I.
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan segala yang
ada di jagad raya dengan penuh hikmah. Shalawat serta salam selalu terhatur
atas Baginda Rasul Muhammad, semoga kita selalu digenang cahaya di setiap derap
maupun langkah.
Pada kesempatan kali ini, kami para
pemakalah akan membahas tentang “Islamisasi Sains” sebagai makalah yang disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester II yang diampu
oleh Bapak Mohammad Anas Mphil. Ketika membahas “Islamisasi Sains” ada satu
pertanyaan pertama yang mendasar. Sebenarnya, ada apa dengan sains?? Mengapa
harus diislamkan atau mengapa harus ada islamisasi dalam sains?? Atau apakah
sains itu kafir??. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul dalam benak para pemakalah
tatkala diberi judul makalah “Islamisasi Sains” tugas dari mata kuliah Filsafat
Ilmu.
Pada dasarnya semua pengetahuan itu
sama, sama-sama berasal dari sumber pengetahuan sejati Tuhan Semesta Alam.[1] Tidak ada
dikotomi antara agama dan ilmu atau sains. Karena beberapa alasan dan
beberapa faktor pendorong, maka kemudian pengetahuan itu terpecah-pecah.[2] Salah satu
faktor pendorongnya adalah bahwa manusia jika diberi ilmu maka akan saling
berselisih, dan hal ini sudah menjadi sunnatullah atau dalam bahasa
kerennya adalah sudah menjadi “Hukum Alam”. Filsafat Ilmu ada, maka ada
dikotomi antara pengetahuan ilmiah dan non ilmiah. Psikologi ada, maka ada
dikotomi antara orang sehat dengan orang gila secara psikologis. Ilmu-ilmu
keagamaan ada, maka juga ada dikotomi antara orang beriman, orang munafik dan
orang kafir. Kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan yang semakin pesat juga
adalah salah satu faktor yang menyebabkan ia terlepas dari ranah keagamaan dan
menjadi satu entitas yang berbeda dari agama. Sehingga pada akhirnya tidak
ada agama atau dengan bahasa kasarnya
tidaka ada “Tuhan” dalam sains modern. Hal inilah yang mendorong perlu adanya
islamisasi sains sehingga agama dan sains dapat berintegrasi atau dalam bahasa
Amin Abdullah adalah memandang dengan “paradigma interkoneksitas”.
II.
PEMBAHASAN
A. Dikotomi
Sains Modern Dan Agama.
Dalam sambutannya pada acara
akreditasi Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah Program Studi Pendidikan
Bahasa Arab, Prof. Dr. Azhar Arsyad mengutip pendapat John Esposito[3]: “Islamic
Studies atau kajian Islam adalah yang paling terakhir untuk dipilih jika
selainnya tidak ada, dan yang paling pertama yang harus dipilih jika harus
membuang antara ia dan lainnya”.[4]
Ini adalah salah satu
contoh yang mengamini atas adanya dikotomi yang mendasar antara sains dan
agama, ditambah adanya dua departemen yang membedakan antara ranah sains dan
agama di Indonesia, yaitu Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) dengan
Departemen Agama (DEPAG) yang semakin membuat sulit sains untuk diislamkan.
Akan tetapi, pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kalangan akademisi Islam
kontemporer semacam ‘Abid Al Jabiriy, Muhammad Arkoun, Nashr Hamid, Muhammad
Syahrur, Amin Abdullah, Atho Mudzhar dsb. telah memberikan angin sejuk bagi
proyek islamisasi sains meski banyak memicu kontroversi. Tokoh-tokoh akademisi
Islam ini ingin membingkai antara ilmu-ilmu agama yang bersumber pada teks-teks
(Hadhaaratun Nashsh), sains yang bersumber pada ilmu-ilmu alam (Hadhaaratul
‘Ilm) dan filsafat (Hadhaaratul Falsafah) dalam satu organ agar bisa
saling bertegur sapa serta dapat berintegrasi dan berinterkoneksi antara satu
dengan yang lainnya.[5]
B. Sains
Modern Perlu Membaca Syahadat.
Pada masa setelah renaissance di Barat, perkembangan
ilmu pengetahuan (sains) dalam berbagai bidang mengalami kemajuan yang
signifikan. Namun, kemajuan sains ini didominasi oleh Barat yang memiliki
pemikiran yang sekuler, pragmatis, positivistik dan materialistik. Sekuler yang
memiliki pandangan bahwa ilmu disusun untuk ilmu itu sendiri (science/knowledge
for the sake of science/knowledge). Hal ini jelas kontradiktif dengan fithrah
manusia, dan bahkan amat kontras dengan agama yang berpandangan bahwa ilmu
disusun adalah untuk mengenal dan mengetahui Tuhan (science/knowledge for
the sake of God).
Ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas paradigma
filsafat Barat yang sekuler tersebut jelas tidak memberikan tempat bagi
pemahaman tauhid. Filsafat materialisme misalnya, menganggap bahwa materi
merupakan satu-satunya kejadian di alam, dan merupakan tujuan dari gerak-gerik
alam semesta sangat jelas telah menafikan dunia spiritual, rohani dan persoalan
supranatural yang mendasari segala keberadaan alam semesta. Pendapat seperti
ini sama juga dengan menempatkan alam semesta sebagai realitas yang independen
dari sang pencipta. Dalam filsafat ini, alam semesta tidak dikatakan sebagai
ciptaan Tuhan. Dengan demikian, sains modern telah meniadakan pemahaman tauhid
tentang asal-usul dan tujuan alam semesta ini sebagai berasal dan kembali
kepada Tuhan.[6]
Di sinilah filsafat Barat sebagai landasan sains modern yang memiliki watak
materialis tersebut dapat mendistorsi sendi-sendi keimanan masyarakat Islam.
Maka dari itu, sains modern perlu untuk mengucap syahadat lalu kemudian masuk
Islam.
C. Posisi
Sains (Rasio) Dan Agama (Wahyu).
Masalah posisi dan hubungan antara
wahyu dan rasio, atau antara agama dan filsafat telah menjadi masalah yang
rumit dalam sejarah pemikiran Islam. Kutub ekstrim dari dua hal itu juga telah
melahirkan pertentangan sengit di antara para pendukungnya bahkan tidak jarang
menimbulkan korban. Vonis kufur yang diberikan Al Ghazaly terhadap kaum filosof
khususnya Al Faraby dan Ibnu Sina, juga hukuman pengasingan yang dijatuhkan
para fuqoha’ atas Ibnu Rusyd serta pembakaran kitab-kitab dan karya-karya
filsafatnya adalah merupakan merupakan sebagian bukti tentang sengitnya
pertentangan antara dua kutub ini. Karena itulah, para pemikir muslim sejak
abad pertengahan telah berusaha keras memecahkan dan menjelaskan posisi serta
hubungan di antara dua kutub ini.
Menurut Yusuf Musa, apa yang
dilakukan para ahli dalam masalah ini tidaklah terlepas dari salah satu tiga
tindakan berikut.[7]
Pertama,
mengambil wahyu dan mengesampingkan rasio. Ini umumnya dilakukan oleh para
tokoh agama non-filosof. Imam Syafi’i kiranya dapat dijadikan contoh dalam
kasus ini. Dalam Ar Risaalah secara tegas Imam Syafi’i menyatakan bahwa
wahyu adalah satu-satunya sumber kebenaran dan tidak ada yang dapat dijadikan
pegangan kecuali wahyu.[8]
Kedua, mengutamakan rasio dan menepikan
wahyu. Ini umumnya dilakukan oleh para rasionalis murni atau filosof muslim
yang dianggap kurang peduli dengan ajaran agamanya. Dalam hal ini adalah
seperti pemikiran Ibnu Zakarya Ar Razy yang menurutnya rasio adalah anugerah
terbaik dari Tuhan dan dengannya manusia bisa mengetahui baik dan buruknya
sesuatu serta mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya dengan baik.
Menurut Ar Razy, kita tidak boleh
melecehkan akal, tidak boleh membatasinya, mengendalikan atau memerintahnya,
sebab justru rasiolah yang membatasi, yang mengendalikan dan memerintah. Kita
harus bertindak sesuai perintahnya dan senantiasa merujuk kepadanya (akal)
dalam segala hal.[9]
Tegasnya, Ar Razy berpendapat bahwa kekuatan wahyu masih dibawah kendali rasio.
Ketiga, mendamaikan atau mencari
titik temu antara keduanya, antara wahyu dan rasio, antara agama dan filsafat
serta sains. Ini dilakukan oleh para kalangan pemikir muslim yang peduli dengan
doktrin keagamaan dan filsafat, seperti Al Kindy, Al Faraby, As Sijistany, Ibnu
Miskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Thufayl, dan Ibnu Rusyd. Meski demikian, argumen dan
cara yang dipakai keolmpok ini dalam mengintegrasikan wahyu dan rasio berbeda-beda.
Al Kindy mengakui bahwa agama dan filsafat adalah dua hal yang berbeda dari
aspek sumber maupun muatannya. Filsafat
berasal dari pengetahuan diskursif sedangkan agama berasal dari wahyu ilahi.
Meski demikian, tujuan tertinggi keduanya adalah sama yaitu ilmu ketuhanan (metafisika)
yang disebut sebagai ilmu kebenaran pertama, sehingga tujuan agama dan filsafat
adalah sama.[10]
Dalam perjalanan sejarah keilmuan
Islam, para tokoh dan ulama’ yang lahir dari golongan kedua dan ketiga
seakan-akan tidak punya tempat dalam kajian ilmu-ilmu Islam sendiri. Golongan
pertamalah yang mendominasi dari zaman dulu sampai sekarang. Golongan kedua dan
ketiga seperti berjalan di jalur yang berbeda yang berseberangan sehingga
namanya tidak disinggung dalam carut-marut kajian ilmu-ilmu Islam pada umumnya.
D. Beberapa
Tawaran Untuk Sains Modern Agar Masuk Islam.
Setidaknya pada masa ini atau masa
kontemporer, secara umum ada lima arus utama wacana islamisasi sains, yaitu[11]:
Yang Pertama, islamisasi
sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang mengatakan
bahwa ilmu atau sains hanyalah alat atau instrumen. Artinya, sains atau ilmu
terlebih teknologi hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan agama, tidak
memperdulikan sifat dari sains itu sendiri. Pendekatan ini muncul dengan asumsi
bahwa Barat maju dan berhasil menguasai dunia Islam dengan kekuatan sains dan
teknologinya. Karena itu, untuk mengimbangi Barat, kaum Islam juga dituntut
untuk menguasai sains dan teknologi. Jadi, islamisasi sains dengan pendekatan
instrumentalistik ini adalah bagaimana umat Islam maju dan menguasai apa yang
telah dikuasai oleh Barat.
Yang Kedua, Islamisasi
sains dengan konsep justifikasi, yaitu Islamisasi sains yang menggunakan Al
Qur’an dan Al Hadits untuk menjustifikasi (membenarkan) dan melegitimasi
penemuan-penemuan ilmiah modern. Metodologinya adalah dengan cara mengukur
kebenaran Al Qur’an dengan fakta-fakta obyektif dalam sains modern.
Tokoh-tokohnya adalah Maurice Bucaille, Harun Yahya, fazlur Rahman, Zaghl An
Najjar dsb. Namun, wacana islamisasi semacam ini ditolak oleh Ziyaa’uddin
Sardar[12] dengan
pendapatnya bahwa legitimasi Al Qur’an dalam kerangka sains modern tidak perlu
dilakukan oleh Al Qur’an sebagai kitab suci kalam ilahi.
Yang Ketiga, Islamisasi
sains dengan menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini pertama kali
dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern sekarang ini bersifat sekuler dan jauh sekali dari nilai-nilai
spiritual sehingga membutuhkan adanya sakralisasi atau penyakralan. Nasr
mengkritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam.
Sains modern menganggap bahwa alam tidak termasuk bagian dari Tuhan, dan alam
merupakan sebuah entitas yang berbeda yang berdiri sendiri dan bekerja sendiri.
Menurut Nasr, sains modern harus harus berjalan di jalur nilai-nilai kesakralan
Islam yang unik yang tidak ditemukan dalam agama-agama lain.
Yang Keempat,
Islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat
dengan ilmu-ilmu Islam. Ide ini diungkapkan oleh Ismail Al Faruqi. Menurutnya,
kemunduran umat Islam selama ini adalah disebabkan karena adanya dualisme
sistem pendidikan. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan
makna di berbagai dimensi, dan di sisi yang lain pendidikan sekuler sangat
mewarnai pemikiran umat Islam. Menurut Al Faruqi, sistem pendidikan harus
dibenahi dan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan kemudian disatukan
dalam jiwa Islam.
Yang Kelima,
Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam. Ide ini pertama kali disampaikan
secara sistematis oleh Syekh Muhammad Naquib Al Attas. Menurut al-Attas,
tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern
yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan
filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat.
Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan
ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti. Itu sebabnya Al-Attas
mengartikan Islamisasi sebagai, ”Pembebasan manusia dari tradisi magis,
mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari
belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari
kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap
hakikat diri atau jiwanya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk
asalnya.”[13]
Pada dasarnya ada dua cara metode
Islamisasi yang saling berhubungan dan sesuai urutan. Pertama,
ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukkan
elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu
pengetahuan masa kini yang relevan. Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat
umat Islam terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam.
Tujuannya adalah wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah).
Islamisasi melindungi umat Islam dari sains yang menimbulkan kekeliruan dan
mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya. Oleh karena itu islamisasi sains tidak bisa
tercapai hanya dengan menempeli (melabelisasi) sains dengan prinsip Islam. Hal
ini hanya akan memperburuk keadaan selama "virus"nya masih berada
dalam tubuh sains itu sendiri. Jadi, Islamisasi sains tidak sesederhana,
misalnya, tidak sekedar menyalakan lampu dengan terlebih dahulu membaca
basmalah. Islamisasi sains adalah sebuah konsep dasar yang berkaitan dengan
worldview seorang muslim untuk mengembalikan Islam menuju peradaban dunia yang
berjaya.
E. Agama
Harus Disainskan Agar “Rahmatan Lil ‘Alamin”.
Agama dalam arti luas merupakan
wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan
lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat
aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang
sebenarnya disebut “Syari’at”. Kitab suci Al Qur’an merupakan petunjuk etika,
moral, akhlaq, kebijaksanaan dan dapat menjadi theologi ilmu serta grand
theory ilmu. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum,
kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu
Tuhan sebagi satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber
pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan
pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.[14]
Modernisme dan sekularisme yang
menghendaki differensiasi (pembedaan) yang ketat dalam berbagai bidang
kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Spesialisasi dan
penjurusan yang sempit sesungguhnya mempersempit jarak pandang atau horizon
berpikir. Pada peradaban yang disebut sebagai pasca-modern perlu ada perubahan.
Harus ada dedifferensiasi yang menghendaki penyatuan kembali agama
dengan sektor-sektor kehidupan lain termasuk agama dan ilmu. Agama menyediakan
tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu
diproduksi (haajiyyah; baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiiniyyah;
manfaat, madharat). Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang
obyektif, dalam arti bahwa ilmu tersebut tidak dapat dirasakan oleh pemeluk
agama lain, non-agama, dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi
sebagai gejala keilmuan yang obyektif (sisi historisitas-empirisitas) semata.
Ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang obyektif, bukan agama yang
normatif. Maka obyektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh
manusia, tidak hanya orang beriman saja, lebih-lebih satu pengikut agama
tertentu saja. Contoh obyektifikasi ilmu antara lain: aljabar tanpa harus
terlalu dikaitkan dengan budaya Islam era Al Khawarizmy, mekanika dan
astropisika tanpa dikaitkan dengan budaya Yudeo-Kristiani, akupunktur tanpa
dikaitkan dengan animisme-dinamisme leluhur, yoga tanpa dikaitkan dengan agama
Hindu, khasiat madu dan lebah tanpa harus dikaitkan dengan Al Qur’an yang memuji lebah dan berbagai
contoh lainnya.[15]
Beberapa contoh di bawah ini akan
memberikan gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip
sosok ilmuan integratif yang dihasilkannya. Contoh dapat diambil dari ilmu
Ekonomi Syari’ah yang sudah nyata ada praktik penyatuan wahyu Tuhan dengan
temuan pemikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syari’ah,
usaha-usaha agrobisnis, transportasi, kelautan dsb. Agama menyediakan etika
ekonomi dalam praktik mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kerja
sama).[16] Di situ
terdapat proses obyektifitasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat
bermanfaat bagi semua orang (rahmatan lil ‘alamin) dari berbagai
kalangan baik itu pemeluk agama, non-agama dan bahkan anti agama. Maka kemudian
segeralah IAIN di tanah air menuju dan beralih menjadi UIN yang tercakup di
dalamnya kajian ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social
science), dan humaniora (humanities) kontemporer. Diharapkan dengan
peralihan IAIN menjadi UIN adalah awal dari kebangkitan dan kejayaan Islam
dengan paradigma integralistik-interkoneksitas sehingga para outputnya menjadi
ulama’ yang intelek dan intelektual yang ‘alim.
Jika saja “keilmuan agama Islam”
(termasuk di dalamnya Ilmu Pendidikan Agama Islam) tidak lain adalah juga hasil
konstruksi keilmuan para ulama’, cendekiawan muslim, ahli pendidikan Islam dan
lain-lain, maka sesungguhnya ia adalah produk yang bersifat historis semata.
Jika memang begitu, maka ia harus sanggup mengikuti, mencermati sejarah
perkembangan, teori-teori epistimologi dan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya
untuk kemudian melakukan perbaikan dan penyesuaian metodologis dengan
perkembangan yang ada. Jika tidak, maka ilmu pendidikan Agama Islam akan
tertinggal oleh laju perkembangan metodologi keilmuan yang lain, dan terlebih
lagi akan tertinggal jauh dari pergeseran dan perkembangan muatan pengalaman manusia
yang semakin hari semakin kompleks.
F. STAIMAFA,
Kampus Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren.
Sekolah Tinggi Agama Islam
Mathali’ul Falah atau yang lazim dikenal dengan STAIMAFA adalah perguruan
tinggi Agama Islam yang terlahir dari rahim pesantren. STAIMAFA yang terletak
di Desa Purworejo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah telah
mendeklarasikan diri sebagai kampus riset berbasis nilai-nilai pesantren. Dalam
hal ini ada yang unik, yaitu kampus yang identik dengan modernitas-akademitas
yang penuh dengan hal-hal yang bersifat ilmiah yang mengedepankan rasio,
disandingkan dengan pesantren yang identik dengan tradisionalitas yang syarat
akan nilai etika, menjunjung tata-krama dan mengedepankan agama. Terdapat
perbedaan yang mendasar antara kampus dan pesantren. Namun, STAIMAFA yang lahir
dari rahim pesantren ingin menggabungkan keduanya dalam satu bingkai atau dalam
bahasa Amin Abdullah disebut sebagai Dedifferensiasi (meniadakan
pembedaan antara ilmu-ilmu agama dengan sains modern).
STAIMAFA menggunakan kata-kata “Robby
zidny ‘ilman” sebagai simbol dalam lambangnya, yang artinya adalah “Duhai
Tuhanku tambahkanlah ilmu padaku”. Dalam kalimat tersebut ada kata “tambah” yang identik dengan perubahan. Hal
ini juga sependapat dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa “Az
ziyaadatu naskhun”, tambah atau penambahan adalah perubahan atau merubah. Menurut
interpretasi para pemakalah, STAIMAFA bermaksud menggunakan simbol “Robby
zidny ‘ilman” untuk pengetahuan yang bersifat ilmiah berbasis riset yang
selalu berubah-ubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Untuk mengimbangi ilmu-ilmu
alam yang sifatnya tidak tetap, STAIMAFA dengan paradigma
integralistik-interkoneksitas mengambil pesantren yang menggunakan wahyu
sebagai pijakan utama segala pengetahuan, sebagai basis yang mempertahankan
nilai-nilai normativitas agama. Cara pandang tersebut terejawntahkan dalam satu
contoh, bahwa STAIMAFA memiliki Program Studi Perbankan Syari’ah yang
dihadirkan secara obyektif agar semua kalangan dapat tercakup di dalamnya.
Contoh lain dari implementasi paradigma integralistik-interkoneksitas adalah
adanya dua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Bahasa Arab yang identik dengan Islam
dan Bahasa Inggris yang identik dengan Barat. Begitu juga dengan adanya Program
Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA), yang ironisnya merupakan kajian yang
terakhir dipilih jika yang lain tidak ada, dan yang pertama dibuang jika harus
ada yang dibuang. STAIMAFA sudah siap dan berani dengan resiko apapun, termasuk
juga kemungkinan tidak lakunya Program Studi PBA ini di zaman modern secara
umum. STAIMAFA tetap memiliki semangat yang tinggi untuk meraih visi-misinya,
yaitu menjadi kampus riset berbasis nilai-nilai pesantren. STAIMAFA percaya
bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya yang benar-benar dan
sungguh-sungguh dalam berusaha.
III. PENUTUP
Sebagaimana para pemakalah mendahului penyusunan makalah
dengan hamdalah, maka pemakalah pun menyelesaikan makalah ini dengan bersyukur
memuji keagungan Tuhan Yang Maha Sempurna, diikuti dengan bacaan shalawat atas
Baginda Muhammad SAW berharap mendapat syafaat beliau di dunia sampai di alam
baka. Jika di sana-sini terdapat kekurangan, maka semoga kekurangan itu masih
berharga dan menjadi motivasi kami untuk semakin meningkatkan diri dan terus
belajar, karena kami percaya tidak ada kesuksesan yang datang secara ujug-ujug.
Dan jika dalam makalah ini terdapat kelebihan, maka semoga kelebihan itu bisa
menjadi amal baik kami sehingga menjadi amal jariyah yang pahalanya
tiada henti. Wallahu A’lamu.
IV. DAFTAR
PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim.
Abdullah, Amin, Islamic Studies
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta).
Masruri, Hadi dan Rosyidi, Imron, Filsafat
Sains Dalam Al Qur’an (UIN Malang Press, Malang; 2007).
Musa, M.
Yusuf, Bayna ad Diien Wal Falsafah (Darul Ma’arif, Mesir).
Asy Syafi’I,
Ibnu Idris, Ar Risaalah (Babul Halabi, Kairo; 1940).
Ar Razy, Ibnu Zakarya, Ath Thibbur
Ruuhaany (Darul Afaq, Beirut-Lebanon).
Uwaidah, Kamil Muhammad, Al Kindy Minal
Falasifah al Masyriq Wal Islam Fie al ‘Ushuuril Wustha (Darul Kutub, Mesir;
1993).
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:lima-konsep-islamisasi-sains&catid=22:sains-islam&Itemid=21.
Al Attas,
Muhammad Naquib, Islam & Sekularism, (2010).
[1] Q.S. Al Baqarah, Ayat 31. Semua ilmu diajarkan Allah kepada Adam
agar Adam benar-benar mengenal penciptanya.
[2] Q.S. Ali ‘Imran, Ayat 19. Perbedaan ada karena manusia diberi ilmu.
[3] Orientalis yang sering diundang untuk memberikan seminar oleh raja Arab Saudi.
[4] Acara akreditasi tersebut diselenggarakan pada Hari Kamis, 7 Juli
2011 di kampus STAIMAFA.
[5] Amin Abdullah, Islamic Studies (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta), Kata Pengantar.
[6] Hadi Masruri dan Imron Rosyidi, Filsafat Sains Dalam Al Qur’an
(UIN Malang Press, Malang; 2007), hlm 4.
[7] M. Yusuf Musa, Bayna ad Diien Wal Falsafah (Darul Ma’arif,
Mesir), hlm 46.
[8] Ibnu Idris Asy Syafi’i, Ar Risaalah (Babul Halabi, Kairo;
1940), hlm 20.
[9] Ibnu Zakarya Ar Razy, Ath Thibbur Ruuhaany (Darul Afaq,
Beirut-Lebanon) hlm 17-18.
[10] Kamil Muhammad Uwaidah, Al Kindy Minal Falasifah al Masyriq Wal
Islam Fie al ‘Ushuuril Wustha (Darul Kutub, Mesir; 1993), hlm 38.
[11] http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:lima-konsep-islamisasi-sains&catid=22:sains-islam&Itemid=21
[13] Muhammad Naquib Al Attas, Islam & Sekularism, (2010).
[14] Amin Abdullah, Ibid, hlm 102.
[15] Ibid, hlm 104.
[16] Ibid, hlm 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar