Beberapa hari yang lalu, pada Jum’at
05 Februari 2016, Habib Salim Segaf Al-Jufrie mantan Menteri Sosial Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II (2009-2014) hadir dalam pengajian rutin kliwonan
yang diasuh oleh Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya, yang bertempat di gedung
Kanzus Sholawat Pekalongan. Habib Salim merupakan Ketua Majelis Syuro Partai
Keadilan Sosial (PKS). Partai yang akhir-akhir ini mendapat stigma negatif dari
sebagian kalangan, karena dianggap sebagai partai yang sering mengatasnamakan
agama untuk kepentingan politik. Apalagi, banyak dari kader partai ini berfaham
salafi wahhabi, yang alergi terhadap tradisi yang sudah bertahun-tahun
diamalkan oleh warga Nahdlatul Ulama (baca: Nahdliyyin) seperti tahlilan,
manaqiban, ziarah kubur, maulid dst. Sehingga ketika mereka menyelenggarakan
tahlilan, atau ketika mereka menggandeng Majelis Rasulullah untuk
melaksanakan maulidan, atau ketika mereka hadir di pengajian-pengajian
yang diselenggarakan oleh kalangan Nahdliyyin, ada semacam sikap sinis
yang muncul dari sebagian warga Nahdliyyin. Mereka yang tidak suka
dengan partai ini pun mungkin bertanya-tanya, sambil menyimpan jawabannya
sendiri dalam dada: “Ada apa gerangan?”, “Ah, paling-paling mereka hanya
menebar citra untuk meraup suara dari Muslimin Nusantara.”
Kedatangan Habib Salim yang masih
aktif sebagai Ketua Majelis Syuro PKS di Kanzus Sholawat, tentu akan memantik
desas-desus juga syakwasangka dari para hadirin yang mayoritas adalah warga Nahdliyyin.
Tidak ingin jama’ahnya berasumsi negatif terhadap Habib Salim, sebagai tuan
rumah, Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya pun berpesan kepada para hadirin:
“Jangan dilihat partainya, tetapi
lihatlah keulamaannya!”
Dalam konteks ini, meskipun Habib
Salim terjun di dunia politik, namun keulamaan beliau tetap tidak luntur oleh kekuasaan
maupun jabatan. Habib Luthfi pun mengakui bahwa Habib Salim adalah orang yang
‘alim. Bahkan, Habib Anis Al-Habsyi Solo juga mengakui bahwa Habib Salim adalah
seorang yang ‘alim. Sampai-sampai Habib Anis pernah mencium tangan Habib Salim,
ketika beliau hadir di majelis pengajian yang diasuh oleh Habib Anis Al-Habsyi.
Tak pelak, nasehat Habib Luthfi
kepada jama’ah untuk berbaik sangka benar-benar menghadirkan kedamaian
di tengah-tengah jama’ah pengajian kliwonan Kanzus Sholawat. Di satu sisi,
Habib Luthfi telah menjaga kehormatan Habib Salim Segaf sebagai tamu beliau.
Dan di sisi yang lain, Habib Luthfi telah menyelamatkan para hadirin dari sikap
yang tidak patut dilakukan oleh seorang muslim, yaitu suudz dzonn atau
berburuk sangka kepada saudaranya. Habib Luthfi memberikan teladan, bahwa
berburuk sangka lebih-lebih kepada ulama adalah tindakan yang tercela.
Memang, jika melihat kiprah politik
Habib Salim Segaf di PKS, beliau bukan semata-mata menjadi politisi murni yang
kemudian haus akan jabatan dan kekuasaan. Lebih tepatnya, menurut hemat
penulis, beliau Habib Salim Segaf adalah seorang da’i yang terjun langsung di dalam partai politik, dengan
tujuan menyeru kebaikan (ad-dakwah ila al-khair) di dalam internal
partai itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bila dunia politik merupakan
dunia yang penuh intrik. Sebagian kalangan menganggap bahwa politik adalah
lautan keruh, yang tidak jelas antara mana yang halal dan mana yang haram,
serta tidak memiliki sifat abadi dalam memilih kawan maupun lawan. Jika dunia
politik adalah lautan keruh, sementara partai politik adalah bahtera yang
mengarunginya, maka para ulama yang terjun di dalamnya merupakan layar yang
tertiup angin Ilahi untuk menggerakkan bahtera menuju jalan yang diridhai. Namun
tidak sembarang ulama’ mampu menjadi layar yang demikian. Sebab hanya ulama’
yang memiliki ---apa yang didhawuhkan Syekh Abdul Qadir sebagai syarat untuk
membimbing manusia--- ‘ilmu al-‘ulama’, siyasat al-muluk, dan hikmah
al-hukama’ saja yang mampu membawa bahtera agar tidak sesat jalan. Yaitu
ulama’ yang mendalam ilmunya, memiliki kemampuan berpolitik yang dimiliki oleh
para raja, serta memiliki kebijaksanaan yang ada dalam diri para bijak bestari.
Selebihnya, hanya akan menjadi penumpang yang setia mengikuti kemana arah
bahtera, sembari duduk manis di atas singgasana.
