“Ketika kau melihat seorang hamba, yang dianugerahi Allah dengan
adanya wirid-wirid serta diberik kekuatan untuk melanggengkan
wirid-wiridnya (wirid: dzikir yang dilanggengkan), maka jangan
sekali-sekali engkau meremehkan apa yang telah diberikan Tuhan
kepadanya. Sebab, engkau tidak betul-betul tahu tanda-tanda kearifan
yang ada dalam dirinya. Maka alasan engkau meremehkannya lantaran (dalam
pandanganmu) ia tidak memiliki tanda-tanda kearifan, tidak pula
memiliki cahaya cinta, bukanlah sesuatu yang pasti (karena engkau hanya
mengetahui luarnya, sedang batinnya hanya Allah yang tahu). Maka
seandainya tidak ada Dzat yang menganugerahinya wirid, dia tidak akan
langgeng menjalankan wiridnya (maksudnya: ada sebab atau kekuatan Sang
Maha Kuat yang telah menggerakkannya, maka jangan engkau
meremehkannya).”
[Ibn ‘Athaillah; Al-Hikam]
Suatu ketika,
Syekh Ali Jum’ah Mufti Mesir bertanya kepada salah seorang muridnya:
“Hai muridku, apakah engkau selalu melanggengkan wiridmu?”
Murid
beliau menjawab: “Iya guru. Tetapi ada masalah ekonomi yang selalu
menimpaku, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial.”
Syekh
Ali Jum’ah menjawab: “Jangan merasa susah. Istiqamahkan saja wiridmu.
Hal-hal yang demikian adalah rintangan yang mengganggumu supaya tidak
istiqamah. Ingatlah bahwa istiqamah sungguh lebih baik dari seribu
karamah (kemuliaan).”
Kemudian Syekh Ali Jum’ah bercerita
bahwasanya dahulu, ada seorang Syekh Al-Azhar bernama Syekh Muhammad
Rasyid, seorang professor dalam bidang tafsir sekaligus pemimpin para
ulama di zamannya, pada waktu mudanya pernah bertemu dengan Syekh
Muhammad Amin Baghdad. Waktu itu, usia Syekh Amin Baghdad di atas tujuh
puluh tahun. Pertemuan dengan Syekh Amin tersebut membuat Rasyid muda
menghadap Syekh Ahmad Mursi yang merupakan guru beliau, untuk meminta
izin supaya bisa melanjutkan belajarnya kepada Syekh Amin Baghdad.
Syekh Mursi: “Kesinilah anakku. Katakanlah, kepada siapa engkau akan melanjutkan belajarmu?”
Rasyid muda: “Mengapa engkau bertanya demikian duhai guruku?”
Syekh Mursi: “Aku melihat dalam dirimu terdapat cahaya yang, semakin hari semakin tampak jelas berpijar.”
Rasyid muda: “Aku akan pergi belajar kepada Syekh Amin Baghdad.”
Seketika Syekh Mursi menjawab: “Pergilah bersamaku. Aku juga ingin mengunjungi Syekh Amin.”
Ketika Syekh Mursi bertemu Syekh Amin Baghdad, beliau pun berkata
kepadanya: “Duhai Syekh, aku sudah tua. Dan aku ingin melakukan sesuatu
di sisa umurku sebelum maut menjemputku.”
Syekh Amin Baghdad: “Apakah engkau memiliki amalan yang langgeng?”
Syekh Mursi: “Aku tidak punya amalan yang langgeng, kecuali shalat
malam dua rekaat yang telah kulakukan selama 50 tahun tanpa ada seorang
pun yang tahu. Tidak istriku, tidak anak-anakku, sama sekali tidak ada
yang tahu.”
Syekh Amin: “Bagus!”
Kemudian Syekh Amin mengajak Syekh Mursi ke kediamannya. Rumah beliau memiliki 6 kamar khusus untuk kitab.
Syekh Mursi: “Syekh Amin, apakah engkau membaca seluruh kitab-kitab ini?”
Syekh Amin: “Tentu tuan. Setiap kitab baru yang datang kepadaku,
kutaruh di luar ruangan. Tidak akan kumasukkan ke dalam kamar kitab
kecuali aku telah selesai membacanya.”
Syekh Mursi: “Lantas, kapankah hatimu berdzikir kepada Allah Syekh, sementara waktumu telah habis untuk membaca?”
Syekh Amin terdiam, kemudian berkata: “Sampai sekarang, aku tidak tahu kapan hatiku mengingatNya.”
Setelah bertamu kepada Syekh Amin Baghdad, tiba-tiba Syekh Mursi
berkata kepada Rasyid: “Hai anakku, demi Allah, aku merasa bahwa Syekh
Amin telah meletakkan sesuatu dalam hatiku. Seakan-akan jemarinya
meraba-raba hatiku.”
Dari kisah di atas, kita bisa belajar bahwa
ketika Allah memberikan anugerah kelanggengan dalam kebaikan seperti:
beribadah, membaca, belajar dsb kepada hamba, maka kita tidak boleh
meremehkannya. Karena di dalam langgengnya kebaikan yang dilakukan hamba
tersebut, terdapat Allah Sang Maha Wujud yang membuatnya mampu
istiqamah dalam kebaikan, sekalipun dhahirnya tidak seperti seorang
‘alim atau tidak nampak seperti hamba yang selalu berdzikir kepadaNya.
Andai tanpa Allah, maka mereka tidak akan bisa melakukannya.
sumber:
Ibn Athaillah, al-Hikam
Syekh Ali Jum'ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar