KARAKTERISTIK
FILSAFAT BARAT
Filsafat Yunani, Abad Tengah, Modern dan Kontemporer
I. PENDAHULUAN
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menitipkan potensi berpikir dalam diri manusia,
agar mereka dapat berpikir dan memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini
syarat hikmah dan makna serta tercipta tidak sia-sia. Shalawat serta salam
selalu terhatur atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah yang
penuh kedamaian, pejuang keadilan yang selalu mengajak kita bertafakkur,
berfikir, menalar serta merenungi betapa sempurna alam semesta dan jagad raya.
Pada
kesempatan kali ini tepatnya dalam makalah ini, kami insyaAllah akan membahas
“Filsafat Barat” untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Pengantar Filsafat
yang diampu oleh Bapak Muhammad Anas pada semester satu STAI Mathali’ul Falah.
Pembahasan ini penting karena Fisafat
Barat memiliki peran yang sangat signifikan dalam perubahan paradigma dunia
terutama dalam hal filsafat, dan filsafat menurut sementara pendapat merupakan
induk dari segala ilmu karena dari rahimnya keluar apa yang disebut ilmu
pengetahuan dan juga karena sifatnya yang dekonstruktif. Pembahasan tentang Filsafat Barat mencakup kajian tentang filsafat yunani, filsafat abad tengah,
filsafat abad modern, dan filsafat
kontemporer.
Mengapa perlu dilakukan
pengklasifikasian dalam mengkaji Filsafat
Barat ???
Karena
dalam fase yang berbeda-beda itu, obyek kajian utamanya pun berbeda-beda. Filsafat Yunani identik dengan alam
semesta (kosmos), Filsafat abad
pertengahan identik dengan masalah ketuhanan (theos), Filsafat abad modern identik dengan kajian tentang manusia
(antropos), Filsafat kontemporer identik
dengan kajian tentang ilmu (logos).
Semoga
makalah ini bermanfaat. Selamat mempelajari filsafat !!!.
II. PEMBAHASAN
Orang-orang Yunani yang hidup pada abad ke 6 SM mempunyai sistem
kepercayaan, bahwa segala sesuatu yang bersumber dari dongeng-dongeng atau
mitos-mitos yang berlaku dalam masayarakat harus diterima sebagai suatu
kebenaran yang mutlak dan tidak perlu dipertanyakan ataupun didekonstruksi.
Dengan sistem kepercayaan yang seperti itu, tentunya suatu kebenaran yang
dihasilkan lewat akal pikir (logos)
kalau tidak sesuai mitos atau dongeng yang berlaku maka tidak bisa dikatakan
sebagai suatu kebenaran. Akal tidak begitu mendapat tempat pada mada masa itu.
Bisa dikata bahwa masyarakat yang hidup pada masa sekitar abad ke 6 SM atau
sebelumnya, adalah masyarakat orality yang
menjadikan tradisi lisan sebagai pegangan.
Pasca Abad ke 6 SM, mulai bermunculan para pemikir Yunani yang menentang
adanya sistem kepercayaan yang berdasar pada mitos. Mereka mulai mempertanyakan
wujud sesuatu dan sebab dari sesuatu itu, dalam arti mereka telah mendudukkan
akal pada posisinya. Obyek besar kajian pada masa itu adalah alam semesta (kosmos). Upaya para pemikir yang
menggunakan akal sebagai tolak ukur kebenaran ini menimbulkan banyak orang yang
mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni.
Secara
garis besar, munculnya Filsafat Yunani disebabkan oleh tiga faktor[1]:
- Bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari upaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dll.
- Banyaknya karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong kemuculan filsafat Yunani, seperti karya Homerus yang mempunyai kedudukan penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang didalamnya terdapat nilai-nilai edukatif.
- Adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, yang kemudian mereka pelajari dan kembangkan sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang teoritis dan kreatif.
Dalam buku-buku filsafat yang kami
jadikan sebagai referensi, sejarah Filsafat Yunani terbagi menjadi dua fase
atau dua periode, periode Yunani kuno dan periode Yunani klasik. Periode Yunani
kuno diisi oleh ahli pikir alam seperti Thales, Anaximandros, Pythagoras,
Heraclitos, Parmanides, Democritos dsb. Sedangkan pada periode Yunani klasik
diisi oleh ahli pikir seperti Socrates, Plato, Aristoteles dsb.
A. FILSAFAT YUNANI
Periode Yunani ini sering disebut
periode filsafat alam. Karena pada periode ini banyak para ahli pikir alam yang
memusatkan perhatiannya dan pikirannya kepada apa yang diamati di sekitarnya.
Mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam yang bersifat
falsafati (berdasarkan akal) tidak berdasarkan mitos. Mereka mencari ruh atau
esensi yang tetap dan pertama yang sifatnya mutlak dan mendasari segala sesuatu
yang sifatnya serba berubah. Para pemikir filsafat Yunani yang pertama berasal
dari Miletos, sebuah kota perantauan Yunani yang terletak yang terletak di
pesisir Asia kecil. Mereka kagum terhadap alam yang penuh nuansa dan berusaha
mencari mencari jawaban atas apa yang ada di belakang semua misteri itu.[2]
Diantara pemikir besar pada masa itu
adalah:
- Thales (625-545 SM), seorang ahli Fisika dan Matematika yang diberi gelar The Father of Philosophy oleh Aristoteles.[3]Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Menurut pendapatnya, segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari air sebagai materi dasar kosmis. Ia juga berpendapat bahwa cahaya bulan adalah pantulan cahaya matahari. Thales merupakan ahli Matematika pertama dan ia dijuluki sebagai The Father of Deductive Reasoning (bapak penalaran deduktif).[4]
- Anaximandros (640-546 SM), orang pertama yang membuat peta bumi. Dalam pemikiran tentang arche (asas pertama alam semesta), ia berbeda dengan Thales. Anaximandros berpendapat bahwa asas pertama alam semesta adalah sesuatu yang tak dapat diamati indera, yaitu to apeiron (yang tak terbatas), berbeda dengan Thales yang berkata bahwa arche adalah air. Ia juga berpendapat bahwa bumi tidak bersandar pada sesuatu apapun, bumi tidak jatuh karena ia berada pada pusat jagad raya.[5]
- Pythagoras (572-497 SM), ahli Matematika yang dilahirkan di Pulau Samos, Ionia. Menurut Pythagoras, substansi semua benda adalah bilangan, dan segala gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-perbandingan matematis. Bilangan merupakan inti sari dan dasar pokok dari sifat-sifat benda (number rules the universe = bilangan memerintah jagad raya). Ia adalah orang pertama yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan satu keseluruhan yang teratur, sesuatu yang harmonis seperti dalam musik.
- Heraclitos (535-475 SM), kawan Pythagoras yang pemikiran filsafatnya terkenal dengan filsafat menjadi. Pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang berubah-ubah sehingga apa yang disebut realitas menurutnya adalah merupakan sesuatu yang khusus, jumlahnya banyak dan bersifat dinamis. Heraclitos berpendapat bahwa arche adalah api, di dalam arche terkandung sesuatu yang hidup (seperti roh) yang disebutnya logos (akal atau semacam wahyu). Logos inilah yang mengendalikan keberadaan segala sesuatu. Hidup manusia akan selamat apabila sesuai logos.[6]
- Parmenides (540-475 SM), pendapatnya mengenai alam semesta adalah sesuatu yang tetap dan berlaku umum itu tidak dapat ditangkap melalui indera, tetapi dapat ditangkap melalui akal atau pikiran. Untuk memunculkan realitas tersebut hanya dengan berpikir. Dialah yang pertama kali memikirkan tentang hakikat yang ada (being).[7]
- Empedocles (490-435 SM), Ia mengatakan bahwa realitas tersusun dari empat unsur yaitu api, air, tanah, dan udara. Penggabungan dari unsur-unsur yang berbeda itu akan menghasilkan suatu benda dengan kekuatan yang sama yang tidak berubah walaupun dengan komposisi yang berbeda. Dalam perubahan alam semesta ada dua unsur yaitu cinta dan benci yang termanifestasikan dalam persatuan dan perceraian.[8]
- Anaxagoras (499-420 SM), mengajarkan bahwa matahari adalah batu yang berpijar dan bulan adalah tanah, bukan sebagai dewa yang merupakan kepercayaan dari masyarakat pada saat itu. Menurutnya, realitas bukanlah satu melainkan terdiri dari banyak unsur dan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu atom. Atom adalah bagian terkecil materi yang tak bisa dilihat oleh mata. Ia mengatakan bahwa yang menyebabkan benih-benih menjadi kosmos adalah nus yaitu roh atau rasio. Dialah yang pertama kali membedakan antara jasmani dan rohani.[9]
- Socrates (496-399 SM) guru Plato, seorang yang dihukum mati karena ajarannya atau pemikirannya dinilai menyimpang. Socrates menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat terpisah. Barang siapa memiliki pengertian sejati berarti memiliki kebajikan atau keutamaan moral maka ia memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.[10]
- Plato (427-347 SM). Menurutnya, pengetahuan indera dapat berubah-ubah dan pengetahuan akal sifatnya tetap. Dalam bahasanya, ada dua dunia yaitu dunia pengalaman dan dunia ide. Dunia pengalaman bersifat tidak tetap, sedangkan dunia ide sifatnya tetap dan dunia ide inilah dunia yang sesungguhnya yaitu dunia realitas.[11]
- Aristoteles (384-322 SM), orang pertama yang mengenalkan analitika yang dalam bahasa sekarang disebut ilmu logika. Pemikirannya mencakup beberapa aspek ilmu pengetahuan, diantaranya tentang logika, silogisme, pengelompokan ilmu pengetahuan, potensia dan dinamika, etika, politik dan negara. Menurut Aristoteles, suatu pengertian memuat dua golongan yaitu substansi (sebagai sifat yang umum) dan aksidensia (sebagai sifat yang secara tidak kebetulan).[12]
B. ABAD TENGAH
Setelah
selesai periode Yunani, yang memusatkan kajian pada alam semesta
(kosmosentris), Filsafat barat dalam fase sejarah memasuki abad pertengahan.
Pada abad pertengahan, obyek utama yang dikaji para ahli filsafat adalah
tentang ketuhanan (teosentris). Filsafat barat abad pertengahan identik dengan
kekaisaran Romawi, karena menurut sejarah peradaban Yunani jatuh ke tangan
Romawi. Di wilayah kekaisaran Romawi, filsafat Yunani berintegrasi dengan agama
kristen sehingga membentuk formulasi baru yang merupakan filsafat Eropa yang
sesungguhnya. Dalam proses integrasi Filsafat Yunani dengan agama kekaisaran
Romawi yakni kristen, terdapat dua anggapan yang dijadikan rujukan. Anggapan
pertama bahwa Tuhan turun ke bumi dengan membawa kabar baik bagi umat manusia
yang berupa firman, dan ini dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang sempurna
dan sejati. Anggapan kedua, bahwa Filsafat Yunani merupakan sumber
kebijaksanaan yang tidak diragukan kebenaran, meski orang-orang telah mengenal
agama baru.[13] Abad pertengahan terbagi
menjadi tiga bagian: masa patristik, masa skolastik, dan masa peralihan.
a. Masa Patristik
Istilah patristik berasal dari
bahasa latin pater atau bapak, yang
artinya para pemimpin gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan
atas atau golongan ahli pikir sehingga menimbulkan sikap yang beragam antara
menolak filsafat Yunani dan menerimanya.
Diantara
tokoh-tokohnya yang besar adalah:
- Justinus Martir, pendapatnya bahwa agama kristen bukan agama baru karena kristen lebih tua dari filsafat Yunani, dan Nabi musa dianggap sebagai awal kedatangan kristen.
- Klemens (150-215 M), ia membatasi ajaran-ajaran kristen agar tidak terkontaminasi ajaran filsafat Yunani, ia memerangi ajaran yang anti kristen. Menurutnya filsafat Yunani dapat dijadikan alat untuk memperdalam iman kristen dalam arti memikirkannya secara mendalam.
- Augustinus (354-430 M), ia berpendapat bahwa daya pemikiran manusia ada batasnya, akan tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tak ada batasnya dan bersifat abadi. Artinya, akal pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi.[14]
b. Masa Skolastik
Istiah
skolastik adalah kata sifat yang
berasal dari kata school, yang berarti
sekolah. Jadi skolastik merupakan aliran yang berhubungan dengan sekolah.
Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama, bisa
dikatakan bahwa filsafat skolastik adalah filafat Nasrani karena banyak
dipengaruhi ajaran gereja.[15] Filsafat
skolastik muncul disebabkan adanya beberapa faktor, diantaranya adalah keadaan
lingkungan yang saat itu berperikehidupan religius.
Diantara
tokoh-tokoh besarnya adalah:
- Peter Abaelardus (1079-1180 M), pendapatnya adalah bahwa akal memiliki peran menundukkan kekuatan iman, iman harus mau didahului akal. Yang harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau dapat diterima akal. Ia mengatakan bahwa berpikir itu berada di luar iman, dengan kata lain berdiri sendiri.[16]
- Thomas Aquinas (1225-1274 M), ia berusaha untuk membuktikan bahwa iman kristen secara penuh dapat dibenarkan dengan pemikiran logis. Ia berkata bahwa kebenaran seluruhnya berasal dari tuhan dengan jalan yang berbeda-beda. Menurutnya, Tuhan tidak pernah mencipta dunia, akan tetapi dzat dan pemikirannya tetap abadi.[17]
c. Masa
peralihan
Masa
peralihan ini merupakan embrio dari filsafat Barat abad modern. Masa peralihan
ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme, dan reformasi yang
berlangsung antara abad ke 14 sampai abas ke 16. Renaissance adalah kelahiran
kembali eropa, suatu gelombang pemikiran yang dimulai di Italia, Perancis,
Spanyol hingga menyebar ke seluruh negara-negara Eropa lainnya. Diantara
tokoh-tokohnya adalah Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Machiavelli dan Giordano
Bruno. Humanisme merupakan suatu pendirian para ahli pikir yang mencurahkan
perhatian pada pengajaran kesusastraan Yunani dan Romawi serta perikemanusiaan.
Reformasi merupakan revolusi keagamaan di Eropa Barat pada abad ke 16.
C. ABAD MODERN
Secara historis, abad modern dimulai sejak adanya krisis pada abad
pertengahan selama dua abad (14-15) yang ditandai dengan munculnya gerakan
renaissance yang berarti kelahiran kembali. Para humanis bermaksud meningkatkan
suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah
manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.[18] Pada masa ini, obyek kajian utama
filsafat adalah manusia (antroposentris).
Perbedaan obyek besar kajian inilah yang menyebabkan adanya pengklasifikasian
dalam sejarah Filsafat Barat. Pada abad modern, persoalan-persoalan tentang
hakikat manusia terus coba diungkap, mengenai apa sebenarnya yang disebut
manusia itu. Dari sinilah lahir bermacam-macam disiplin ilmu yang membahas
tentang manusia seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran dll. semua
ini memperlihatkan betapa problema manusia benar-benar merupakan pembicaraan
yang menarik sepanjang masa.[19]
Dalam
filsafat abad modern, muncul berbagai aliran pemikiran seperti Rasionalisme
(Descartes dsb), Empirisisme (Thomas Hobbes dsb), Kritisisme (Kant dsb),
Idealisme (Hegel dsb), Positivisme (August Comte dsb), Evolusionisme (Darwin
dsb), Materialisme (Marx dsb), Neo-Kantianisme (Herman Cohen dsb), Pragmatisme ,
Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.
Diantara
tokoh-tokoh filsuf pada zaman ini adalah:
A. Rene Descartes (1596-1650 M)
yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal.
Latar belakang gerakan ini muncul adalah adanya keinginan untuk terbebas dari
segala pemikiran tradisional (skolastik). Hanya penalaran pasti yang harusnya
menjadi bagian dan diskursus filosofis.[20]
Menurutnya, filsafat adalah mempertanyakan pernyataan dan bukan mencari
pengetahuan.[21]
B. Immanuel Kant (1724-1804 M), ia
mengakui peranan akal dan keharusan empiri dalam menetapkan kebenaran suatu
pengetahuan. Metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan
diri pada rasionalisme, ia tidak menafikan adanya persoalan-persoalan yang tak
dapat dijangkau akal. Artinya, akal juga terbatas menurutnya.
C. G. W. F. Hegel (1770-1831 M),
menurut pendapatnya segala peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti jika
suatu syarat terpenuhi, yaitu jika suatu peristiwa-peristiwa itu sudah secara
otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya
adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Inilah yang disebut proses dialektika
dan proses ini yang menjelaskan segala peristiwa.
D. August Comte (1798-1857 M),
menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga
tahap yaitu tahap teologis, metafisis, dan ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut
berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga di bidang ilmu
pengetahuan. Ia terkenal dengan istilahnya altruism
yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia adalah usaha untuk hidup
bagi kepentingan orang lain.[22]
E. Charles Darwin (1809-1882 M),
pencetus teori evolusi, pendapatnya yaitu, perkembangan segala sesuatu termasuk
manusia diatur oleh hukum-hukum mekanik. Pada hakikatnya, antara binatang dan
manusia serta benda apapun tidak ada bedanya. Dimungkinkan terdapat
perkembangan manusia pada masa yang akan datang lebih sempurna.[23]
D. ABAD KONTEMPORER
Dalam abad kontemporer, obyek besar pokok kajian filsafat adalah ilmu
(logosentris). Filsafat ilmu adalah salah satu bidang kajian filsafat yang
banyak diminati pada abad kontemporer hingga sampai saat ini. Filsafat ilmu
dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan
filosofis ilmu pengetahuan.
Pertama,
sebagai disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat.
Dengan demikian, juga merupakan disiplin filsafat khusus yang mempelajari
bidang khusus yaitu ilmu pengetahuan. Maka mempelajari filsafat ilmu berarti
mempelajari secara filosofis berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan.
Kedua,
sebagai landasan filosofis bagi ilmu pengetahuan. Sepanjang sejarah
perkembangan ilmu, peran filsafat ilmu dalam struktur bangunan keilmuan tidak
bisa disangsikan, karena ia merupakan landasan filosofis bagi tegaknya suatu
ilmu. Maka mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat ilmu dalam setiap
kegiatan keilmuan.
Diantara
tokoh-tokoh filsuf abad kontemporer:
- Imre Lakatos (1922-1974 M), ia mengkritik pendapat atau pemikiran yang memandang ilmu pengetahuan hanyalah akumulasi teori yang berdiri sendiri. Menurutnya, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset. Perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas. Kontinuitas ini memerankan peranan penting dalam sejarah ilmu. Ia menepiskan adanya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.[24]
- Thomas Kuhn, beranggapan bahwa kemajuan ilmiah itu pertama-tama bersifat revolusioner, berbeda dengan Lakatos yang menetapkan konsep kontinuitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Konsep sentral Kuhn adalah apa yang disebut “paradigma”, yaitu kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktek ilmiah dalam periode tertentu. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal dimana para ilmuwan berkesempatan mengembangkan dan menjabarkannya secara mendalam.
III. KESIMPULAN
Pada
periode Yunani, obyek kajian terpusat pada jagad raya. Dalam hal ini ada
beberapa pendapat mengenai arche (asas
pertama alam semesta), ada yang berkata air, ada yang berkata api, ada yang
berkata atom dsb. Pada abad tengah, filsafat mengkaji tentang masalah ketuhanan
(teosentris), beberapa pendapat terlihat lucu menurut kita namun harus kita
hargai, bahwa salah satu dari mereka berkata bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan
alam semesta akan tetapi dzatnya tetap abadi. Pada abad modern, Filsafat rame
membahas manusia, muncul banyak sekali aliran-aliran berakhiran isme, dan yang panas adalah perdebatan
antara kaum empirisisme dan rasionalisme dalam hal tolak ukur sebuah kebenaran.
Pada perode kontemporer, ya periode kita juga ini, memusatkan kajian pada ilmu
atau logosentris. Saran kami,
mengutip kata Socrates “Kebijaksanaan
sejati datang ke setiap kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya kita
memahami tentang kehidupan. Dunia kita sendiri dan dunia di sekitar kiat”.
Semoga
makalah ini bermanfaat dan kami berharap semoga para pembaca meletakkan makalah
ini dalam hati dan pikiran mereka, tidak dalam tangan mereka. Atas segala
khilaf, kami memohon sebanyak-banyak maaf.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum,Rajawali
pers; Jakarta,
1995.
2. Brouwer, Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya, Alumni; Bandung, 1986.
3. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius; Yogyakarta, 1975.
4. Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty; Yogyakarta,
1995.
5. Hadiwijono, Harun, Sejarah Filsafat Barat, Kanisius;
Yogyakarta.
6. Epping, et. al. Filsafat ENSIE, Jemmars; Bandung, 1983.
7. Smith, Samuel, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh Dalam
Bidang Pendidikan, Bumi Aksara; Jakarta, 1986.
8. Muslih, Muhammad, Filsafat Umum, Belukar; Yogyakarta,
2005.
9. Zubaedi, Filsafat Barat, Arruz Media; Yogyakarta, 2010.
10. Halomoan, Hendra, Berpikir Seperti Filosof, Arruz Media;
Yogyakarta, 2010.
11. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, Kanisius; Yogyakarta,
1972.
12. Daruni, Endang, Filsuf-Filsuf Dunia Dalam Gambar, Karya
Kencana; Yogyakarta, 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar