Kamis, 12 November 2015

Sinopsis Novel “Kuntul Nucuk Mbulan”



oleh: Sahal Japara

            Novel ini bercerita tentang seorang santri yang menimba ilmu dan air kehidupan di desa para santri yang punya julukan tanah surgi, yaitu Kajen. Nama aslinya Fauzan, tetapi ia lebih sering dipanggil Paejan semenjak mondok di Pondok Pesantren Al-Hikam yang diasuh oleh Mbah Jogo seorang kyai yang ahlul quran dan ngalim dhohir bathin.
            Paejan dilahirkan dalam keluarga agamis. Ibunya seorang guru mengaji al-quran dan Bapaknya adalah seorang pengrajin macan kurung, karya ukir khas Jepara yang kian hari kian tak diminati. Macan kurung terbuat dari sebalok kayu jati yang dipahat dan diukir tanpa lem dan tanpa sambungan kayu membentuk sebuah kurungan yang di dalamnya terdapat seekor macan yang dirantai. Menjadi seorang pengrajin macan kurung membuat Bapak Paejan menjaga dan mengamalkan falsafah macan kurung. Sebalok kayu jati adalah ibarat seorang manusia. Dari balok itu, muncul seekor macan yang dipahat tanpa lem dan tanpa sambungan kayu. Artinya setiap manusia pasti memiliki nafsu yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya yang mampu mengoyak-rusakkan hidupnya seperti seekor macan. Maka nafsu yang diibaratkan macan itu harus selalu dirantai dan dikurungi agar tidak mengalahkan manusia.
Sebelum dipondokkan, Paejan merupakan anak yang bandel, nakal dan sulit diatur sampai-sampai orang tuanya sering mengelus dada. Segala macam cara ditempuh oleh Bapak dan Ibunya, namun selalu kandas melawan kenakalan Paejan yang begitu akut. Pada suatu malam ketika sang Ibu bermunajat kepada Tuhan, tiba-tiba ada suara tanpa rupa membisik di telinga Ibu Paejan: “Nek kepengen anakmu mari, dusi banyu Kajen![1] Kemudian, setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Bapak dan Ibu Paejan memutuskan untuk memondokkannya di Pesantren Al-Hikam Kajen. Meskipun kondisi ekonomi keluarga sedang kritis karena produk macan kurung yang sudah tidak laku di pasaran, Bapak dan Ibu Paejan tetap mantap dengan pilihannya. Mereka yakin bahwa setiap orang yang menempuh jalan menuju Tuhan, akan dituntun, ditunjukkan, dan dimudahkan. Dan benarlah, semenjak Paejan mondok rezeki keluarga melimpah ruah. Setelah Bapaknya memenangi lomba logo branding kota Jepara, ia mendapatkan banyak job mengajari pemuda-pemuda Jepara untuk membuat karya ukir khas Jepara yang lambat laun hanya tersisa beberapa gelintir orang yang benar-benar mampu untuk membuat model aslinya, yaitu patung macan kurung yang terbuat dari sebalok kayu jati tanpa lem dan tanpa sambungan kayu.
Ketika hendak masuk ke Pesantren al-Hikam, Mbah Jogo mengajukan sebuah syarat kepada Paejan jika ingin diterima menjadi santrinya. Apa syaratnya? Tirakat! Jadilah Kuntul Nucuk Mbulan!
Karena tidak faham dengan istilah-istilah itu, Paejan pun bertanya kepada Mbah Jogo, tetapi Mbah Jogo justru meminta Paejan untuk mencari artinya sendiri. Kuntul Nucuk Mbulan merupakan gambar dua burung bangau berwarna biru yang mematuk rembulan sabit emas dari dua sisi. Gambar ini terpahat di mimbar masjid Kajen, dan konon merupakan peninggalan bersejarah seorang wali yang menyebarkan Islam di Desa Kajen yaitu KH Ahmad Mutamakkin.
Di tengah kebingungannya itu, Paejan bertemu dengan salah seorang santri senior Pesantren al-Hikam asal Kalimantan yang sudah lama tinggal di Kajen dan tahu banyak tentang sejarah Mbah Mutamakkin dan berbagai peninggalannya, yaitu Kang Kasan. Dari Kang Kasan dan dari berbagai kejadian, sedikit demi sedikit Paejan memahami makna gambar Kuntul Nucuk Mbulan.
Kuntul merupakan seekor burung yang bisa hidup di mana saja dan pemakan apa saja (omnivora). Ia memiliki sifat qona’ah atau ---kata orang Jawa--- nrima ing pandum. Karena sifatnya yang demikian, ia pun memiliki kekuatan untuk selalu tirakat, yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berguna untuk mencapai segala tujuannya. Kuntul Nucuk Mbulan adalah perlambang bahwa manusia harus selalu tirakat jika ia ingin diangkat derajatnya (dilambangkan dengan: terbang) dan mampu mencapai segala tujuan (dilambangkan dengan: mematuk cahaya rembulan). Cahaya rembulan berbeda dengan cahaya matahari. Cahaya rembulan itu lembut, indah, suci, teduh dan menentramkan hati. Ia hanya ditemukan dalam malam yang selalu menyembunyikan diri. Maka meskipun seekor kuntul itu terbang tinggi sehingga mampu mematuk rembulan sabit yang bercahaya emas, ia tidak pernah menampakkan diri apalagi menyombongkan diri.
Gambar burung kuntul diberi warna biru memberikan makna bahwa seorang manusia sejati harus mampu menyamudera dan mengudara seperti laut dan langit yang berwarna biru. Laut adalah perlambang: hablun minan naas dan sifat naasut (sifat-sifat kemanusiaan), sedangkan langit adalah perlambang: hablun minallah dan sifat lahut (sifat-sifat keTuhanan). Jika manusia mampu memadukan dan meleburkan keduanya, maka terjadilah apa yang disebut Abu Manshur al-Hallaj dengan al-hulul, yakni Tuhan mengambil tempat di dalam tubuh manusia ketika ia mampu melenyapkan sifat-sifat kemanusiaan (nasut) yang ada di dalam dirinya. Sedangkan bulan sabit bercahaya emas adalah perlambang bahwa siapa yang permulaannya bercahaya maka pamungkasnya juga akan bercahaya, sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Athaillah: man asyraqat bidayatuhu asyraqat nihayatuhu.
Dalam perjalanannya selama mondok di Kajen di Pesantren al-Hikam yang diasuh Mbah Jogo, Paejan mengalami berbagai kejadian yang sarat akan makna dalam kehidupan.
Pada awal-awal mondok, Paejan harus belajar prihatain dan tirakat, karena pada waktu itu kondisi ekonomi keluarga sedang kritis. Sebentar kemudian, ia dicoba dengan rezeki yang melimpah karena Tuhan telah membuka lebar-lebar rezeki Paejan sekeluarga. Ia pun leha-leha dan poya-poya. Sampai ketika Kuman (nama aslinya Rohman) seorang teman yang biasa mengajaknya bersenang-senang dapat hukuman berat, Paejan baru benar-benar taubat dari berfoya-foya menghamburkan harta. Ia pun menyesal selama bertahun-tahun di Kajen belum bisa apa-apa. Memaknai kitab saja tidak bisa, padahal ia sudah lama tinggal di pesantren.
Api penyesalan membuat semangat Paejan untuk membenahi diri berkobar-kobar. Ia pun menjalankan syarat Mbah Jogo yang pernah ia tetapi kemudian ia abaikan, yaitu: tirakat. Meninggalkan segala yang tidak penting dan segala yang mengganggu dalam mencari ilmu, karena sementara ini tujuannya adalah mencari ilmu. Setiap hari ia tidak pernah lepas dari kitab kuning. Lebih-lebih ketika Mbah Jogo pengasuh pesantren sekaligus guru matapelajaran Tafsir Paejan di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (selanjutnya Matholek) menawari cara supaya para siswa bisa cepat membaca kitab kuning. Caranya adalah ketika diajar tidak boleh memaknai, boleh memaknai ketika sudah berada di pesantren. Anehnya, cara itu hanya berlaku untuk Paejan karena hanya ia yang meng-insyaallah-i tawaran Mbah Jogo.
Di tengah-tengah kesibukan Paejan bergelut dengan kitab gundul dan makna gandul, ia dicoba Tuhan dengan seorang gadis cantik jelita bernama Najwa Kamila yang ia kenal melalui surat-surat bangku. Najwa Kamila yang artinya adalah bisikan yang sempurna ternyata mengganggu kekhusyukan Paejan dalam belajar dan bergelut dengan kitab kuning. Meski tak pernah bertemu, bisikan Najwa Kamila selalu mendesis di hatinya. Lama-lama ia merasakan apa yang acapkali dirasakan para remaja dan orang dewasa: cinta! Cinta itu membuatnya semakin rajin belajar karena Najwa Kamila adalah seorang bintang sekaligus bunga madrasah. Paejan merasa harus mengimbangi Najwa Kamila jika ia ingin mendapatkan cintanya. Kemudian ia bersama-sama teman-temannya menggagas sebuah halaqah diskusi dan musyawarah yang bertujuan untuk melestarikan budaya pesantren yang makin lama makin tergerus arus globalisasi. Kitab kuning dan musyawarah dipandang sudah tidak menarik lagi semenjak internet dan handphone merebak di kalangan santri. Halaqah ini diberi nama MAKHROJAN yang artinya adalah sebuah jalan keluar. Sebenarnya MAKHROJAN adalah singkatan dari nama-nama pendirinya, yaitu: MAkky, Kuman, Haikal, ROfiq, dan paeJAN.
Cinta kepada Najwa membuat semangat Paejan untuk meningkatkan dan menampakkan diri semakin menggebu. Digagas olehnya sebuah ide untuk membangunkan Bulletin Bahasa Arab yang sudah tertidur selama puluhan tahun. Diajaknya beberapa teman untuk meng-goal-kan misi ini. Ia terinspirasi seekor kuntul atau bangau yang ketika di angkasa terbang secara bersama-sama membentuk sebuah panah yang kukuh menuju satu titik kendati angin melawannya dengan hembusan kuat lagi kencang. Paejan berkata kepada Najwa bahwa Najwa bukanlah duri yang menancap di kaki sehingga mengganggu jalannya kaki, tetapi Najwa adalah kaki itu sendiri. Kaki yang membuatnya mampu berdiri, melangkah hingga berlari. Halaqah musyawarah MAKHROJAN yang Paejan gagas bersama teman-temannya semakin hari semakin bertambah banyak anggotanya. Sedangkan bulletin Bahasa Arab yang ia bangunkan dari tidur panjangnya terjual laris di pasaran.
Di akhir-akhir masa studinya di Matholek, saat ia duduk di kelas 3 aliyah sebuah kejadian besar menggoncang jiwanya. Bapak Paejan meninggal dunia. Paejan berpikir bahwa sekarang ia harus tinggal di rumah untuk menggantikan tugas Bapak sebagai tulang punggung keluarga. Tetapi Ibunya menolak. Sang Ibu justru sangat kecewa jika Paejan putus ngaji di tengah jalan. Paejan bingung. Sampai ketika Ibunya mengungkapkan sebuah rahasia tentang Paejan yang tak pernah diceritakan kepada siapa-siapa, ia baru mantap dan yakin untuk kembali lagi ke Kajen. Dahulu, saat Paejan masih dalam kandungan usia 4 bulan, sang Ibu pernah bermimpi didatangi seekor burung bangau bermahkotakan bulan sabit emas yang cahayanya begitu indah dan begitu terang. Anehnya, burung bangau itu tidak sebagaimana yang lazim dilihat banyak orang, karena ia berwarna biru. Bangau biru itu tiba-tiba menundukkan kepala dan mempersembahkan mahkota kepada sang Ibu. Sang Ibu menafsirkan, bahwa kelak anak yang dikandungnya itu akan menjadi seorang ahlul quran yang mampu mempersembahkan sebuah mahkota yang sinarnya lebih indah dari sinar sang surya kepadanya dan suaminya kelak di hari kiamat. Sebenarnya Paejan pernah disarankan Bapaknya untuk menghafalkan al-quran kepada Mbah Jogo, tetapi dulu Paejan menolak. Dan sekarang, karena rasa bersalahnya kepada Bapak membuncah, maka tumbuhlah semangat berjuang Paejan untuk menjadi seorang ahlul quran sebagaimana yang diinginkan Bapak dan juga Ibunya. Akhirnya ditempuhlah jalan untuk menghafalkan al-quran pada awal-awal kelas 3 Aliyah.
Najwa Kamila yang sudah lama tidak pernah berkirim surat bangku kepada Paejan karena tidak pernah sebangku lagi sejak kelas 1 aliyah, tiba-tiba mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi Paejan sebuah kado yang ditaruh Najwa di laci meja Paejan. Makky teman dekat Paejan yang memiliki rasa kepada Najwa tetapi selalu diabaikan dan ditolak mengambil kado itu dan melaporkannya kepada komisi disiplin (komdis) siswa. Disidanglah Paejan oleh guru-guru komdis. Kasus itu dilaporkan kepada Mbah Jogo pengasuh pesantren yang ditempati Paejan beserta barang bukti berupa kado dan sebuah surat yang ditempelkan di luar kado itu. Paejan takut dan bingung. Setelah mengaji al-quran, ia dipanggil Mbah Jogo. Anehnya, Mbah Jogo tidak memarahinya. Bahkan, Mbah Jogo malah memberikan kado itu kepada Paejan sembari menasehati bahwa memperjuangkan al-quran selalu diuji dengan banyak cobaan termasuk juga perempuan. Kemudian Mbah Jogo meminta Paejan agar tidak mengulanginya lagi. Setelah dibuka, ternyata kado itu berisi 3 jilid kitab Faidhul Barakat fi Sab’il Qiraat karya KH Muhammad Arwani Amin yang dibeli Najwa hanya untuk Paejan sewaktu mengaji posonan di Pesantren Yanbu’ul Quran Kudus.
Setelah kejadian itu, Paejan tidak pernah membalas surat yang dikirimkan Najwa. Ia fokus belajar dan belajar agar hasil akhir maksimal. Suatu ketika ia ditawari Ustadz Itqan munaqisy (penguji) karya tulis arabnya untuk melanjutkan ke Universitas Islam Madinah. Syaratnya harus menjadi mutakhorrijin (lulusan) terbaik, nilai karya tulis arab terbaik, dan meraih predikat mutafawwiqah (summa cumlaude) dalam daurah (kursus) Bahasa Arab. Ia pun memacu diri untuk menggapai apa yang dimimpi. Mbah Jogo yang melihat Paejan mengebut dalam mengaji al-quran agar lekas khatam, menasehati Paejan bahwa semakin banyak yang dihafalkan maka semakin banyak pula yang harus dijaga dalam ingatan dan diamalkan dalam perbuatan. Mbah Jogo mengijazahi Paejan agar ia mendaras al-quran minimal 3 juz dalam semalam di dalam shalat malam. Dengan sekuat tenaga Paejan berusaha mengamalkan apa yang diijazahkan kyainya itu.
Di akhir tahun Paejan meraih segala yang disyaratkan oleh Ustadz Itqan untuk mendapatkan beasiswa ke Universitas Islam Madinah. Tetapi ketika kesempatan meneruskan ke Madinah itu diungkapkan Paejan kepada Ibunya, sang Ibu menolak karena tidak bisa jauh dari Paejan. Dengan berat hati, Paejan melepaskan impian meneruskan ke Madinah yang sudah ada di depan matanya itu. Yang lebih menyakitkan, ternyata kuota beasiswa ke Universitas Islam Madinah untuk Matholek ada dua orang. Yang satu diraih oleh Paejan. Dan yang satunya diraih oleh Najwa. Tetapi karena Paejan tidak bisa, maka digantikan oleh Makky yang menjadi mutakhorrijin terbaik kedua. Najwa pun menjadi begitu kecewa dan mengungkapkan segala yang dirasanya kepada Paejan dalam sebuah surat. Surat itu lagi-lagi tidak bisa dibalas oleh Paejan karena janjinya kepada Mbah Jogo. Dan pergilah Najwa bersama Makky ke Madinah, kemudian mereka berdua menikah di sana.
Saat hati begitu sakit dan begitu patah, Paejan mengabdikan seluruh hidup dan waktunya untuk al-quran. Mbah Jogo menyarankan agar ia meneruskan mengaji al-quran qiraah sab’ah kepada Mbah Jogo. Kado yang pernah diberikan Najwa berupa 3 jilid kitab Faidhul Barakat itu pun digunakan Paejan untuk mengaji qiraah sab’ah kepada Mbah Jogo. Sutau ketika, Paejan mendapatkan hadiah haji gratis dan kesempatan untuk mengampanyekan produk ulama nusantara setelah ia memenangi lomba proyek penulisan dan eskavasi naskah ulama nusantara yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia. Tulisannya berjudul “Faidhul Barakat: Upaya Kyai Arwani Membumikan Ilmu Qiraat” membawanya ke tanah suci. Di tanah suci, mulut Paejan tidak henti-hentinya melafalkan ayat-ayat suci al-quran. Ketika ia sedang shalat malam sembari mendaras al-quran sebagaimana yang diijazahkan Mbah Jogo, tiba-tiba ada cahaya begitu terang menerangi sekelilingnya. Dari balik cahaya itu muncul seorang manusia yang tengah mendekatinya! Cahaya yang mengiringinya menyeruak kemana-mana hingga Paejan tidak mampu melihat kecuali dirinya dan orang itu. Ia kemudian berdiri di samping Paejan. Menirukan seluruh gerakan shalatnya. Saat salam, betapa kaget dan terkejutnya Paejan mendapati dirinya utuh dalam wujud lain di sampingnya saat ini. Antara sadar dan tidak, orang itu menjabat tangan Paejan, kemudian memeluknya erat dan berkata pelan.
            “Akulah qarin-mu[2], yang selalu menyuarakan kebenaran dan kebaikan dalam dirimu. Akulah sirr[3] yang ada dalam bacaan al-quran yang senantiasa engkau istiqomahkan. Akulah sekeping diantara dua burung bangau yang mematuk cahaya rembulan sabit emas dari dua sisi, agar letak bulan sabit seimbang sehingga mampu menangkap segala isyarat Ilahi dengan tanpa bimbang.”
Setelah mendengar kata-katanya, Paejan tidak sadarkan diri di tanah suci.
Mbah Mutamakkin yang mengikat diri untuk mengeluarkan nafsu dari dalam dirinya telah menuntun Paejan yang senantiasa menyucikan diri dengan kalam ilahi untuk mengeluarkan jatidiri dalam wujud dirinya yang lain. Saat lahut dan nasut menyatu, maka saat itulah man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa robbahu berlaku.          
       




[1] Kalau ingin anakmu sembuh, mandikanlah air Kajen!
[2] Lihat QS Qaf: ayat 27. Qarin secara harfiyah artinya teman. Secara istilah berdasarkan ayat 27 Surat Qaf tersebut dapat dimaknai sebagai teman yang tidak nampak yang ada di dalam setiap diri manusia yang senantiasa menyerukan kepada kebaikan. Dalam ayat 27 Surat Qaf tersebut, ketika seorang manusia dimasukkan kedalam neraka, qarin-nya berkata bahwa ia tidak menyesatkannya (ia sudah berusaha untuk menyerukan kebaikan tetapi diabaikan manusia). Dalam budaya spiritual Jawa, dikenal istilah “Bala Tuwa”, yang maknanya mirip dengan qarin.
[3] Rahasia. Bisa dimaknai sebagai khadam. Setiap wirid memiliki sirr sendiri-sendiri yang ketika diamalkan secara istiqamah, sirr itu bisa muncul.

Selasa, 03 November 2015

Sholeh & Akrom; Ngangsu Banyu Kahuripan Ing Pesantren



“Ngelmu, Angel Tinemu”
(Sholeh & Akrom Kaping 2)
oleh: Sahal Japara

Akrom: “Leh, nek coromu, ngelmu iku asale sangka Basa Arab عِلْمُ tah sangka Basa Jawa Ngelmu sing jare wong njowo ki angel ditemu?”
Sholeh: “Hehe nek coroku cik علم cik ngelmu iki kabeh asale ya sangka ngarsane Gusti Kang Moho Suci!”
Akrom: “Lha nek iku ya wes ora usah ditakokke kabeh wong lha ngerti! Maksude asal basane sing kawitan iku metune sangka ngendi aku kan kepengen ngerti to.”
Sholeh: “Hehe nek coroku ya? Mbuh bener mbuh salah, percaya lah ora yo lah. Ngelmu sing angel ditemu iku asale sangka Basa Arab عِلْمُ kang anduweni makna: ngerteni, ngaweruhi lan makna seng sepadan.[1] Lah iki lho sing kudune awak dewe ngerti nisbate wong luru ngelmu sing pancen angel ditemu. عِلْمُ iku kasusun sangka telung huruf. Awakmu ngerti Krom?”
Akrom: “ع، ل، م Leh!”
Sholeh: “Nah, ngelmu iku dikawiti huruf ع kang tulisane mlungker-mlungker menggak-menggok. Iki tandane wong luru ngelmu sing kepengen pikantuk ngelmu sing bener iki pancen dalane menggak-menggok uga mlungker-mlungker, ora kok lurus bebas ora ono alangan.”
“Lha carane nulis huruf ع iku yo mbutuhke tahapan-tahapan, pertama nuliske lengkungan sing cilik ndisik banjur disusul nuliske lengkungan sing gedhe, iki nandakke yen luru ngelmu iku pancen kudune bertahap ko sithik ko sithik dikawiti perkara-perkara sing cilik-cilik ndisik sing bobote enteng, nuli disusul perkoro-perkoro sing gedhe-gedhe sing abot-abot.”
“Huruf ع iki kalebu huruf sing itungane makhroje angel diucapke kerana manggone ana ing njero. Mulane wong njowo kerep muni “nga” kerana angel lan jerune makhroje ع. Iki nandakke yen wong luru ngelmu iki mbutuhke perjuangan sing keras lan jeru, kudu wigati lan setiti. Lha huruf ع iki kan ora bakal iso kawoco yen ora diharokati to Krom?”
Akrom: “Iyo Leh. Kasroh harokate. Trus piye karepe?”
Sholeh: “Kasroh iku panggone neng ngisor, mulane wong luru ngelmu kudu tawadlu’ lan andap asor, ben ngelmune mbesuk isa kawoco ngarsane Gusti Allah Kang Moho Ngudaneni. Harokat iku artine obah.[2] Mulane wong luru ngelmu seng gelem tawadlu’ andap asor iki disamping ngelmune mbesuk bakal kawoco deneng Gusti, yo bakal obah tetep urip meski seng nduwe wis mati. Wong luru ngelmu ki yo kudu kasroh, awakmu ngerti apa artine kasroh Krom?”
Akrom: “Pecah[3] tah Leh?”
Sholeh: “Siiip Krom. Kudune pecah!”
Akrom: “Maksude kepiye Leh?”
Sholeh: “Maksude pecah iku larut hambur-lebur nyatu-padu karo ngelmu seng pengen ditemu. Deweke nggrangsang utowo hirsh karo ngelmu. Lan olehe nggrangsang nggudak-nggudak ngelmu iku ora kerasa amerga awake wes kalebur dadi siji karo ngelmu kayadene uyah utawa gula sing larut neng njero banyu. Seng ketok mung banyu, seng diluru mung ngelmu Krom!”
Akrom: “Oh ngono yo Leh?”
Sholeh: “Iyo to Krom. Teruske apa ora?”
Akrom: “Yo diteruske to! Iki babakan seng penting je. Aku malah tambah penasaran kok.”
Sholeh: “Oke sip. Nek ngono ayo disruput kopine ndisik Krom hehe. Iku mau lagi tahapan kang kawitan. Sing kaping pindo sak bakdane tahapan ع, wong sing luru ngelmu kudu ngliwati tahapan ل. Huruf ل iki sinambung karo huruf ع. Tulisane ل iku kan tegak lurus munggah, iki nuduhke yen wong luru ngelmu kang wis bisa ngliwati tahapan ع, iki kudu lurus jejeg istiqomah anggene luru ngelmu. Nek nde’e wis iso lurus jejeg istiqomah, nde’e bakalan munggah, bakal diangkat derajate deneng Gusti Allah. Iki-lah sing bisa mbedakke antarane wong pinter karo wong bodho. Tapi sarate yo iku mau, pancen kudu lurus jejeg istiqomah kayadene jejeg luruse garis huruf ل.”
“Lha nek nde’e wis bisa lurus jejeg, banjur nde’e bakal diparingi kluwengan-e huruf ل sing kayadene gantolan, sing bisa nggantol lan nyantol kabeh perkara kang tumiba sangka nduwur, ateges ngelmu sing tumiba saking langit yaiku ngelmune Gusti Kang Maha Ngudaneni. Iki nyocoki karo apa kang didawuhke Kanjeng Rasul Muhammad SAW:
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ[4]
Kang artine: “Sapa wonge sing gelem ngamalke ngelmu kang wus dingerteni, Allah bakal maringi ngelmu kang durung tahu dingerteni.”
“Lha huruf ل iku yen diucapke kan nemukke antarane pucuking ilat lan cetak utawa langit-langiteng cangkem. Iki nandakke yen wong sing luru ngelmu iki kudune njaga ilat sing nuduhake ati kerana nde’e wis nampa pesen sing tumiba saking Gusti. Huruf ل iki diwoco sukun sing anduweni arti: 1. Anteng 2. Mati. Iki nandakke yen wongkang luru ngelmu kang wis bisa ngliwati tahapan ل mau, nde’e bakal pinaringan anteng manahe adem ayem pikirane kerana kepengenan-kepengenan tumeraping sak liyane ngelmu iki wis mati Krom.”
Akrom: “MaasyaaAllaah, jebul jeru maknane ya Leh. Itungane ya pancen kudu temenanan ben isa kaya ngono. Lha terus tahapan sing terakhir, tahapan huruf م iki maksude piye?”
Sholeh: “Hehe iseh gelem ngrungokke apa ora? Nek wis ora konsen kan mending ora usah tak teruske, ora ana gunane. Ngomong ngalor ngidul koyo penyiar radio malah jebul gak dirungokke hehe.”
Akrom: “Yo diteruske lah. Wong iki justru seng paling akhir. Perkara sing terakhir sing metune kari-kari biyasane kan akeh artine a? hehe.”
Sholeh: “Siiip lah… sak bakdane ngliwati tahapan ع lan  لseng kudune iseh tetep dijogo, wong seng luru ngelmu kudu ngliwati tahapanم . huruf م iku tulisane dikawiti bundelan sing neruske lengkungane ل mau. Iki nuduhke yen wongkang luru ngelmu sing wes merkoleh ngelmu seng tumiba saking Gusti, nde’e kudu bisa njaga lan mbundeli supaya ora padha ucul lan lali. Bundelane م iku ora tau ngejarke ngelmu sing wes terkumpul padha lali lan ucul akhire padha metu sangka bundelan, kerana bundelane iku ora ana celahe.”
“Sakbakdane nde’e bisa mbundeli kaya bundelane م, nde’e kudu bisa neruske nulis huruf م yaiku tegak lurus jejek mengisor. Iki nandakke yen wongkang luru ngelmu sing temenanan sak bakdane bisa ngumpulke lan mbundeli ngelmu kanthi sampurna lan paripurna, nde’e kudu ngamalke lan nularke maring wong-wong kang ana sak ngisore nde’e kelawan ngaji, ngabdi, lan ngabekti. Tahapan م iki tahapan sing makhroje paling njobo, sak bakdane ع sing paling jero, disusul ل sing ana ing tengah. Ana ing tahapan م iki, wongkang luru ngelmu kudu isa ngamalke kanti nyata kerana makhroje م iku ana ing njaba. Sing asale mung teori blaka kang ono ing tahapan ع lan  ل amerga makhroje ana ing njero, kudu dadi nyata lan ana bukti tanda ngabekti. Makhraje م kang nemukke lambe nduwur lan lambe ngisor iki nuduhke yen wong kang luru ngelmu kang wis tutuk tahapan م iku kudu isa nemukke lambe nduwur (حبل من الله) lan lambe ngisor (حبل من النّاس).”
“Huruf م iku ora isa kawoco lamun ora diwenehi harokat, mulane diharakati dhommah Krom. Dhommah iku artine kumpul, nuduhke yen wong seng bener-bener isa merkoleh hakikate علم iku kudu isa ngumpulke lan mersatukke ummat supaya padha bisa tansah bali maring Quran (Kitab) lan Hadits (Sunnah) kanthi jama’ah. Ikilah ngelmu sing bisa njaga ahlussunnah wal-jama’ah Krom. Kerana ikulah, Syekh Zarnuji pernah ndawuhke wonten ta’limul muta’allim bilih sak bagus-baguse  ngelmu iki ngelmu laku lan sak bagus-baguse ngamal iku njaga laku.
أَفْضَلُ الْعِلْمِ عِلْمُ الْحَالِ وَأَفْضَلُ الْعَمَلِ حِفْظُ الْحَالِ[5]
Kang artine: “Sak utama-utamane ngelmu iku ngelmu laku (haal), lan sak utama-utamane ngamal iku njaga laku (haal).”
Dadi ikilah kabeh hakikate ngelmu kang bisa nekakke hikmah utawa kebikjasanaan Krom.”
Akrom: “Ya Allaaah, jebul-jebul ngelmu iku pancen angel tinemu ya Leh ya? Basa Arab jebul nyimpen makna akeh. Munggane aku ora takon awakmu menawa ya aku ora ngerti.”
Sholeh: “Kabeh iku Allah Krom. Awak dewe ngerti utawa ora iki kabeh kersane Gusti. Senajan sing diparingke iki ming sithik, ya tetep kudu disyukuri. Carane nyukuri kuwe ngerti?”
Akrom: “Piye carane Leh?”
Sholeh: “Yo dingamalke sak isane.”


[1] KH Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm 966.
[2] Ibid, hlm 256
[3] Ibid, hlm 1208
[4] Hadits punika inggih wejanganipun Simbah KH Ahmad Yasir ingkang asring dipun ngendikaaken wonten ngaos Tafsir Jalalain.
[5] Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, hlm 4.