Senin, 15 Februari 2016

"Jangan Remehkan Mereka Yang Istiqamah Dalam Kebaikan" (Petuah Syekh Ibn 'Athaillah)

“Ketika kau melihat seorang hamba, yang dianugerahi Allah dengan adanya wirid-wirid serta diberik kekuatan untuk melanggengkan wirid-wiridnya (wirid: dzikir yang dilanggengkan), maka jangan sekali-sekali engkau meremehkan apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebab, engkau tidak betul-betul tahu tanda-tanda kearifan yang ada dalam dirinya. Maka alasan engkau meremehkannya lantaran (dalam pandanganmu) ia tidak memiliki tanda-tanda kearifan, tidak pula memiliki cahaya cinta, bukanlah sesuatu yang pasti (karena engkau hanya mengetahui luarnya, sedang batinnya hanya Allah yang tahu). Maka seandainya tidak ada Dzat yang menganugerahinya wirid, dia tidak akan langgeng menjalankan wiridnya (maksudnya: ada sebab atau kekuatan Sang Maha Kuat yang telah menggerakkannya, maka jangan engkau meremehkannya).”
[Ibn ‘Athaillah; Al-Hikam]

Suatu ketika, Syekh Ali Jum’ah Mufti Mesir bertanya kepada salah seorang muridnya: “Hai muridku, apakah engkau selalu melanggengkan wiridmu?”
Murid beliau menjawab: “Iya guru. Tetapi ada masalah ekonomi yang selalu menimpaku, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial.”
Syekh Ali Jum’ah menjawab: “Jangan merasa susah. Istiqamahkan saja wiridmu. Hal-hal yang demikian adalah rintangan yang mengganggumu supaya tidak istiqamah. Ingatlah bahwa istiqamah sungguh lebih baik dari seribu karamah (kemuliaan).”
Kemudian Syekh Ali Jum’ah bercerita bahwasanya dahulu, ada seorang Syekh Al-Azhar bernama Syekh Muhammad Rasyid, seorang professor dalam bidang tafsir sekaligus pemimpin para ulama di zamannya, pada waktu mudanya pernah bertemu dengan Syekh Muhammad Amin Baghdad. Waktu itu, usia Syekh Amin Baghdad di atas tujuh puluh tahun. Pertemuan dengan Syekh Amin tersebut membuat Rasyid muda menghadap Syekh Ahmad Mursi yang merupakan guru beliau, untuk meminta izin supaya bisa melanjutkan belajarnya kepada Syekh Amin Baghdad.
Syekh Mursi: “Kesinilah anakku. Katakanlah, kepada siapa engkau akan melanjutkan belajarmu?”
Rasyid muda: “Mengapa engkau bertanya demikian duhai guruku?”
Syekh Mursi: “Aku melihat dalam dirimu terdapat cahaya yang, semakin hari semakin tampak jelas berpijar.”
Rasyid muda: “Aku akan pergi belajar kepada Syekh Amin Baghdad.”
Seketika Syekh Mursi menjawab: “Pergilah bersamaku. Aku juga ingin mengunjungi Syekh Amin.”
Ketika Syekh Mursi bertemu Syekh Amin Baghdad, beliau pun berkata kepadanya: “Duhai Syekh, aku sudah tua. Dan aku ingin melakukan sesuatu di sisa umurku sebelum maut menjemputku.”
Syekh Amin Baghdad: “Apakah engkau memiliki amalan yang langgeng?”
Syekh Mursi: “Aku tidak punya amalan yang langgeng, kecuali shalat malam dua rekaat yang telah kulakukan selama 50 tahun tanpa ada seorang pun yang tahu. Tidak istriku, tidak anak-anakku, sama sekali tidak ada yang tahu.”
Syekh Amin: “Bagus!”
Kemudian Syekh Amin mengajak Syekh Mursi ke kediamannya. Rumah beliau memiliki 6 kamar khusus untuk kitab.
Syekh Mursi: “Syekh Amin, apakah engkau membaca seluruh kitab-kitab ini?”
Syekh Amin: “Tentu tuan. Setiap kitab baru yang datang kepadaku, kutaruh di luar ruangan. Tidak akan kumasukkan ke dalam kamar kitab kecuali aku telah selesai membacanya.”
Syekh Mursi: “Lantas, kapankah hatimu berdzikir kepada Allah Syekh, sementara waktumu telah habis untuk membaca?”
Syekh Amin terdiam, kemudian berkata: “Sampai sekarang, aku tidak tahu kapan hatiku mengingatNya.”
Setelah bertamu kepada Syekh Amin Baghdad, tiba-tiba Syekh Mursi berkata kepada Rasyid: “Hai anakku, demi Allah, aku merasa bahwa Syekh Amin telah meletakkan sesuatu dalam hatiku. Seakan-akan jemarinya meraba-raba hatiku.”
Dari kisah di atas, kita bisa belajar bahwa ketika Allah memberikan anugerah kelanggengan dalam kebaikan seperti: beribadah, membaca, belajar dsb kepada hamba, maka kita tidak boleh meremehkannya. Karena di dalam langgengnya kebaikan yang dilakukan hamba tersebut, terdapat Allah Sang Maha Wujud yang membuatnya mampu istiqamah dalam kebaikan, sekalipun dhahirnya tidak seperti seorang ‘alim atau tidak nampak seperti hamba yang selalu berdzikir kepadaNya. Andai tanpa Allah, maka mereka tidak akan bisa melakukannya.
sumber:
Ibn Athaillah, al-Hikam
Syekh Ali Jum'ah

Minggu, 14 Februari 2016

"Mutiara Cinta Syekh Ali Gomma"


 Berikut adalah untaian mutiara cinta dari mufti Mesir, Syekh Dr. Ali Gomma:

كلمة الحب في لغة العرب كلمة تتكلم عن الميل القلبي
فالحب هو نوع من أنواع ميل القلب ممكن يكون للأشياء أو للأشخاص أو للمعاني وهكذا
وهذا الحب موجود في القرآن وفي السنة وتاريخ المسلمين
وقد ألف فيه كثير من الأئمة كابن القيم الجوزية
Kata cinta dalam Bahasa Arab merupakan kata yang berbicara tentang kecendrungan hati. Cinta merupakan salah satu jenis kecendrungan hati baik terhadap sesuatu, terhadap seseorang, terhadap makna maupun hal-hal lain.
Al-Quran, Al-Hadits, kitab-kitab sejarah banyak yang berbicara tentang cinta.

الحب موجود وله قواعده وله إطاره الشرعي الذي يحدده
Cinta adalah wujud yang memiliki kaidah. Ia memiliki kerangka syariat yang membatasinya.

الحب إذا أثر في سلوك الإنسان إيجابا يكون مشروع
وإذا أثر في سلوك الإنسان سلبا يكون غير مشروع
Cinta, bila ia menimbulkan perilaku positif (yang sesuai syari'at, seperti: tambah giat ibadah dsb) pada manusia, maka cinta yang demikian diperbolehkan oleh syariat.
Sedang cinta, bila menimbulkan perilaku negatif pada manusia (seperti: cinta justru membuat manusia lupa Tuhannya), maka cinta yang demikian tidak lah diperkenankan oleh syari'at.

الحب في حقيقته عطاء
فالحب أن تعطي بدون أن تنتظر المقابل
Hakikat cinta adalah memberi,
Karena cinta selalu memberi tanpa harap kembali.

sumber:
FP Dr. Ali Gomma, 14 Februari 2016.

Sabtu, 13 Februari 2016

“Politik Santun Kyai” (Oleh: Sahal Japara)



Beberapa hari yang lalu, pada Jum’at 05 Februari 2016, Habib Salim Segaf Al-Jufrie mantan Menteri Sosial Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (2009-2014) hadir dalam pengajian rutin kliwonan yang diasuh oleh Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya, yang bertempat di gedung Kanzus Sholawat Pekalongan. Habib Salim merupakan Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sosial (PKS). Partai yang akhir-akhir ini mendapat stigma negatif dari sebagian kalangan, karena dianggap sebagai partai yang sering mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik. Apalagi, banyak dari kader partai ini berfaham salafi wahhabi, yang alergi terhadap tradisi yang sudah bertahun-tahun diamalkan oleh warga Nahdlatul Ulama (baca: Nahdliyyin) seperti tahlilan, manaqiban, ziarah kubur, maulid dst. Sehingga ketika mereka menyelenggarakan tahlilan, atau ketika mereka menggandeng Majelis Rasulullah untuk melaksanakan maulidan, atau ketika mereka hadir di pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh kalangan Nahdliyyin, ada semacam sikap sinis yang muncul dari sebagian warga Nahdliyyin. Mereka yang tidak suka dengan partai ini pun mungkin bertanya-tanya, sambil menyimpan jawabannya sendiri dalam dada: “Ada apa gerangan?”, “Ah, paling-paling mereka hanya menebar citra untuk meraup suara dari Muslimin Nusantara.”
    
Kedatangan Habib Salim yang masih aktif sebagai Ketua Majelis Syuro PKS di Kanzus Sholawat, tentu akan memantik desas-desus juga syakwasangka dari para hadirin yang mayoritas adalah warga Nahdliyyin. Tidak ingin jama’ahnya berasumsi negatif terhadap Habib Salim, sebagai tuan rumah, Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya pun berpesan kepada para hadirin:
          “Jangan dilihat partainya, tetapi lihatlah keulamaannya!”

          Dalam konteks ini, meskipun Habib Salim terjun di dunia politik, namun keulamaan beliau tetap tidak luntur oleh kekuasaan maupun jabatan. Habib Luthfi pun mengakui bahwa Habib Salim adalah orang yang ‘alim. Bahkan, Habib Anis Al-Habsyi Solo juga mengakui bahwa Habib Salim adalah seorang yang ‘alim. Sampai-sampai Habib Anis pernah mencium tangan Habib Salim, ketika beliau hadir di majelis pengajian yang diasuh oleh Habib Anis Al-Habsyi.
   
Tak pelak, nasehat Habib Luthfi kepada jama’ah untuk berbaik sangka benar-benar menghadirkan kedamaian di tengah-tengah jama’ah pengajian kliwonan Kanzus Sholawat. Di satu sisi, Habib Luthfi telah menjaga kehormatan Habib Salim Segaf sebagai tamu beliau. Dan di sisi yang lain, Habib Luthfi telah menyelamatkan para hadirin dari sikap yang tidak patut dilakukan oleh seorang muslim, yaitu suudz dzonn atau berburuk sangka kepada saudaranya. Habib Luthfi memberikan teladan, bahwa berburuk sangka lebih-lebih kepada ulama adalah tindakan yang tercela.

          Memang, jika melihat kiprah politik Habib Salim Segaf di PKS, beliau bukan semata-mata menjadi politisi murni yang kemudian haus akan jabatan dan kekuasaan. Lebih tepatnya, menurut hemat penulis, beliau Habib Salim Segaf adalah seorang da’i yang terjun  langsung di dalam partai politik, dengan tujuan menyeru kebaikan (ad-dakwah ila al-khair) di dalam internal partai itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bila dunia politik merupakan dunia yang penuh intrik. Sebagian kalangan menganggap bahwa politik adalah lautan keruh, yang tidak jelas antara mana yang halal dan mana yang haram, serta tidak memiliki sifat abadi dalam memilih kawan maupun lawan. Jika dunia politik adalah lautan keruh, sementara partai politik adalah bahtera yang mengarunginya, maka para ulama yang terjun di dalamnya merupakan layar yang tertiup angin Ilahi untuk menggerakkan bahtera menuju jalan yang diridhai. Namun tidak sembarang ulama’ mampu menjadi layar yang demikian. Sebab hanya ulama’ yang memiliki ---apa yang didhawuhkan Syekh Abdul Qadir sebagai syarat untuk membimbing manusia--- ‘ilmu al-‘ulama’, siyasat al-muluk, dan hikmah al-hukama’ saja yang mampu membawa bahtera agar tidak sesat jalan. Yaitu ulama’ yang mendalam ilmunya, memiliki kemampuan berpolitik yang dimiliki oleh para raja, serta memiliki kebijaksanaan yang ada dalam diri para bijak bestari. Selebihnya, hanya akan menjadi penumpang yang setia mengikuti kemana arah bahtera, sembari duduk manis di atas singgasana.    

          Mengenai dakwah ila al-khair, dalam sebuah ceramah, Habib Salim pernah menyinggung tugas seorang da’i:
Nahnu Du’aatun La Qudhaatun, antum ini sebagai da’i. Bukan hakim yang mengadili masyarakat. Jadi paham ya? Da’i itu kerjanya apa? Mengajak. Kalau ada yang sesat diajak. Itu namanya da’i. Tapi kalau kita sudah memposisikan diri sebagai hakim, itu persoalannya sudah berbeda. Kalau posisi hakim ini, ini kafir, ini musyrik, ini fil jannah, ini fi jahannam. Itu namanya Qadhi atau hakim. Tetapi Antum sebagai da’i, ud’u ila sabiili rabbika (ajaklah menuju jalan Tuhanmu). Kalau yang kurang faham, diajak dialog. Kalau menjelek-jelekkan Abu Hurairah RA, saya sudah jelaskan, (menjelek-jelekkan) Muslim saja sudah nggak bener. Apalagi sahabat? Kalau sudah menjelek-jelekkan itu, berarti memposisikan apa dia itu? Da’i atau hakim? Antum bisa jawab nggak? Kalau menjelek-jelekkan, mengatakan ini, itu hakim atau da’i? Kerja da’i itu berbeda. Kerja da’i itu mengajak, meluruskan. Yang sesat diajak, dengan cara yang bagus. Masalah nanti dapat hidayah, (atau) tidak dapat hidayah, itu urusan lain. Bukan di tangan kita. Tapi yang penting juga, negara juga hadir. Ini penting juga. Negara itu harus hadir. Adanya agama ini untuk membuat masyarakat tenang. Saya itu berharap. Di setiap agama, itu ada lembaga yang menjadi referensi rujukan. Kita di Indonesia ini, ada sekian banyak agama. Nanti kan muncul, mengatakan ini agama ini, ini agama ini. Ada rujukan yang bener nggak di agama ini? Sebab, ada di daerah-daerah juga, orang shalat tidak baca bismillah, pakai terjemahan juga. Ada juga kan? Pernah denger kan? Muncul atau ada Nabi baru, atau ada ini baru. Lha ini Negara harus hadir. Di situ pentingnya. Ulama pun punya rujukan, apakah MUI atau apa, menjadi rujukan mana yang benar, mana yang tidak benar. Tetapi sebagai, kita sebagai orang umum, masyarakat, Nahnu Du’aatun La Qudhaatun. Kita itu da’i.”[1]

          Selain Habib Salim Segaf Al-Jufri, ada beberapa ulama yang terjun di dunia politik praktis dengan membawa misi “dakwah ila al-khair”. Salah satunya, yang masih sugeng dan aktif adalah mahakyai kharismatik asal Sarang Rembang, yaitu KH Mamoen Zubair yang akrab disapa “Mbah Moen”. Mbah Moen adalah Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Beliau merupakan sosok ulama yang sangat disegani oleh siapa saja. Lebih-lebih di PPP, Mbah Moen merupakan ulama yang dipatuhi dhawuh dan fatwanya oleh para kader PPP. Bila ada perseteruan di dalam partai, maka dhawuh-dhawuh Mbah Moen adalah senjata ampuh untuk melerai (atau terkadang malah dijadikan perisai untuk mempertahankan posisi strategis di dalam partai). Keberadaan beliau dalam menjaga keutuhan partai demi membangun negara, mutlak dibutuhkan. Bukan hanya partai, negara dan pemerintah pun juga sangat membutuhkan kehadiran beliau. Karena Mbah Moen mampu memberikan teladan yang santun dalam berpolitik. Beliau adalah ulama yang mampu mengayomi seluruh kalangan, sehingga pihak-pihak yang saling berseteru merasa diperhatikan. Ketika mereka sama-sama merasa diperhatikan, maka ajakan Mbah Moen untuk berdamai pun akan menjadi kenyataan.
         
Kiprah Mbah Moen dalam berpolitik, bukan hanya mengurusi urusan partai yang beliau ugemi itu saja. Melainkan juga mengenai urusan-urusan penting negara. Mbah Moen adalah seorang negarawan. Banyak tokoh-tokoh penting di negeri ini yang setiap waktu sowan menghadap Mbah Moen untuk meminta pendapat mengenai sebuah permasalahan. Semua beliau terima, tanpa tebang pilih. Setiap ada orang yang hendak mencalonkan diri menjadi presiden, gubernur, bupati dan jabatan lain di pemerintahan, Mbah Moen selalu menerimanya dengan ramah. Beliau tidak merasa risih apalagi menolak, jika ada tamu yang berasal dari partai yang berbeda.
         
Dalam berpolitik, Mbah Moen memberikan teladan politik yang santun. Beliau tidak pernah mengumbar aib lawan politiknya di depan umum, apalagi menyebarkannya di sosial media. Jika ingin menyampaikan kritikan atau pesan, Mbah Moen mengajak orang yang dikehendaki untuk bertemu secara pribadi. Terkadang Mbah Moen sendiri yang mendatangi mereka, kadang pula mereka yang sowan ke kediaman pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar ini. Kemudian beliau sampaikan aspirasi dan pandangannya dengan sikap yang santun, sebagaimana yang beliau lakukan beberapa kali kepada Presiden Jokowi, Prabowo dan pejabat-pejabat tinggi negara lain yang Mbah Moen temui.
         
Sejak dahulu sampai sekarang, para ulama memiliki peranan penting dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara. Mereka menjadi tempat mengadu para pejabat, yang datang dengan berbagai permasalahan untuk meminta nasehat. Negara bisa maju dan berperadaban bila pejabat atau pemerintahnya mengindahkan para ulama’ yang mampu menjadi layar bagi bahtera, yang memiliki ‘ilmu al-‘ulama’, siyasat al-muluk, dan hikmat al-hukama’. Bukan ulama’ suu’, yang mendekati para pejabat hanya untuk menjilat harta dan martabat. Meski dunia politik terkenal kotor, sebagai orang awam, kita tidak boleh men-judge bahwa ulama’ yang turun gunung dan terjun dalam dunia politik sebagai orang yang kotor. Jangan pernah melihat seseorang dari partainya, namun lihatlah pribadi dan akhlaknya. Sebagai muslim, kita diperintah untuk berlaku adil, bukan?
         
Mbah Nawawi Banten, dalam kitabnya “Maraqi al-‘Ubudiyyah”, menuturkan sebuah cerita tentang seorang ulama, yang ketika wafat tidak ada yang melayat hanya gara-gara beliau pernah terjun di dunia politik. Kisah ini dituturkan oleh Syekh Ma’ruf al-Kurkhi  seorang sufi asal Irak yang wafat pada 200 H/815 M:

“Ketika Abu Yusuf ulama Madzhab Hanafi wafat, tidak ada satu pun orang yang pergi melayat, karena sebuah alasan bahwa beliau pernah menduduki jabatan di sebuah pemerintahan. Tiba-tiba, aku bermimpi bertemu dengannya, sebelum ia dikebumikan. Aku pun bertanya: ‘Apa yang Allah kehendaki atas dirimu?’ (sampai-sampai tidak ada satu pun orang yang berkenan melayat jenazahmu). Abu Yusuf menjawab: ‘Tuhan telah mengampuniku.’ Aku bertanya lagi: ‘Mengapa bisa demikian?’. Abu Yusuf menjawab: ‘Karena nasehatku kepada murid-murid dan pengikutku.’ Aku pun terbangun dan bergegas melayat jenazahnya.”

Syeikh Abu Yusuf adalah ulama besar madzhab Hanafi di zamannya. Beliau rela memilih jalan yang dipandang hina oleh masyarakat, sehingga tatkala meninggal tiada satu pun orang yang melayat, demi menyampaikan nasehat dan ilmunya kepada para pejabat agar pemerintahan menjadi maslahat. Sebagaimana dunia gelap yang butuh diterangi, dunia politik pun membutuhkan lentera yang berpijar oleh cahaya Ilahi. Maka jangan berburuk sangka, apalagi berburuk laku, kepada para lentera yang memilih politik sebagai jalan dakwahnya. Karena mereka tahu betul bagaimana menghadapi ancaman angin ketika hendak menyalakan lilin dalam kegelapan. Mereka tahu betul bagaimana menghadapi badai samudera ketika hendak mengembangkan layar dan mengarahkan bahtera menuju daratan Tuhan. Mereka berani melawan arus, diterpa hujan caci, digulung ombak maki, namun tiupan angin Ilahi selalu menghembuskannya menuju jalan yang diridhai. Dengan politik santun, mereka hendak menuntun, dengan strategi yang sungguh rapi tersusun. Dengan ilmu yang jernih, mereka sedang menanamkan benih-benih, yang membuat Syekh Abu Yusuf mendapatkan ampunan Sang Pengasih.

Benar bahwa setiap manusia memiliki hak untuk bersuara. Namun, yang membedakan suaranya dengan yang lain hanyalah etika. Sikap para ulama’ yang berpolitik dengan santun, sungguh patut untuk diteladani. Bagaimana mereka menyampaikan suara dengan cara yang sungguh manusiawi, bagaimana mereka menemui secara langsung orang yang hendak dititipi pesan dengan dalih silaturrahmi, bagaimana mereka tidak mudah mengumbar aib, yang dengannya kehormatan saudaranya akan raib? Adalah sebuah ajakan yang berbungkus tindakan, untuk senantiasa menebar kebaikan dan kedamaian, di zaman yang penuh akan fitnah dan cobaan. 

Bahan bacaan: dari berbagai sumber.

*Ditulis, bukan oleh politisi, bukan pula pakar politik, melainkan hanya santri klumprut yang selalu mengharap keabadian damai di bumi pertiwi.
Temas Batu, 13 Februari 2016.


               
         
            





Selasa, 09 Februari 2016

Pesan Syaikhuna KH Ahmad Nafi' Abdillah Tentang Perbedaan Pendapat


Mengapa akhir-akhir ini perpecahan semakin menjadi-jadi? Karena sekarang ini, setiap kali orang berbeda pendapat itu tidak mengikuti cara para ulama’ dulu. Dahulu, ulama' kalau berbeda pendapat tidak mencari pengikut. Semua dihadapi sendiri, tidak kesana kemari mencari dukungan, apalagi sampai memfitnah yang pendapatnya berbeda. Imam-imam madzhab dan kyai-kyai dulu banyak yang berbeda pendapat, tapi masih menjaga rasa takdzim dan hormat.
Pernah suatu ketika, Mbah Mahfudh Salam (Ayah KH Sahal Mahfudh Kajen Pati) menjamak shalat dhuhur dan shalat ashar hanya karena ingin mengkhatamkan sebuah pengajian kitab. Kajen pun geger. Banyak kyai yang tidak sepakat, namun tetap menaruh hurmat dengan apa yang dilakukan oleh Mbah Mahfudh Salam.
"Aku mengamalkan salah satu pendapat yang ada di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin. Kalau tidak diamalkan, lantas siapa yang mau menggunakan?"
Jawab Mbah Mahfudh saat ditanyai kyai-kyai Kajen.
Dulu, banyak ulama yang ramai berbeda-beda pendapat mengenai sebuah persoalan. Tetapi "bar yo bar" (selesai, ya selesai), setelah itu tidak ada dendam. Karena beliau-beliau saling menghormati satu sama lain. Lha sekarang, jika ada ramai-ramai beda pendapat, selalu diikuti dengan mencari pengikut dan pendukung, sembari mengajari memfitnah. Maka tidak heran kalau gegeran itu semakin dalam dan ruwet.
Ulama yang benar-benar ulama cirinya itu ada 4:
1. Yang senantiasa bersedekah baik dalam keadaan mudah maupun susah. (ينفقون في السّرّاء والضّراء).
2. Yang mampu menahan emosi/amarah (الكاظمين الغيظ).
3. Yang mudah memaafkan orang lain (العافين عن النّاس).
4. Yang selalu ingat kepada Allah ketika melakukan kesalahan, kemudian beristighfar dan meminta maaf kepada yang bersangkutan, dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan. (إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم ذكروا الله فاستغفروا لذنوبهم).

*Serpihan dhawuh-dhawuh KH Ahmad Nafi' Abdillah Kajen Pati. Semoga Allah selalu menjaga beliau kapan pun dan dimana pun. al-Fatihah...

"Mbah Sahal & Syekh Yasin, Para Kyai Yang Khumul"


Dalam acara pemberian ijazah hadits musalsal (Sebuah hadits yang dalam sanadnya antara satu perawi dengan perawi setelahnya melakukan hal yang sama, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun keduanya) kepada Mutakharrijin 2007, Mbah Sahal bercerita tentang kronologi bagaimana beliau mendapat hadits-hadits musalsal itu dari Syekh Yasin ulama ahli sanad asal Kota Padang.
Mbah Sahal mulai mengenal Syekh Yasin melalui karya-karyanya ketika beliau masih mondok di Sarang dibawah asuhan Kyai Zubair ayahanda Mbah Maimun Zubair. Membaca karya-karya Syekh Yasin membuat Mbah Sahal terkagum-kagum kepada beliau, sehingga beliau terdorong untuk mengirim surat kepada Syekh Yasin yang pada waktu itu bermukim di Mekkah. Mbah Sahal kaget karena surat yang beliau kirim di kala beliau masih belia itu mendapat balasan dari Syekh Yasin ulama internasional yang tidak diragukan lagi integritas dan kapabelitasnya. Kemudian berlangsunglah murasalah (surat-suratan) antara Syekh Yasin dan Mbah Sahal selama beberapa tahun. Pada suatu ketika, Kyai Baidlowie Lasem yang merupakan salah satu murid Syekh Yasin sowan ke Mekkah untuk menghadap gurunya. Syekh Yasin bertanya kepada Kyai Baidlowie apakah beliau mengenal Sahal putra Kyai Mahfudz Kajen? Seketika Kyai Baidlowie kaget karena ulama sekelas Syekh Yasin menanyakan seorang santri yang masih remaja yang waktu itu masih mondok di Sarang.
Murasalah antara Syekh Yasin dan Mbah Sahal masih berlangsung meskipun Mbah Sahal sudah menikah dengan Bunyai Nafisah. Dan anehnya, beliau berdua masih belum pernah bertemu dan bertatap muka satu sama lain. Hingga akhirnya Mbah Sahal berangkat haji untuk pertama kali, dan pada waktu itu haji masih menggunakan kapal. Sesampainya di pelabuhan, Syekh Yasin sudah menanti dan menanyai setiap penumpang yang keluar dari kapal, أأنت سهل? Apakah kamu Sahal putra Kyai Mahfudz? Beberapa kali Syekh Yasin salah menebak, hingga akhirnya beliau benar-benar bertemu dengan murid yang tak pernah beliau ketahui wajah-rupanya selama beberapa tahun. Seketika, Syekh Yasin mengijazahkan sebuah hadits musalsal yang pertama kali beliau dengar dari ayahandanya sekaligus gurunya Syekh Isa Padang dari guru ayahandanya sampai perawi pertama yaitu Sahabat Abdullah bin 'Amr bin 'Ash dari Kanjeng Rasul hadits musalsal itu juga merupakan hadits pertama yang sahabat Abdullah dengar dari Kanjeng Rasul. Berikut adalah haditsnya:
الرّاحمون يرحمهم الرّحمن تبارك وتعالى. إرحموا من في الأرض يرحمكم من في السّماء.
“Orang-orang yang berbelas kasih (kepada siapapun) akan disayang Tuhan Sang Maha Penyayang. Sayangilah semua makhluk yang ada di bumi, niscaya kamu semua akan disayangi semua makhluk di langit.”
Anehnya, Mbah Sahal yang mendengarkan hadits musalsal bil-awwaliyyah dari Syekh Yasin itu seketika hafal hadits sekaligus para perawinya sampai kepada Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم. Mbah Sahal juga menceritakan keheranan beliau ketika beliau diijazahi hadits musalsal bil-buka’ (hadits yang diriwayatkan sejak perawi pertama hingga perawi terakhir dalam keadaan menangis). Beliau heran sewaktu diijazahi, Syekh Yasin menangis dan Mbah Sahal pun tiba-tiba menangis. Guru dan murid benar-benar larut menyatu. Syekh Yasin menemukan murid yang sangat tepat untuk mewariskan ilmunya, begitupun Mbah Sahal menemukan guru yang benar-benar tepat untuk mencapai puncak keilmuannya.
Mbah Sahal tinggal bersama Syekh Yasin dalam rentang waktu sekitar 1-2 bulanan. Komentar beliau tentang Syekh Yasin: “شيخ ياسين هو رجل خامل الذّكر”. Syekh Yasin adalah seorang yang sederhana dan tidak ingin terkenal. Beliau membantu istri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mencuci, memasak dan bahkan beliau sering pergi ke pasar untuk membeli keperluan rumah tangga. Seorang ulama internasional yang masyhur akan keilmuan dan pengetahuannya tentang agama ini memilih untuk hidup sederhana sebagaimana yang diajarkan Kanjeng Rasul. Dilihat dari fotonya saja terlihat bahwa beliau memang tidak suka hidup bermewah-mewah dunia. Justru dengan kesederhanaan inilah beliau dapat membaur dengan masyarakat, sehingga dapat mengabdi sepenuh hayat kepada masyarakat dengan tanpa sekat. Kesederhanaan Syekh Yasin inilah yang dalam bahasa Bung Karno "menitis" kepada Mbah Sahal.
Pada suatu ketika, Kanjeng Rasul bersabda kepada para sahabat (hadits ini dibacakan Abah Zaki sewaktu khuthbah Jum'at dimana Mbah Sahal disareaken): "Hidupku baik untuk kalian. (Karena) Aku bisa menceritakan sesuatu kepada kalian, begitupun kalian bisa menceritakan sesuatu padaku. Pun wafatku baik untuk kalian. (Karena) Semua amal kalian akan diperlihatkan padaku. Jika kalian berbuat baik, maka aku akan bersyukur kepada Tuhan. Dan jika kalian berbuat buruk, maka aku akan memintakan ampunan untuk kalian". Pikirku, Mbah Sahal pun demikian. Semua kelakuan santri-santri beliau akan diperlihatkan kepada beliau. Jika berkelakuan baik, akan didoakan semakin baik. Dan jika berkelakuan buruk, akan dimintakan ampunan dan tuntunan agar ditunjukkan kepada yang baik-baik. Semoga dan semoga, sejelek-jelek kita, Mbah Sahal masih mau mengakui kita sebagai santrinya.
Duhai maha guru,
Aku ingin menjadi angin yang menerbangkan wangimu ke segala penjuru.
Aku ingin menjadi bumi yang engkau pijak, agar kemanapun engkau menjejak, aku dapat bersamamu dengan penuh bijak.
Aku ingin menjadi tanah yang engkau ludah, agar hidup-matiku, raga-sukmaku, selalu terarah dan berhujan berkah.
Lahum al-Fatichah....