Mengenai dakwah ila al-khair, dalam
sebuah ceramah, Habib Salim pernah menyinggung tugas seorang da’i:
“Nahnu Du’aatun La Qudhaatun, antum
ini sebagai da’i. Bukan hakim yang mengadili masyarakat. Jadi paham ya? Da’i
itu kerjanya apa? Mengajak. Kalau ada yang sesat diajak. Itu namanya da’i. Tapi
kalau kita sudah memposisikan diri sebagai hakim, itu persoalannya sudah
berbeda. Kalau posisi hakim ini, ini kafir, ini musyrik, ini fil jannah, ini
fi jahannam. Itu namanya Qadhi atau hakim. Tetapi Antum sebagai
da’i, ud’u ila sabiili rabbika (ajaklah menuju jalan Tuhanmu). Kalau
yang kurang faham, diajak dialog. Kalau menjelek-jelekkan Abu Hurairah RA, saya
sudah jelaskan, (menjelek-jelekkan) Muslim saja sudah nggak bener. Apalagi
sahabat? Kalau sudah menjelek-jelekkan itu, berarti memposisikan apa dia itu?
Da’i atau hakim? Antum bisa jawab nggak? Kalau menjelek-jelekkan, mengatakan
ini, itu hakim atau da’i? Kerja da’i itu berbeda. Kerja da’i itu mengajak,
meluruskan. Yang sesat diajak, dengan cara yang bagus. Masalah nanti dapat
hidayah, (atau) tidak dapat hidayah, itu urusan lain. Bukan di tangan kita.
Tapi yang penting juga, negara juga hadir. Ini penting juga. Negara itu harus
hadir. Adanya agama ini untuk membuat masyarakat tenang. Saya itu berharap. Di
setiap agama, itu ada lembaga yang menjadi referensi rujukan. Kita di Indonesia
ini, ada sekian banyak agama. Nanti kan muncul, mengatakan ini agama ini, ini
agama ini. Ada rujukan yang bener nggak di agama ini? Sebab, ada di
daerah-daerah juga, orang shalat tidak baca bismillah, pakai terjemahan juga.
Ada juga kan? Pernah denger kan? Muncul atau ada Nabi baru, atau ada ini baru.
Lha ini Negara harus hadir. Di situ pentingnya. Ulama pun punya rujukan, apakah
MUI atau apa, menjadi rujukan mana yang benar, mana yang tidak benar. Tetapi
sebagai, kita sebagai orang umum, masyarakat, Nahnu Du’aatun La Qudhaatun. Kita
itu da’i.”[1]
Selain Habib Salim Segaf Al-Jufri, ada
beberapa ulama yang terjun di dunia politik praktis dengan membawa misi “dakwah
ila al-khair”. Salah satunya, yang masih sugeng dan aktif adalah
mahakyai kharismatik asal Sarang Rembang, yaitu KH Mamoen Zubair yang akrab disapa
“Mbah Moen”. Mbah Moen adalah Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Beliau merupakan sosok ulama yang sangat disegani oleh siapa saja. Lebih-lebih
di PPP, Mbah Moen merupakan ulama yang dipatuhi dhawuh dan fatwanya oleh
para kader PPP. Bila ada perseteruan di dalam partai, maka dhawuh-dhawuh Mbah
Moen adalah senjata ampuh untuk melerai (atau terkadang malah dijadikan perisai
untuk mempertahankan posisi strategis di dalam partai). Keberadaan beliau dalam
menjaga keutuhan partai demi membangun negara, mutlak dibutuhkan. Bukan hanya
partai, negara dan pemerintah pun juga sangat membutuhkan kehadiran beliau. Karena
Mbah Moen mampu memberikan teladan yang santun dalam berpolitik. Beliau adalah
ulama yang mampu mengayomi seluruh kalangan, sehingga pihak-pihak yang saling berseteru
merasa diperhatikan. Ketika mereka sama-sama merasa diperhatikan, maka ajakan
Mbah Moen untuk berdamai pun akan menjadi kenyataan.
Kiprah Mbah Moen dalam berpolitik,
bukan hanya mengurusi urusan partai yang beliau ugemi itu saja. Melainkan
juga mengenai urusan-urusan penting negara. Mbah Moen adalah seorang negarawan.
Banyak tokoh-tokoh penting di negeri ini yang setiap waktu sowan menghadap Mbah Moen untuk meminta pendapat mengenai sebuah
permasalahan. Semua beliau terima, tanpa tebang pilih. Setiap ada orang yang
hendak mencalonkan diri menjadi presiden, gubernur, bupati dan jabatan lain di
pemerintahan, Mbah Moen selalu menerimanya dengan ramah. Beliau tidak merasa
risih apalagi menolak, jika ada tamu yang berasal dari partai yang berbeda.
Dalam
berpolitik, Mbah Moen memberikan teladan politik yang santun. Beliau tidak
pernah mengumbar aib lawan politiknya di depan umum, apalagi menyebarkannya di
sosial media. Jika ingin menyampaikan kritikan atau pesan, Mbah Moen mengajak
orang yang dikehendaki untuk bertemu secara pribadi. Terkadang Mbah Moen
sendiri yang mendatangi mereka, kadang pula mereka yang sowan
ke kediaman pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar ini. Kemudian beliau
sampaikan aspirasi dan pandangannya dengan sikap yang santun, sebagaimana yang
beliau lakukan beberapa kali kepada Presiden Jokowi, Prabowo dan
pejabat-pejabat tinggi negara lain yang Mbah Moen temui.
Sejak
dahulu sampai sekarang, para ulama memiliki peranan penting dalam sejarah
perjalanan bangsa dan negara. Mereka menjadi tempat mengadu para pejabat, yang
datang dengan berbagai permasalahan untuk meminta nasehat. Negara bisa maju dan
berperadaban bila pejabat atau pemerintahnya mengindahkan para ulama’ yang
mampu menjadi layar bagi bahtera, yang memiliki ‘ilmu al-‘ulama’,
siyasat al-muluk, dan hikmat al-hukama’. Bukan
ulama’ suu’, yang mendekati para pejabat hanya untuk menjilat
harta dan martabat. Meski dunia politik terkenal kotor, sebagai orang awam,
kita tidak boleh men-judge bahwa
ulama’ yang turun gunung dan terjun dalam dunia politik sebagai orang yang
kotor. Jangan pernah melihat seseorang dari partainya, namun lihatlah pribadi
dan akhlaknya. Sebagai muslim, kita diperintah untuk berlaku adil, bukan?
Mbah
Nawawi Banten, dalam kitabnya “Maraqi al-‘Ubudiyyah”, menuturkan
sebuah cerita tentang seorang ulama, yang ketika wafat tidak ada yang melayat
hanya gara-gara beliau pernah terjun di dunia politik. Kisah ini dituturkan
oleh Syekh Ma’ruf al-Kurkhi seorang
sufi asal Irak yang wafat pada 200 H/815 M:
“Ketika
Abu Yusuf ulama Madzhab Hanafi wafat, tidak ada satu pun orang yang pergi
melayat, karena sebuah alasan bahwa beliau pernah menduduki jabatan di sebuah
pemerintahan. Tiba-tiba, aku bermimpi bertemu dengannya, sebelum ia
dikebumikan. Aku pun bertanya: ‘Apa yang Allah kehendaki atas dirimu?’
(sampai-sampai tidak ada satu pun orang yang berkenan melayat jenazahmu). Abu
Yusuf menjawab: ‘Tuhan telah mengampuniku.’ Aku bertanya lagi: ‘Mengapa bisa
demikian?’. Abu Yusuf menjawab: ‘Karena nasehatku kepada murid-murid dan
pengikutku.’ Aku pun terbangun dan bergegas melayat jenazahnya.”
Syeikh Abu
Yusuf adalah ulama besar madzhab Hanafi di zamannya. Beliau rela memilih jalan
yang dipandang hina oleh masyarakat, sehingga tatkala meninggal tiada satu pun
orang yang melayat, demi menyampaikan nasehat dan ilmunya kepada para pejabat
agar pemerintahan menjadi maslahat. Sebagaimana dunia gelap yang butuh
diterangi, dunia politik pun membutuhkan lentera yang berpijar oleh cahaya
Ilahi. Maka jangan berburuk sangka, apalagi berburuk laku, kepada para lentera
yang memilih politik sebagai jalan dakwahnya. Karena mereka tahu betul
bagaimana menghadapi ancaman angin ketika hendak menyalakan lilin dalam
kegelapan. Mereka tahu betul bagaimana menghadapi badai samudera ketika hendak
mengembangkan layar dan mengarahkan bahtera menuju daratan Tuhan. Mereka berani
melawan arus, diterpa hujan caci, digulung ombak maki, namun tiupan angin Ilahi
selalu menghembuskannya menuju jalan yang diridhai. Dengan politik santun,
mereka hendak menuntun, dengan strategi yang sungguh rapi tersusun. Dengan ilmu
yang jernih, mereka sedang menanamkan benih-benih, yang membuat Syekh Abu Yusuf
mendapatkan ampunan Sang Pengasih.
Benar
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk bersuara. Namun, yang membedakan
suaranya dengan yang lain hanyalah etika. Sikap para ulama’ yang berpolitik
dengan santun, sungguh patut untuk diteladani. Bagaimana mereka menyampaikan
suara dengan cara yang sungguh manusiawi, bagaimana mereka menemui secara
langsung orang yang hendak dititipi pesan dengan dalih silaturrahmi, bagaimana
mereka tidak mudah mengumbar aib, yang dengannya kehormatan saudaranya akan
raib? Adalah sebuah ajakan yang berbungkus tindakan, untuk senantiasa menebar
kebaikan dan kedamaian, di zaman yang penuh akan fitnah dan cobaan.
Bahan bacaan: dari berbagai sumber.
*Ditulis, bukan oleh politisi, bukan
pula pakar politik, melainkan hanya santri klumprut yang selalu mengharap
keabadian damai di bumi pertiwi.
Temas Batu, 13 Februari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar