah “Duhai Tuhanku tambahkanlah ilmu padaku”. Dalam kalimat tersebut ada kata  “tambah” yang identik dengan perubahan. Hal ini juga sependapat dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa “Az ziyaadatu naskhun”, tambah atau penambahan adalah perubahan atau merubah. Menurut interpretasi para pemakalah, STAIMAFA bermaksud menggunakan simbol “Robby zidny ‘ilman” untuk pengetahuan yang bersifat ilmiah berbasis riset yang selalu berubah-ubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Untuk mengimbangi ilmu-ilmu alam yang sifatnya tidak tetap, STAIMAFA dengan paradigma integralistik-interkoneksitas mengambil pesantren yang menggunakan wahyu sebagai pijakan utama segala pengetahuan, sebagai basis yang mempertahankan nilai-nilai normativitas agama. Cara pandang tersebut terejawntahkan dalam satu contoh, bahwa STAIMAFA memiliki Program Studi Perbankan Syari’ah yang dihadirkan secara obyektif agar semua kalangan dapat tercakup di dalamnya. Contoh lain dari implementasi paradigma integralistik-interkoneksitas adalah adanya dua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Bahasa Arab yang identik dengan Islam dan Bahasa Inggris yang identik dengan Barat. Begitu juga dengan adanya Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA), yang ironisnya merupakan kajian yang terakhir dipilih jika yang lain tidak ada, dan yang pertama dibuang jika harus ada yang dibuang. STAIMAFA sudah siap dan berani dengan resiko apapun, termasuk juga kemungkinan tidak lakunya Program Studi PBA ini di zaman modern secara umum. STAIMAFA tetap memiliki semangat yang tinggi untuk meraih visi-misinya, yaitu menjadi kampus riset berbasis nilai-nilai pesantren. STAIMAFA percaya bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya yang benar-benar dan sungguh-sungguh dalam berusaha.



III.       PENUTUP
Sebagaimana para pemakalah mendahului penyusunan makalah dengan hamdalah, maka pemakalah pun menyelesaikan makalah ini dengan bersyukur memuji keagungan Tuhan Yang Maha Sempurna, diikuti dengan bacaan shalawat atas Baginda Muhammad SAW berharap mendapat syafaat beliau di dunia sampai di alam baka. Jika di sana-sini terdapat kekurangan, maka semoga kekurangan itu masih berharga dan menjadi motivasi kami untuk semakin meningkatkan diri dan terus belajar, karena kami percaya tidak ada kesuksesan yang datang secara ujug-ujug. Dan jika dalam makalah ini terdapat kelebihan, maka semoga kelebihan itu bisa menjadi amal baik kami sehingga menjadi amal jariyah yang pahalanya tiada henti. Wallahu A’lamu.

IV.      DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim.
Abdullah, Amin, Islamic Studies (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).
Masruri, Hadi dan Rosyidi, Imron, Filsafat Sains Dalam Al Qur’an (UIN Malang Press, Malang; 2007).
Musa, M. Yusuf, Bayna ad Diien Wal Falsafah (Darul Ma’arif, Mesir).
Asy Syafi’I, Ibnu Idris, Ar Risaalah (Babul Halabi, Kairo; 1940).
Ar Razy, Ibnu Zakarya, Ath Thibbur Ruuhaany (Darul Afaq, Beirut-Lebanon).
Uwaidah, Kamil Muhammad, Al Kindy Minal Falasifah al Masyriq Wal Islam Fie al ‘Ushuuril Wustha (Darul Kutub, Mesir; 1993).
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:lima-konsep-islamisasi-sains&catid=22:sains-islam&Itemid=21.
Al Attas, Muhammad Naquib, Islam & Sekularism, (2010).


           

           


[1] Q.S. Al Baqarah, Ayat 31. Semua ilmu diajarkan Allah kepada Adam agar Adam benar-benar mengenal penciptanya.
[2] Q.S. Ali ‘Imran, Ayat 19. Perbedaan ada karena manusia diberi ilmu.
[3] Orientalis yang sering diundang untuk memberikan seminar oleh  raja Arab Saudi.
[4] Acara akreditasi tersebut diselenggarakan pada Hari Kamis, 7 Juli 2011 di kampus STAIMAFA.
[5] Amin Abdullah, Islamic Studies (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), Kata Pengantar.
[6] Hadi Masruri dan Imron Rosyidi, Filsafat Sains Dalam Al Qur’an (UIN Malang Press, Malang; 2007), hlm 4.
[7] M. Yusuf Musa, Bayna ad Diien Wal Falsafah (Darul Ma’arif, Mesir), hlm 46.
[8] Ibnu Idris Asy Syafi’i, Ar Risaalah (Babul Halabi, Kairo; 1940), hlm 20.
[9] Ibnu Zakarya Ar Razy, Ath Thibbur Ruuhaany (Darul Afaq, Beirut-Lebanon) hlm 17-18.
[10] Kamil Muhammad Uwaidah, Al Kindy Minal Falasifah al Masyriq Wal Islam Fie al ‘Ushuuril Wustha (Darul Kutub, Mesir; 1993), hlm 38.
[11] http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:lima-konsep-islamisasi-sains&catid=22:sains-islam&Itemid=21

[13] Muhammad Naquib Al Attas, Islam & Sekularism, (2010).
[14] Amin Abdullah, Ibid, hlm 102.
[15] Ibid, hlm 104.
[16] Ibid, hlm 105.

karakteristik filsafat barat


KARAKTERISTIK FILSAFAT BARAT
Filsafat Yunani, Abad Tengah, Modern dan Kontemporer

I. PENDAHULUAN
            Segala puji bagi Allah SWT yang telah menitipkan potensi berpikir dalam diri manusia, agar mereka dapat berpikir dan memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini syarat hikmah dan makna serta tercipta tidak sia-sia. Shalawat serta salam selalu terhatur atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah yang penuh kedamaian, pejuang keadilan yang selalu mengajak kita bertafakkur, berfikir, menalar serta merenungi betapa sempurna alam semesta dan jagad raya.
            Pada kesempatan kali ini tepatnya dalam makalah ini, kami insyaAllah akan membahas “Filsafat Barat” untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Pengantar Filsafat yang diampu oleh Bapak Muhammad Anas pada semester satu STAI Mathali’ul Falah. Pembahasan ini penting karena Fisafat Barat memiliki peran yang sangat signifikan dalam perubahan paradigma dunia terutama dalam hal filsafat, dan filsafat menurut sementara pendapat merupakan induk dari segala ilmu karena dari rahimnya keluar apa yang disebut ilmu pengetahuan dan juga karena sifatnya yang dekonstruktif. Pembahasan tentang Filsafat Barat mencakup kajian tentang filsafat yunani, filsafat abad tengah, filsafat abad modern, dan filsafat kontemporer.
Mengapa perlu dilakukan pengklasifikasian dalam mengkaji Filsafat Barat ???
            Karena dalam fase yang berbeda-beda itu, obyek kajian utamanya pun berbeda-beda. Filsafat Yunani identik dengan alam semesta (kosmos), Filsafat abad pertengahan identik dengan masalah ketuhanan (theos), Filsafat abad modern identik dengan kajian tentang manusia (antropos), Filsafat kontemporer identik dengan kajian tentang ilmu (logos).
            Semoga makalah ini bermanfaat. Selamat mempelajari filsafat !!!.

II. PEMBAHASAN
            Orang-orang Yunani yang hidup pada abad ke 6 SM mempunyai sistem kepercayaan, bahwa segala sesuatu yang bersumber dari dongeng-dongeng atau mitos-mitos yang berlaku dalam masayarakat harus diterima sebagai suatu kebenaran yang mutlak dan tidak perlu dipertanyakan ataupun didekonstruksi. Dengan sistem kepercayaan yang seperti itu, tentunya suatu kebenaran yang dihasilkan lewat akal pikir (logos) kalau tidak sesuai mitos atau dongeng yang berlaku maka tidak bisa dikatakan sebagai suatu kebenaran. Akal tidak begitu mendapat tempat pada mada masa itu. Bisa dikata bahwa masyarakat yang hidup pada masa sekitar abad ke 6 SM atau sebelumnya, adalah masyarakat orality yang menjadikan tradisi lisan sebagai pegangan.
            Pasca Abad ke 6 SM, mulai bermunculan para pemikir Yunani yang menentang adanya sistem kepercayaan yang berdasar pada mitos. Mereka mulai mempertanyakan wujud sesuatu dan sebab dari sesuatu itu, dalam arti mereka telah mendudukkan akal pada posisinya. Obyek besar kajian pada masa itu adalah alam semesta (kosmos). Upaya para pemikir yang menggunakan akal sebagai tolak ukur kebenaran ini menimbulkan banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni.
            Secara garis besar, munculnya Filsafat Yunani disebabkan oleh tiga faktor[1]:
  1. Bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari upaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dll.
  2. Banyaknya karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong kemuculan filsafat Yunani, seperti karya Homerus yang mempunyai kedudukan penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang didalamnya terdapat nilai-nilai edukatif.
  3. Adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, yang kemudian mereka pelajari dan kembangkan sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang teoritis dan kreatif.

Dalam buku-buku filsafat yang kami jadikan sebagai referensi, sejarah Filsafat Yunani terbagi menjadi dua fase atau dua periode, periode Yunani kuno dan periode Yunani klasik. Periode Yunani kuno diisi oleh ahli pikir alam seperti Thales, Anaximandros, Pythagoras, Heraclitos, Parmanides, Democritos dsb. Sedangkan pada periode Yunani klasik diisi oleh ahli pikir seperti Socrates, Plato, Aristoteles dsb.

A.  FILSAFAT YUNANI
Periode Yunani ini sering disebut periode filsafat alam. Karena pada periode ini banyak para ahli pikir alam yang memusatkan perhatiannya dan pikirannya kepada apa yang diamati di sekitarnya. Mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam yang bersifat falsafati (berdasarkan akal) tidak berdasarkan mitos. Mereka mencari ruh atau esensi yang tetap dan pertama yang sifatnya mutlak dan mendasari segala sesuatu yang sifatnya serba berubah. Para pemikir filsafat Yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota perantauan Yunani yang terletak yang terletak di pesisir Asia kecil. Mereka kagum terhadap alam yang penuh nuansa dan berusaha mencari mencari jawaban atas apa yang ada di belakang semua misteri itu.[2]
Diantara pemikir besar pada masa itu adalah:
  1. Thales (625-545 SM), seorang ahli Fisika dan Matematika yang diberi gelar The Father of Philosophy oleh Aristoteles.[3]Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Menurut pendapatnya, segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari air sebagai materi dasar kosmis. Ia juga berpendapat bahwa cahaya bulan adalah pantulan cahaya matahari. Thales merupakan ahli Matematika pertama dan ia dijuluki sebagai The Father of Deductive Reasoning (bapak penalaran deduktif).[4]
  2. Anaximandros (640-546 SM), orang pertama yang membuat peta bumi. Dalam pemikiran tentang arche (asas pertama alam semesta), ia berbeda dengan Thales. Anaximandros berpendapat bahwa asas pertama alam semesta adalah sesuatu yang tak dapat diamati indera, yaitu to apeiron (yang tak terbatas), berbeda dengan Thales yang berkata bahwa arche adalah air. Ia juga berpendapat bahwa bumi tidak bersandar pada sesuatu apapun, bumi tidak jatuh karena ia berada pada pusat jagad raya.[5]
  3. Pythagoras (572-497 SM), ahli Matematika yang dilahirkan di Pulau Samos, Ionia. Menurut Pythagoras, substansi semua benda adalah bilangan, dan segala gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-perbandingan matematis. Bilangan merupakan inti sari dan dasar pokok dari sifat-sifat benda (number rules the universe = bilangan memerintah jagad raya). Ia adalah orang pertama yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan satu keseluruhan yang teratur, sesuatu yang harmonis seperti dalam musik.
  4. Heraclitos (535-475 SM), kawan Pythagoras yang pemikiran filsafatnya terkenal dengan filsafat menjadi. Pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang berubah-ubah sehingga apa yang disebut realitas menurutnya adalah merupakan sesuatu yang khusus, jumlahnya banyak dan bersifat dinamis. Heraclitos berpendapat bahwa arche adalah api, di dalam arche terkandung sesuatu yang hidup (seperti roh) yang disebutnya logos (akal atau semacam wahyu). Logos inilah yang mengendalikan keberadaan segala sesuatu. Hidup manusia akan selamat apabila sesuai logos.[6]
  5. Parmenides (540-475 SM), pendapatnya mengenai alam semesta adalah sesuatu yang tetap dan berlaku umum itu tidak dapat ditangkap melalui indera, tetapi dapat ditangkap melalui akal atau pikiran. Untuk memunculkan realitas tersebut hanya dengan berpikir. Dialah yang pertama kali memikirkan tentang hakikat yang ada (being).[7]
  6. Empedocles (490-435 SM), Ia mengatakan bahwa realitas tersusun dari empat unsur yaitu api, air, tanah, dan udara. Penggabungan dari unsur-unsur yang berbeda itu akan menghasilkan suatu benda dengan kekuatan yang sama yang tidak berubah walaupun dengan komposisi yang berbeda. Dalam perubahan alam semesta ada dua unsur yaitu cinta dan benci yang termanifestasikan dalam persatuan dan perceraian.[8]
  7. Anaxagoras (499-420 SM), mengajarkan bahwa matahari adalah batu yang berpijar dan bulan adalah tanah, bukan sebagai dewa yang merupakan kepercayaan dari masyarakat pada saat itu. Menurutnya, realitas bukanlah satu melainkan terdiri dari banyak unsur dan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu atom. Atom adalah bagian terkecil materi yang tak bisa dilihat oleh mata. Ia mengatakan bahwa yang menyebabkan benih-benih menjadi kosmos adalah nus yaitu roh atau rasio. Dialah yang pertama kali membedakan antara jasmani dan rohani.[9]
  8. Socrates (496-399 SM) guru Plato, seorang yang dihukum mati karena ajarannya atau pemikirannya dinilai menyimpang. Socrates menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat terpisah. Barang siapa memiliki pengertian sejati berarti memiliki kebajikan atau keutamaan moral maka ia memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.[10]
  9. Plato (427-347 SM). Menurutnya, pengetahuan indera dapat berubah-ubah dan pengetahuan akal sifatnya tetap. Dalam bahasanya, ada dua dunia yaitu dunia pengalaman dan dunia ide. Dunia pengalaman bersifat tidak tetap, sedangkan dunia ide sifatnya tetap dan dunia ide inilah dunia yang sesungguhnya yaitu dunia realitas.[11]
  10. Aristoteles (384-322 SM), orang pertama yang mengenalkan analitika yang dalam bahasa sekarang disebut ilmu logika. Pemikirannya mencakup beberapa aspek ilmu pengetahuan, diantaranya tentang logika, silogisme, pengelompokan ilmu pengetahuan, potensia dan dinamika, etika, politik dan negara. Menurut Aristoteles, suatu pengertian memuat dua golongan yaitu substansi (sebagai sifat yang umum) dan aksidensia (sebagai sifat yang secara tidak kebetulan).[12]

B. ABAD TENGAH
            Setelah selesai periode Yunani, yang memusatkan kajian pada alam semesta (kosmosentris), Filsafat barat dalam fase sejarah memasuki abad pertengahan. Pada abad pertengahan, obyek utama yang dikaji para ahli filsafat adalah tentang ketuhanan (teosentris). Filsafat barat abad pertengahan identik dengan kekaisaran Romawi, karena menurut sejarah peradaban Yunani jatuh ke tangan Romawi. Di wilayah kekaisaran Romawi, filsafat Yunani berintegrasi dengan agama kristen sehingga membentuk formulasi baru yang merupakan filsafat Eropa yang sesungguhnya. Dalam proses integrasi Filsafat Yunani dengan agama kekaisaran Romawi yakni kristen, terdapat dua anggapan yang dijadikan rujukan. Anggapan pertama bahwa Tuhan turun ke bumi dengan membawa kabar baik bagi umat manusia yang berupa firman, dan ini dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang sempurna dan sejati. Anggapan kedua, bahwa Filsafat Yunani merupakan sumber kebijaksanaan yang tidak diragukan kebenaran, meski orang-orang telah mengenal agama baru.[13] Abad pertengahan terbagi menjadi tiga bagian: masa patristik, masa skolastik, dan masa peralihan.

a. Masa Patristik
            Istilah patristik berasal dari bahasa latin pater atau bapak, yang artinya para pemimpin gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas atau golongan ahli pikir sehingga menimbulkan sikap yang beragam antara menolak filsafat Yunani dan menerimanya.
            Diantara tokoh-tokohnya yang besar adalah:
  1. Justinus Martir, pendapatnya bahwa agama kristen bukan agama baru karena kristen lebih tua dari filsafat Yunani, dan Nabi musa dianggap sebagai awal kedatangan kristen.
  2. Klemens (150-215 M), ia membatasi ajaran-ajaran kristen agar tidak terkontaminasi ajaran filsafat Yunani, ia memerangi ajaran yang anti kristen. Menurutnya filsafat Yunani dapat dijadikan alat untuk memperdalam iman kristen dalam arti memikirkannya secara mendalam.
  3. Augustinus (354-430 M), ia berpendapat bahwa daya pemikiran manusia ada batasnya, akan tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tak ada batasnya dan bersifat abadi. Artinya, akal pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi.[14]

   b. Masa Skolastik
            Istiah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi skolastik merupakan aliran yang berhubungan dengan sekolah. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama, bisa dikatakan bahwa filsafat skolastik adalah filafat Nasrani karena banyak dipengaruhi ajaran gereja.[15] Filsafat skolastik muncul disebabkan adanya beberapa faktor, diantaranya adalah keadaan lingkungan yang saat itu berperikehidupan religius.
            Diantara tokoh-tokoh besarnya adalah:
  1. Peter Abaelardus (1079-1180 M), pendapatnya adalah bahwa akal memiliki peran menundukkan kekuatan iman, iman harus mau didahului akal. Yang harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau dapat diterima akal. Ia mengatakan bahwa berpikir itu berada di luar iman, dengan kata lain berdiri sendiri.[16]
  2. Thomas Aquinas (1225-1274 M), ia berusaha untuk membuktikan bahwa iman kristen secara penuh dapat dibenarkan dengan pemikiran logis. Ia berkata bahwa kebenaran seluruhnya berasal dari tuhan dengan jalan yang berbeda-beda. Menurutnya, Tuhan tidak pernah mencipta dunia, akan tetapi dzat dan pemikirannya tetap abadi.[17]

c. Masa peralihan
            Masa peralihan ini merupakan embrio dari filsafat Barat abad modern. Masa peralihan ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme, dan reformasi yang berlangsung antara abad ke 14 sampai abas ke 16. Renaissance adalah kelahiran kembali eropa, suatu gelombang pemikiran yang dimulai di Italia, Perancis, Spanyol hingga menyebar ke seluruh negara-negara Eropa lainnya. Diantara tokoh-tokohnya adalah Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Machiavelli dan Giordano Bruno. Humanisme merupakan suatu pendirian para ahli pikir yang mencurahkan perhatian pada pengajaran kesusastraan Yunani dan Romawi serta perikemanusiaan. Reformasi merupakan revolusi keagamaan di Eropa Barat pada abad ke 16.

C. ABAD MODERN
            Secara historis, abad modern dimulai sejak adanya krisis pada abad pertengahan selama dua abad (14-15) yang ditandai dengan munculnya gerakan renaissance yang berarti kelahiran kembali. Para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.[18]           Pada masa ini, obyek kajian utama filsafat adalah manusia (antroposentris). Perbedaan obyek besar kajian inilah yang menyebabkan adanya pengklasifikasian dalam sejarah Filsafat Barat. Pada abad modern, persoalan-persoalan tentang hakikat manusia terus coba diungkap, mengenai apa sebenarnya yang disebut manusia itu. Dari sinilah lahir bermacam-macam disiplin ilmu yang membahas tentang manusia seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran dll. semua ini memperlihatkan betapa problema manusia benar-benar merupakan pembicaraan yang menarik sepanjang masa.[19]
            Dalam filsafat abad modern, muncul berbagai aliran pemikiran seperti Rasionalisme (Descartes dsb), Empirisisme (Thomas Hobbes dsb), Kritisisme (Kant dsb), Idealisme (Hegel dsb), Positivisme (August Comte dsb), Evolusionisme (Darwin dsb), Materialisme (Marx dsb), Neo-Kantianisme (Herman Cohen dsb), Pragmatisme , Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.
            Diantara tokoh-tokoh filsuf pada zaman ini adalah:
A.    Rene Descartes (1596-1650 M) yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Latar belakang gerakan ini muncul adalah adanya keinginan untuk terbebas dari segala pemikiran tradisional (skolastik). Hanya penalaran pasti yang harusnya menjadi bagian dan diskursus filosofis.[20] Menurutnya, filsafat adalah mempertanyakan pernyataan dan bukan mencari pengetahuan.[21]
B.     Immanuel Kant (1724-1804 M), ia mengakui peranan akal dan keharusan empiri dalam menetapkan kebenaran suatu pengetahuan. Metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada rasionalisme, ia tidak menafikan adanya persoalan-persoalan yang tak dapat dijangkau akal. Artinya, akal juga terbatas menurutnya.
C.     G. W. F. Hegel (1770-1831 M), menurut pendapatnya segala peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat terpenuhi, yaitu jika suatu peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Inilah yang disebut proses dialektika dan proses ini yang menjelaskan segala peristiwa.
D.    August Comte (1798-1857 M), menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu tahap teologis, metafisis, dan ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga di bidang ilmu pengetahuan. Ia terkenal dengan istilahnya altruism yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia adalah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[22]
E.     Charles Darwin (1809-1882 M), pencetus teori evolusi, pendapatnya yaitu, perkembangan segala sesuatu termasuk manusia diatur oleh hukum-hukum mekanik. Pada hakikatnya, antara binatang dan manusia serta benda apapun tidak ada bedanya. Dimungkinkan terdapat perkembangan manusia pada masa yang akan datang lebih sempurna.[23]

D. ABAD KONTEMPORER
            Dalam abad kontemporer, obyek besar pokok kajian filsafat adalah ilmu (logosentris). Filsafat ilmu adalah salah satu bidang kajian filsafat yang banyak diminati pada abad kontemporer hingga sampai saat ini. Filsafat ilmu dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis ilmu pengetahuan.
            Pertama, sebagai disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat. Dengan demikian, juga merupakan disiplin filsafat khusus yang mempelajari bidang khusus yaitu ilmu pengetahuan. Maka mempelajari filsafat ilmu berarti mempelajari secara filosofis berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
            Kedua, sebagai landasan filosofis bagi ilmu pengetahuan. Sepanjang sejarah perkembangan ilmu, peran filsafat ilmu dalam struktur bangunan keilmuan tidak bisa disangsikan, karena ia merupakan landasan filosofis bagi tegaknya suatu ilmu. Maka mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat ilmu dalam setiap kegiatan keilmuan.
            Diantara tokoh-tokoh filsuf abad kontemporer:
  1. Imre Lakatos (1922-1974 M), ia mengkritik pendapat atau pemikiran yang memandang ilmu pengetahuan hanyalah akumulasi teori yang berdiri sendiri. Menurutnya, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset. Perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas. Kontinuitas ini memerankan peranan penting dalam sejarah ilmu. Ia menepiskan adanya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.[24]
  2. Thomas Kuhn, beranggapan bahwa kemajuan ilmiah itu pertama-tama bersifat revolusioner, berbeda dengan Lakatos yang menetapkan konsep kontinuitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Konsep sentral Kuhn adalah apa yang disebut “paradigma”, yaitu kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktek ilmiah dalam periode tertentu. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal dimana para ilmuwan berkesempatan mengembangkan dan menjabarkannya secara mendalam.

III. KESIMPULAN
            Pada periode Yunani, obyek kajian terpusat pada jagad raya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat mengenai arche (asas pertama alam semesta), ada yang berkata air, ada yang berkata api, ada yang berkata atom dsb. Pada abad tengah, filsafat mengkaji tentang masalah ketuhanan (teosentris), beberapa pendapat terlihat lucu menurut kita namun harus kita hargai, bahwa salah satu dari mereka berkata bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan alam semesta akan tetapi dzatnya tetap abadi. Pada abad modern, Filsafat rame membahas manusia, muncul banyak sekali aliran-aliran berakhiran isme, dan yang panas adalah perdebatan antara kaum empirisisme dan rasionalisme dalam hal tolak ukur sebuah kebenaran. Pada perode kontemporer, ya periode kita juga ini, memusatkan kajian pada ilmu atau logosentris. Saran kami, mengutip kata Socrates “Kebijaksanaan sejati datang ke setiap kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya kita memahami tentang kehidupan. Dunia kita sendiri dan dunia di sekitar kiat”.
            Semoga makalah ini bermanfaat dan kami berharap semoga para pembaca meletakkan makalah ini dalam hati dan pikiran mereka, tidak dalam tangan mereka. Atas segala khilaf, kami memohon sebanyak-banyak maaf.


DAFTAR PUSTAKA
1.       Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum,Rajawali pers; Jakarta, 1995.
2.       Brouwer, Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya, Alumni; Bandung, 1986.
3.       Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius; Yogyakarta, 1975.
4.       Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty; Yogyakarta, 1995.
5.       Hadiwijono, Harun, Sejarah Filsafat Barat, Kanisius; Yogyakarta.
6.       Epping, et. al. Filsafat ENSIE, Jemmars; Bandung, 1983.
7.       Smith, Samuel, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh Dalam Bidang Pendidikan, Bumi Aksara; Jakarta, 1986.
8.       Muslih, Muhammad, Filsafat Umum, Belukar; Yogyakarta, 2005.
9.       Zubaedi, Filsafat Barat, Arruz Media; Yogyakarta, 2010.
10.    Halomoan, Hendra, Berpikir Seperti Filosof, Arruz Media; Yogyakarta, 2010.
11.    Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, Kanisius; Yogyakarta, 1972.
12.    Daruni, Endang, Filsuf-Filsuf Dunia Dalam Gambar, Karya Kencana; Yogyakarta, 1982.




[1] Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum (Rajawali pers; Jakarta, 1995), hlm 32.
[2] Brouwer, et. al., Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya, (Alumni; Bandung, 1986), hlm 2.
[3] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius; Yogyakarta, 1975), hlm 26.
[4] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Liberty; Yogyakarta, 1995), hlm 3.
[5] Bertens, ibid, hlm 29.
[6] Brouwer, ibid, hlm 6.
[7] Ibid, hlm 7.
[8] Ibid, hlm 13.
[9] Bertens, ibid, hlm 59.
[10] Harun Hadiwijono, Sejarah Filsafat Barat, (Kanisius; Yogyakarta) hlm 37.
[11] Brouwer, ibid , hlm 33.
[12] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 57.
[13] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 62.
[14] Ibid, hlm 67.
[15] Epping, et. al. Filsafat ENSIE, (Jemmars; Bandung, 1983), hlm 128.
[16] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 70.
[17] Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh Dalam Bidang Pendidikan, (Bumi Aksara; Jakarta, 1986), hlm 86.
[18] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 107.
[19] Muhammad Muslih, Filsafat Umum, (Belukar; Yogyakarta, 2005), hlm 96.
[20] Zubaedi, Filsafat Barat, (Arruz Media; Yogyakarta, 2010), hlm 19.
[21] Hendra Halomoan, Berpikir Seperti Filosof, (Arruz Media; Yogyakarta, 2010).
[22] Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Kanisius; Yogyakarta, 1972), hlm 42.
[23] Endang Daruni, Filsuf-Filsuf Dunia Dalam Gambar, (Karya Kencana; Yogyakarta, 1982), hlm 62.
[24] Zubaedi, ibid, hlm 184.