"Belajar Menjaga Diri Kepada Kyai Sahal"


"...Orang yang tidak tahu mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena begitu menjaga diri (ta'affuf). Engkau bisa mengenali mereka dari sifat-sifatnya. Mereka tidak pernah meminta-minta kepada manusia..."
[QS Al-Baqarah: 273]

Dalam sebuah acara NU di Surabaya, pengurus PBNU dan para Duta Besar negara sahabat yang menjadi undangan VVIP diinapkan di Hotel Majapahit, salah satu hotel bergengsi di kota Pahlawan. Kyai Sahal, selaku Rais Aam tentu mendapat pelayanan lebih.
Beliau datang ke lobi hotel dan menyewa dua kamar suite room (kelas paling mahal) sekaligus. Dua hari beliau tinggal di sana. Namun ketika panitia akan membayar biaya inap, beliau menolak dengan tegas:
"Ndak usah! Aku mau bayar sendiri. Aku masih punya uang."
Kata Kyai Sahal sembari mengeluarkan sejumlah uang dari tas beliau.
Panitia pun melongo melihat sikap Kyai Sahal.
"Aku tidak mau pakai duitnya NU. Aku mau pakai duitku sendiri."
Kyai Sahal dhawuh sambil berjalan menuju kasir.
Setelah dari kasir, panitia masih mengejar Kyai Sahal untuk mengganti seluruh biaya.
"Kyai, berikan kepada kami bonnya, biar kami ganti."
"Gak usah!"
Tegas Kyai Sahal.

Kagem Simbah Dr KH MA Sahal Mahfudh, al-fatihah...

"Mbah Dullah; Sang Kekasih yang Kukuh Pendirian"

"Mbah Dullah" begitu orang-orang akrab memanggil mahakyai bernama Abdullah Zein Salam ini. Beliau --menurut satu riwayat-- dilahirkan pada tahun 1917 M di Kajen Pati Jawa Tengah. Mbah Dullah merupakan salah satu keturunan Syeikh Ahmad Mutamakkin, waliyyullah Desa Kajen yang konon masih keturunan Raden Hadiwijaya (Jaka Tingkir; alias Sayyid Abdurrahman Basyaiban).
Sejak kecil, Mbah Dullah sudah dididik oleh ayahandanya (Mbah Abdussalam) agar gigih dalam belajar. Berikut adalah sebagian riwayat pendidikan Mbah Dullah:
- mengaji al-Quran bin-nadhor kepada KH Sholihin Jepat Tayu Pati pada saat usia beliau belum genap 7 tahun.
- mengaji al-Quran bil-ghaib kepada KH Said Sampang Madura saat usia beliau 7 tahun.
- mengaji di Perguruan Islam Mathali'ul Falah, berguru kepada ayahandanya KH Abdussalam, kakak beliau KH Mahfudh Salam (ayahanda KH MA Sahal Mahfudh), paman beliau KH Nawawi (kakek KH Mu'adz Thohir) dan kyai-kyai kajen lain.
- mengaji di Pesantren Tebu Ireng asuhan KH Hasyim Asy'ari, bersama tiga teman dari Kajen, yaitu: KH Durri Nawawi, KH Tamyiz Ruslan dan KH Abdul Hadi.
- mengaji qiraah sab'ah sekaligus ilmu thariqah kepada KH Muhammad Arwani Amin Kudus (besan Mbah Dullah).
- mengaji ilmu thariqah kepada KH Abdul Hamid pasuruan.
Diantara sikap-sikap Mbah Dullah yang patut diteladani adalah:
1. Istiqamah.
Mbah Dullah dikenal sangat istiqamah menjalankan ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah. Beliau tidak akan meninggalkan amalan yang beliau lakukan kecuali karena sakit yang begitu berat. Hal yang paling dipegang erat oleh Mbah Dullah adalah shalat berjamaah 5 waktu. Sampai di usia senja, sebagaimana dituturkan oleh para santrinya, dengan tertatih-tatih Mbah Dullah selalu berjamaah bersama para santrinya.
2. Tawakkal.
Disamping istiqamah, Mbah Dullah juga seorang yang senantiasa memasrahkan segala urusannya kepada Allah SWT (Tawakkal). Pernah ada seorang tamu menawari beliau haji, namun uang yang dihaturkan oleh tamu tersebut masih kurang separuh. Mbah Dullah menolak tawaran tamu tersebut, sembari berkata: "Nek iyo mosok ora, nek ora mosok iyo?" (Kalau iya masak tidak? Kalau tidak masak iya?). Ucapan beliau merupakan bentuk sikap kepasrahan total kepada Allah SWT yang telah mengatur segalanya, sebagaimana apa yang sering dikatakan para bijak bestari: InsyaAllah kaana, wain lam yasya' lam yakun: jika Allah menghendaki maka terjadi, jika tidak maka tidak akan terjadi. Beberapa minggu kemudian, tamu itu kembali lagi ke rumah Mbah Dullah dengan uang yang lebih untuk dihaturkan beliau supaya bisa digunakan untuk haji.
3. Tawadlu'.
Selain istiqamah dan tawakkal, sikap Mbah Dullah lain yang menonjol adalah tawadlu', atau rendah hati. Beliau sering menjawab: "tidak tahu", ketika ditanya orang-orang, meskipun pada dasarnya beliau tahu. Mbah Dullah juga sangat tawadlu' ketika berhadapan dengan para kyai apalagi habib (keturunan Baginda Nabi Muhammad SAW). Beliau sangat menghormati Habib Luthfi murid beliau, yang secara usia adalah seumuran dengan putra beliau KH Ahmad Nafi' Abdillah. Disamping itu, Mbah Dullah merupakan pribadi yang tidak mudah mengeluh dan tidak suka terkenal, karena kerendahan hati beliau yang merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.
4. Kedermawanan.
Mbah Dullah juga terkenal sebagai pribadi yang dermawan. Jika ada orang yang meminta sesuatu kepada beliau, maka Mbah Dullah seperti angin yang berhembus, mudah sekali memberikan barang yang dimiliki jika dikehendaki orang lain. Pernah ada orang kaya bertamu dan menghaturkan segepok uang kepada Mbah Dullah. Tiba-tiba, Mbah Dullah memberikan segepok uang itu kepada para santrinya sembari berkata kepada tamu itu: "Tuh kan, sampean sudah bikin senang banyak orang."
Mbah Dullah wafat --sebagaimana kebiasaan beliau yang tidak suka ramai-ramai dan lebih suka bersembunyi-- pada 25 sya'ban 1422 M/11 November 2001, waktu ketika para santri-santri Kajen liburan dan santri-santri posonan Ramadhan belum pada datang, sehingga Kajen dalam keadaan sepi.
Diantara mutiara kalam Mbah Dullah adalah:
1. Al-Quran iku keramat, sopo gelem ngrumat bakal keramut, sopo ora ngrumat bakal keremet (Al-Quran itu kitab keramat. Siapa mau merawatnya, ia akan merawat kita. Siapa yang tidak mau merawat, akan kena laknat).
2. Nek ora gelem ngamalno ngelmu iku koyo kuning-kuninge mundu, rupane apik tapi ora enak (Kalau tidak mau mengamalkan ilmu itu seperti kuning buah mundu, warnanya indah tapi tidak enak rasanya).
3. Ojo mencil sakdurunge muncul (Jangan bersembunyi sebelum kamu berdakwah secara nyata kepada masyarakat).
4. Dhawuhe poro ulama senajan gapuk iso dienggo cekelan (Perkataan para ulama meskipun lemah, masih bisa dibuat sandaran).
5. Nek iyo mosok ora, Nek ora mosok iyo (Kalau iya masak tidak, kalau tidak masak iya?)
6. Bondho dunyo nek digoleki malah ngece-ngece, nek dijarno malah teko dewe (harta dunia jika dicari malah lari, kalau dibiarkan akan datang sendiri)
Kepada KH Abdullah Zein Salam, Al-Fatihah...
sumber:
Dhawuh-dhawuh KH Ahmad Nafi' Abdillah, Potret Sejarah & Biografi Pendiri-Penerus Perguruan Islam Mathali'ul Falah, dan berbagai sumber lain.