Rabu, 28 Oktober 2015

Menuliskan Kearifan Lokal (Local Wisdom)[1]



Oleh: Sahal Mahfudh[2]

العلم صيد والكتابة قيده :: قيّد صيودك بالحبل الواثقة
“Ilmu adalah hewan buruan, sedangkan tulisan adalah tali kekang,
Ikatlah buruan-buruanmu dengan tali yang kencang.”


Mari Mulai Menulis...
Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa (maharah lughawiyyah) yang bersifat produktif (intajy) dan bisa dibaca siapapun tanpa pernah bertemu, dan kapanpun tanpa terhalang oleh waktu. Berbeda dengan keterampilan mendengarkan (istima’/listening) dan keterampilan membaca (qiraah/reading) yang bersifat reseptif (istiqbaly) yang hanya memposisikan seseorang sebagai konsumen informasi tanpa melakukan produksi. Berbeda pula dengan keterampilan berbicara (kalam/speaking) yang meskipun merupakan keterampilan yang bersifat produktif, namun terbatas oleh ruang dan waktu. Karena hanya para pendengar pada waktu itu yang bisa benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh sumber informasi utama yaitu penutur pertama. Selanjutnya, informasi yang hanya berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya lambat laun akan mengalami pengurangan dan penambahan dari apa yang pertama kali dikatakan oleh penutur asli. Benar lah apa yang dikata para penyair, bahwa apa yang diucap akan menguap, dan apa yang dicatat akan melekat erat.
Produk-produk penulisan merupakan sebuah pertanda tumbuh kembangnya peradaban dan kebudayaan. Dengannya, peradaban dan kebudayaan suatu bangsa dapat dikenal dan dipelajari. Sejarah tentang suatu bangsa akan dikenang dalam waktu yang cukup lama bila ia ditulis-tintakan. Jika tidak, maka perlahan-lahan akan ditelan oleh waktu dan tersapu oleh angin. Betapa banyak bangsa-bangsa terdahulu yang hilang tanpa jejak, karena tak ada satupun peninggalan yang menuliskan keberadaan mereka. Dan jika cerita-cerita tentang mereka diabadikan dalam tulisan, maka selama tulisan itu masih ada mereka akan terus dikenang dan diketahui keberadaannya, sebagaimana kisah-kisah kaum yang terdahulu beribu-ribu tahun yang lalu yang diabadikan dalam al-Quran. Bukan hanya sejarah bangsa, ilmu-ilmu pun jika tidak ditulis-tintakan akan diangkat kembali keharibaan Tuhan.
Maka mari kita bersama, membangun peradaban dan kebudayaan kita dengan menulis. Menulis apapun yang berguna bagi sekitar kita, bagi masyarakat kita, bagi bangsa kita, dan bagi seluruh umat manusia. Karena setiap tempat selalu membutuhkan para penulis untuk mencatatkan sejarahnya agar tetap hidup meskipun wujudnya telah tiada. Setiap tempat memiliki karakteristik, peradaban dan kebudayaan yang berbeda. Maka betapa indahnya jika kita mampu mengumpulkan hal itu dalam sebuah tulisan yang dapat mengeksplore kearifan-kearifan lokal (local wisdom) agar terangkat ke permukaan hingga dikenal dan dipelajari banyak orang. Apalagi sekarang zamannya sudah zaman global, dimana bangsa yang memiliki identitas dan jatidiri yang kuat, dia lah yang akan mempengaruhi kebudayaan dan peradaban bangsa lain. Sedangkan bangsa yang tak punya pendirian, dia akan mudah diombang-ambingkan bangsa lain. 
Salah satu cara untuk memugar-jaga identitas dan jatidiri bangsa agar tidak lenyap ditelan hegemoni bangsa lain adalah dengan menuliskan dan mengampanyekan segala hal yang selama ini dianggap sepele oleh sebagian orang namun begitu berharga bagi jatidiri bangsa, yaitu: kearifan lokal (local wisdom).
“Santri Kajen”,  “Sholeh & Akrom”, dan Kearifan Lokal.
            Diantara tulisan produk lokal yang berusaha mengungkap kearifan lokal yakni tentang nilai-nilai dan budaya yang berkembang di Desa Kajen adalah buku kumpulan cerpen “Santri Kajen” dan “Sholeh & Akrom: Ngangsu Banyu Kahuripan Ing Pesantren”.  Keduanya merupakan buku fiksi berisikan cerita-cerita yang sarat akan makna tentang adanya sebuah “peradaban” dan “kebudayaan” di desa yang memiliki puluhan pondok pesantren, yaitu Kajen.
            Buku pertama yaitu “Santri Kajen”, yang berisikan 14 cerita pendek pilihan bertemakan Kajen sebagai kota santri, mengajak para santri untuk agar bukan hanya sekedar membaca, melainkan juga menulis. Selama ini, budaya menulis di kalangan pesantren masih minim, padahal pesantren merupakan salah satu warisan kekayaan bangsa yang masih menjaga dan melestarikan tradisi para pendahulu (founding father) dengan prinsipnya yaitu al-muhafadzah ‘ala al-qadim ash-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi lama yang masih releven sembari mengakomodir hal-hal baru yang lebih baik.
            Buku kedua yaitu “Sholeh & Akrom: Ngangsu Banyu Kahuripan Ing Pesantren” merupakan kumpulan cerita fiktif berbahasa Jawa berjumlah 50 episode yang berusaha mengejawentahkan nilai-nilai “Shalih & Akrom” yang digagas beliau Dr. KH MA Sahal Mahfudh dalam tindakan nyata, dengan menokohkan “Sholeh” dan “Akrom” sebagai dua orang santri yang sedang menimba ilmu kehidupan di pesantren. Keduanya, baik Kang Sholeh maupun Kang Akrom berusaha menjadi dirinya sendiri, Sholeh yang artinya baik dan relevan di setiap saat maupun tempat, dan Akrom yang berarti paling mulia dengan menjaga akhlak etika dan taqwa. Secara singkat, Sholeh-Akrom dapat dikata sebagai seorang yang berilmu dan beretika. Generasi yang berilmu dan beretika[3] inilah yang dapat membawa bangsanya kepada kemajuan peradaban dan kebudayaan. Generasi berilmu (bit-ta’allum) dan beretika (bit-taqarrub) inilah yang menurut Imam Ghazali berpeluang besar untuk mendapatkan ilmu nafi’, yakni ilmu bermanfaat yang mengantarkan seseorang untuk benar-benar dapat mengenal Tuhan.
            Meskipun kedua buku tersebut merupakan karya fiksi, semoga dapat memberikan pelajaran yang berarti dan membekas di dalam hati para pembaca, sehingga dapat menumbuh-kembangkan semangat untuk terus berjuang memperbaiki kesalahan menuju kesalehan. Jalan dakwah menuju Tuhan itu beragam, salah satunya adalah dengan menuliskan cerita-cerita yang sarat akan makna terpendam, yang mudah dicerna dan difaham. Semoga, yang sepele dan kecil itu dapat turut serta menjaga kearifan lokal yang dari waktu ke waktu kian tergerus semakin tak terurus.
Sebagaimana Kanjeng Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan budaya lokal, mari kita bersama-sama melestarikan dan memugar-jaga kearifan lokal.      


[1] Disampaikan di Madrasah Darul Falah Sirahan Cluwak Pati dalam acara bedah buku “Santri Kajen” dan “Sholeh & Akrom” pada Hari Sabtu 28 Februari 2015.
[2] Santri PP Mathali’ul Huda Pusat Kajen Margoyoso Pati, alumnus STAI Mathali’ul Falah tahun 2014.
[3] Bung Karno menyebutnya sebagai generasi yang terdidik dan tercerahkan. Sedangkan Ali Syariati tokoh revolusi Iran menyebutnya sebagai “Rausyanfikr”, Bahasa Persia yang diserap dari Bahasa Arab “Rausyan” yang artinya adalah jendela, dan “fikr” yang artinya adalah berpikir. Jendela adalah representasi seorang yang tercerahkan karena melalui jendela cahaya dapat masuk menyinari ruangan, dan berpikir adalah representasi seorang yang terdidik karena selalu menggunakan fikirannya.

Aroma Sang Pahlawan (Biografi Masyayikh)



Oleh: Sahal Japara

            Pahlawan secara etimologi berasal dari Bahasa Sanskerta: “phala-wan” yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama.[1] Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.
            Dalam Bahasa Arab, kata pahlawan sering dibahasakan dengan “بَطَلٌ”, seakar kata dengan “بَطَلَ” yang berarti: batal, rusak.[2] Jika dianalisa, maka terdapat hubungan makna di antara kedua kata tersebut. بَطَلٌ yang berarti “pahlawan” dan بَطَلَ yang berarti “batal” atau “rusak” memberikan sebuah pemahaman bahwa pahlawan adalah seorang yang mampu membatalkan dan menggagalkan usaha para musuh bangsa dalam merusak negara baik secara moril maupun materil.
            Salah satu diantara jutaan pahlawan nusantara yang gagah berani berjuang melawan para penjajah adalah Simbah KH Mahfudh Salam ayahanda Simbah KH MA Sahal Mahfudh, putra Simbah KH Abdussalam, dan kakak Simbah KH Abdullah Zen Salam.
            Semasa hidupnya, beliau Mbah Mahfudh dikenal sebagai seorang kyai sekaligus pejuang yang gigih memegang prinsip. Aroma kepahlawanan beliau telah tercium sejak kecil. Beliau begitu giat menimba ilmu di saat teman-teman seumurnya masih senang bermain. Kehausan akan ilmu mengantarkan beliau sampai ke Mekkah untuk berguru kepada Syekh Mahfudh Termas yang ketika itu menjadi guru besar di tanah suci, bersama kedua teman Mbah Mahfudh dari Kajen yaitu: Simbah KH Mukhtar ayahanda Simbah KH Makmun Mukhtar dan Simbah KH Jabbar ayahanda Simbah KH Husein Jabbar.
            Mbah Mahfudh merupakan sosok kyai yang gigih memegang prinsip dan tidak mudah untuk dipengaruhi. Salah satu contoh kegigihan beliau memegang prinsip adalah keistiqomahan Mbah Mahfudh dalam memegang dhawuh-nya para ulama’ dengan mengembelikan segala perilaku dan tindakan kepada dhawuh-nya para ulama’. Pernah suatu ketika, beliau menjamak shalat dhuhur dan ‘ashar hanya untuk mengkhatamkan sebuah kitab yang beliau baca. Sontak, keputusan beliau ini mengundang banyak kritikan dari para kyai setempat. Dan jawaban beliau atas berbagai kritikan.
            “Aku mung ngamalke dhawuhe para ulama’, senajan iki qaul dha’if. Lha nek ora ana sing ngamalke dhawuhe para ulama’, trus sing nganggo ndung sapa?”[3]
            Kegigihan beliau memegang prinsip membuat Mbah Mahfudh sama sekali tidak mau tunduk pada penjajah. Tunduk dan takut kepada penjajah menurut beliau adalah sebuah perilaku yang tidak terpuji (al-akhlaq al-madzmumah), sebagaimana dhawuh beliau dalam kitab Mandzumat al-Akhlaq:
مَحَبَّةُ الْأَشْرَارِ وَالتَّشَبُّهُ :: بِهِمْ وَبِالْكُفّارِ ثُمَّ الشَّرُّهُ
“(diantara perilaku yang tidak baik adalah) cinta (termasuk cinta adalah tunduk dan patuh) kepada orang-orang yang berperilaku buruk (salah satunya adalah para penjajah yang merampas hak orang lain) dan menyerupai mereka (baik dalam perilaku, perkataan ataupun tindakan) dan orang-orang kafir kemudian begitu empati kepada mereka.”[4]
            Hal inilah yang membuat para penjajah geram dan naik pitam, hingga mereka menyusun sebuah tipu daya untuk menjebak Mbah Mahfudh. Mereka menyebarkan sebuah issu bahwa Kajen dan sekitarnya sekarang dalam kondisi yang tidak aman. Banyak begal dan para pencuri berkeliaran. Issu merebak dan perasaan was-was menyeruak di hati para pedagang karena khawatir barang dagangannya dicuri para maling atau dirampas para begal. Penjajah pun menawarkan sebuah solusi kepada mereka.
            “Kalau toko tutup, untuk menjaga keamanan, bagaimana kalau kuncinya kita titipkan kepada seseorang yang dapat dipercaya?” Kata seorang penjajah menawarkan.
            “Setuju… Setuju…” Para warga menyetujui.
            “Kalau saran kami, sebaiknya kunci-kunci toko yang kita kumpulkan itu kita pasrahkan kepada Kyai Mahfudh Kajen. Kita semua kan tahu beliau orangnya sangat terpercaya dan tidak pernah berbohong apalagi berkhiyanat. Bagaimana? Setuju?”
            “Setuju… Setuju…” Para warga menyetujui usulan para penjajah itu.
            Rupa-rupanya ini hanyalah trik mereka untuk menjebak Mbah Mahfudh. Setelah kunci para pedagang dikumpulkan, kunci-kunci itu tidak langsung diserahkan kepada Mbah Mahfudh. Akan tetapi mereka membuat duplikatnya terlebih dahulu.
            Beberapa minggu setelah kunci-kunci pedagang itu diserahkan kepada Mbah Mahfudh, issu berkeliarannya para pencuri dan para begal seperti hilang tersapu angin. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba ada kasus pencurian beberapa toko warga yang menggegerkan. Kasus ini tidak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali. Para warga pun resah, dan mereka mulai bersyakwa-sangka yang tidak-tidak kepada Mbah Mahfudh.
            “Haaa? Ada pencurian berkali-kali? Pelakunya siapa lagi kalau bukan si pemegang kunci yang kita titipi?” kata seorang penjajah yang berpura-pura kaget mendengar ada kasus pencurian.
            Akhirnya, para penjajah yang memang sudah berencana menjebak Mbah Mahfudh menangkap beliau dengan tuduhan (fitnah) pencurian.[5]
Menurut mereka para penjajah itu, salah satu cara untuk menaklukkan orang jawa dan membunuhnya secara perlahan adalah dengan me-mangku mereka, sebagaimana aksara jawa yang mati dengan “pangkon”. Tabiat orang jawa itu mudah sungkan. Ketika mereka dipangku dengan sebuah pemberian, maka engkau telah membuat mereka sungkan dan berusaha memberikan balasan. Ketika mereka diberi, maka seakan-akan separuh diri mereka telah terbeli. Pemberian itu dapat berwujud dalam hal apapun, termasuk (pura-pura) memberikan jaminan keamanan kepada mereka di tengah merebaknya isu pencurian dan pembegalan.
Mbah Mahfudh ditangkap dan dipenjara tanpa ada kabar kepada keluarga dimanakah beliau dipenjara.
Di penjara, Mbah Mahfudh terkenal sebagai sosok pembangkang para sipir penjaga. Kalau diperintah apapun, apalagi sujud kepada mereka, beliau tak pernah sudi! Beliau selalu berbicara menggunakan Bahasa Arab apabila diomongi para penjajah itu, dan sama sekali tak mau menggunakan bahasa yang digunakan para penjajah baik bahasa belanda, Indonesia, atau pun jawa. Bisa ditebak, para penjajah itu semakin umup emosinya. Dan telah menjadi tradisi bagi mereka bahwa: tak ada hukuman bagi para pembangkang kecuali mati![6]
Menyadari bahwa beliau akan dibunuh, Mbah Mahfudh menitipkan pesan kepada salah satu temannya untuk memberikan bajunya kepada Ayahandanya Simbah Abdussalam sebagai pertanda bahwa beliau telah meninggal dunia.[7]
Tak ada hati, bagi para penjajah yang telah sakit hati.
Akhirnya, para penjajah itu benar-benar membunuh Mbah Mahfudh. Dijebloskanlah beliau ke dalam sumur khusus para pembangkang. Ada sekitar 18 orang yang dibunuh di sumur itu, dan hanya jasad Mbah Mahfudh yang masih utuh dalam posisi jongkok.[8]
Barangkali kau bisa menghilangkan raganya, tetapi tidak suara dan aromanya.
Berpuluh-puluh tahun, sumur itu telah tertimbun tanah. Warga Bugisan Lodayang Ambarawa tidak ada yang menyadari bahwa ladang pohon pisang yang tanahnya sangat subur itu ternyata dulunya adalah sebuah sumur. Sampai ketika ada seorang purnawirawan telah pensiun dari tugasnya. Meskipun tugas telah purna, bukan berarti pengabdian telah sirna. Adalah Bapak Totok (nama panggilan), seorang purnawirawan TNI yang memilih mengisi hari-hari pensiunnya dengan membersihkan makam para pahlawan yang berada di sekitar benteng kuno dan juga ladang pisang yang dulunya sumur itu.
Ada beberapa kejanggalan menurut Pak Totok setiap kali membersihkan makam para pahlawan itu. Diantaranya, ketika beliau melintasi ladang pohon pisang yang dulunya sumur itu, entah kenapa selalu tercium aroma wangi padahal beliau tidak memakai minyak wangi. Aroma wangi itu begitu semerbak memenuhi hidung Pak Totok setiap kali selesai membersihkan makam para pahlawan dan juga ladang pohon pisang itu. Sampai ketika Pak Totok di pasar hewan pun, aroma wangi itu masih saja tercium.
إِذَا أَرَادَ اللهُ شَيْئًا هَيَّأَ أَسْبَابَهُ
“Ketika Tuhan menghendaki sesuatu, Dia akan mempersiapkan sebab-sebabnya.”[9]
Seakan-akan Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatunya menjelang acara peringatan satu abad Perguruan Islam Mathali’ul Falah. Mbah Mahfudh-lah yang memberikan nama “Mathali’ul Falah”[10], dan (barangkali) sebagai balasan atas segala kebaikan, makam beliau telah diketemukan.
Pak Totok telah menjadi purnawirawan 4 tahun yang lalu (2010), 2 tahun sebelum acara satu abad berdirinya Mathali’ul Falah (2012). Setahun sebelum acara satu abad, Pak Totok sudah dihubungi pihak Perguruan Islam Mathali’ul Falah bahwa mereka akan berkunjung ke kediaman beliau karena disinyalir makam Mbah Mahfudh berada di sekitar kawasan yang ada dalam kendali Pak Totok itu. Dibentuklah sebuah tim yang dikepalai oleh Simbah KH Ahmad Yasir yang bertugas menemukan makam Mbah Mahfudh berdasarkan data sejarah, dan juga ilmu-ilmu ke-bathin-an. Pencarian selama enam bulan menyimpulkan bahwa makam Mbah Mahfudh berada di samping benteng kuno tepatnya di ladang pisang yang dulunya sumur khusus para pembangkang itu, yang selalu menebarkan aroma wangi setiap kali Pak Totok membersihkan makam para pahlawan.
            Kagem Simbah Mahfudh Salam al-Fatichah…..    

           
  


[1] Wikipedia.
[2] Kamus al-Munawwir.
[3] Cerita ini dituturkan beliau Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah.
[4] Simbah KH Mahfudh Salam, Mandzumat al-Akhlaq.
[5] Cerita ini dituturkan beliau Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah.
[6] Cerita ini dituturkan Bapak Totok seorang purnawirawan yang merawat makam para pahlawan di kawasan Bugisan Lodayang Ambarawa Semarang.
[7] Cerita ini dituturkan oleh salah seorang veteran yang masih hidup yang pernah dipenjara bersama Mbah Mahfudh.
[8] Cerita ini dituturkan oleh Bapak Totok.
[9] Perkataan Syekh Mutawalli Sya’rawi mufassir kontemporer dari Mesir.
[10] Dituturkan beliau Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah.