“Petuah Fatichah[1]”
Oleh: Sahal Japara
“Badhe
nderek ngaos Kyai.”[2]
Kataku lirih ketika mengawali
pembicaraan sewaktu sowan Kyai Zen agar aku diterima menjadi murid beliau.
“Heee?”[3]
Tanya beliau kepadaku agar aku
mengulangi ucapanku lebih jelas.
“Enggeh
Kyai, Dalem kepengen nderek ngaos kaleh Kyai.”[4]
Kuangkat suara sedikit keras terselip
nada-nada gemetar menghadap kewibawaan beliau yang membuat setiap orang tak
kuasa memandang dengan mata telanjang. Dihadapan beliau, wajah-wajah selalu
tertunduk takluk laksana padi-padian yang merunduk ketika hujan menimpa.
“Wani
opo kowe?”[5]
Tanpa disangka-sangka pertanyaan beliau
ini muncul mengemuka. Aku pun bingung tiada tanggung.
“Daaa...
daalem... mboten wantun nopo-nopo Kyai. Dalem ndereaken Kyai mawon.”[6]
Terbata-bata seberat baja lisan ini
berkata.
“Yowes,
sok Malem Rebo mulai Fatichah.”[7]
“Enggeh
Kyai. Matur sembah nuwun, pangestunipun.”[8]
Meminta diri sambil mengecup asta
beliau. Sungguh lega hati tiada terperi. Tak semua orang yang ingin mengaji
kepada beliau diterimanya. Begitu ketar-ketir hatiku karena takut
ditolak, sampai-sampai aku bernadzar jikalau diterima mengaji ber-musafahah kepada
beliau, aku akan khataman al-Quran satu kali. Alhamdulillah Ya Allah….
Malam Rabu
Sepadat ini yang mengantri ngaji kepada beliau. Begitu panjang,
berdesak-sesak ibarat sebutir gula yang dikerubung beribu semut. Malam Rabu
memang tidak seperti malam-malam yang lain. Banyak yang percaya bahwa memulai ngaji
dan belajar pada Malam Rabu itu membawa berkah tersendiri, berdasarkan
sabda Nabi SAW bahwa Allah mentitah-ciptakan cahaya atau nur pada Hari
Rabu. Lama sekali aku menanti, akhirnya datang juga giliranku menghadap beliau
untuk mengaji.
“A’ûdzu billâhi minasy syaithânir
rajîm….”
“Darrrrr…”
Meja berbunyi pertanda beliau
menyalahkanku. Kuulangi lagi.
“A’ûdzu billâhi minasy syaithânir
rajîm….”
Disalahkan lagi sampai tiga kali, baru
beliau sendiri yang membenarkan.
“Aaaa...
Mangap seng ombo!!! Nek ngaji seng niat!!! Ojo klemar-klemer!!!”[9]
Bentak beliau. Nderedeg atiku.
Nderodog awakku.Meski begitu, akhirnya aku mampu menyelesaikan tujuh ayat
keramat Ibu semesta surat dalam al-Quran itu. Dan tak kurang ada dua puluh
ketukan meja untukku. Selamat, Alhamdulillah selamat. Berarti besok, aku sudah
bisa langsung meneruskan Surat al-Baqarah,
membaca alif laam miim. Alhamdulillah.
Malam Kamis
Karena masih baru, memang kusengaja
mengaji agak akhir agar jika memang aku salah ketika membaca, Kyai Zen
benar-benar mengetahui dan membenarkan. Jika aku mengaji awal atau pada
pertengahan, maka hal itu sangat sulit terjadi mengingat yang mengaji kepada
beliau sangatlah banyak. Lama menanti, hingga tibalah giliranku mengaji. Al-Baqarah aku mulai.
“Alif laaam miiim….”
“Darrr... darrr... darrr...”
Asta Kyai Zen memukul meja pertanda
bacaanku yang salah.Kuulangi lagi.
“alif laaam miiim….”
“Eee..eee..
eee.. Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!!”[10]
Tratap-tratap hatiku rasanya mendengar pangendikan
beliau yang memang terkesan mbentak. Beliau itu memang terkenal galak
dan sangat kereng ketika mengajar. Menurut beliau, mengajar itu harus
sungguh-sungguh, begitu pula dengan belajar. Karena hubungan serta ikatan
antara guru dan murid yang belajar al-Quran itu bukan cuma di dunia saja,
melainkan sampai akhirat sana. Hanya mengaji al-Quran inilah yang ittishal sampai
kepada Rasulullah SAW secara mutawatir
dan muttafaq ‘alaih. Itulah alasan mengapa Kyai Zen sangat galak ketika
mengajar. Seperti yang sering beliau dengungkan, beliau berusaha untuk ngrumat
barang keramat agar keramut dan tidak keremet.[11]
Akhirnya aku ulangi lagi surat itu, al-Fatichah. Iya, surat pembuka dalam
al-Quran itu. Baru pembuka! Meja berkali-kali bersuara seperti suara seorang
tukang kayu yang sedang giat membenah-pukuli almari yang sedang rusak.
Berkali-kali ia pukuli, berkali-kali pula suara itu muncul dari almari. Bukan
apa-apa, tukang kayu itu hanya ingin almari rusak yang sedang ia benahi itu
layak dipakai.
Setelah mengaji, pangendikan Kyai Zen tadi begitu menggema penuh bahana dalam hati.
Padahal beliau ngendikan cuma sekali,
tapi entah kenapa rasa-rasanya kata-kata itu berkali-kali terngiang-ngiang di
telinga.
“Eee.. eee.. eee.. Fatichah wae durung
iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!! Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen.
Baleni!!! Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!!”
Hari-hari berikutnya
Beberapa hari ini aku sibuk memikirkan,
atau tepatnya mbathek kenapa beliau belum juga mengizinkanku berpindah
surat al-Baqarah. Padahal bacaanku sudah ku-tashhih-kan tajwidnya kepada
Kang Ridho, murid kesayangan Kyai Zen itu. Dan ketika mengaji pun sudah
jarang-jarang Kyai Zen menggedor meja. Paling-paling hanya satu-dua kali. Sudah
dua minggu lamanya semenjak ngaji
pertama kali. Aku masih terpaku pada Fatichah. Semakin hari bertambah, semakin
pikiranku tiada menentu arah.
“Sebenarnya letak kesalahanku
dimana???”
Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Dari sisi makhraj, Kang Ridho sudah berkata bagus. Ngajiku juga sudah
pelan-pelan. Ah sudahlah. Aku sudah benar-benar lelah!!!
Keesokan harinya, sepulang nderes dari masjid, di jalan aku melihat
anak kecil yang begitu inginnya membuka toples seng berisikan jajan. Begitu
rapatnya tutup itu, sampai-sampai dia kesulitan untuk membuka. Dia putar-putar,
lagi dan lagi, masih saja tidak bisa. Dia congkeli tutup itu dengan apa saja
yang menurutnya memungkinkan, tetap saja tutup toples itu terlalu kuat baginya.
Lalu kudekati anak itu.
“Sini Dek, tak bukakan.”
Tawarku padanya. Anak kecil itu menolak
sambil ngotot.
“Nggak! Aku sudah bisa sendiri Kang!”
Ditarik-tariknya tutup toples itu
sekuat tenaga.
“Arrrrgggggghhhh…” dan akhirnya
terbuka.
“Hem, bisa kan Kang?”
Kejadian itu sungguh berkesan bagiku,
dan memberiku pelajaran tentang banyak hal. Bahwa aku sama sekali tidak boleh
berputus asa! Aku tak boleh menyerah! Sampai kapanpun! Sampai aku benar-benar
bisa membuka jalan untukku dengan mengerahkan segala yang kumampu.
Malam Kamis (Minggu Ketiga)
Sudah terhitung 23 hari semenjak
pertama kali ngaji kepada Kyai Zen, jen-ku masih saja tidak berpindah.
Masih saja Al-Fatichah! Namun malam
ini akan kucoba lagi untuk ke-sekian kali. Aku tak boleh menyerah. Fatichah
selesai kubaca, dan beliau hanya terdiam. Dalam hati aku berkata, oh berarti
ini sudah tidak ada salahnya. Saatnya berpindah al-Baqarah. Langsung saja kubaca.
“alif laaam miiim….”
“Darrr..
darrr.. darrr.. angger pindah sak karepmu dewe, masamu Quran iku dolanan? Sak
enake dewe! Fatichah wae durung iso kok njaluk pindah! Wis-wis, sinau ndisek!”[12]
Deggggggg rasanya. Oh aku ini. Betapa
bodohnya. Begitu cerobohnya. Fatichah
saja belum bisa, kok minta dipindah. Benar-benar tanpa aturan. Aku hanya bisa
mundur teratur. Saking gugupnya, aku lupa tidak mengecup asta Kyai Zen setelah ngaji tadi. Entah bagaimana diriku ini.
Merasa bisa, tapi tak bisa merasa. Inginnya cepat-cepat dipindah saja, tanpa
pikir panjang tentang apa yang berulang-ulang kali aku baca.
Sak kuarepmu dewe, sak enakmu dewe,
masamu Quran iku dolanan???
Ohhh aku, rasa tertusuk, kepala
tertunduk. Mengehela nafas dalam-dalam, merasa kata-kata itu begitu menghujam,
kubiarkan mata ini benar-benar terpejam.
Hufhh.. aku tak kuat Ya Allah, kuatkan
aku. Aku lemah Ya Allah, beri daya aku. Aku gelisah Ya Allah, tenangkan aku.
Aku tak tahu harus bagaimana, Ya Allah tuntun aku. Sungguh aku tak bisa melihat
tanpa penglihatan-Mu. Aku tak bisa berjalan, jika Kau tinggalkan. Allah..
Allah.. Allah..
“Cung…
Cung... reneo tak kandani!”[13]
Dari kejauhan Kyai Zen tampaknya
memanggilku.
“Dalem
Kyai, pripun Kyai?”[14]
Langsung saja aku mendekati beliau yang
tampak wajahnya begitu berbinar-sinar, sembari memasang sepenuh-utuh telinga
agar tak ada satu huruf pun dari ucapan beliau yang terlewatkan.
“Nek
ngaji seng panteng yo Cungg...penting pantang pontang panting!”[15]
Tiba-tiba beliau mengeluarkan sesuatu
dan diberikannya padaku.
“Iki,
tak titipi kunci.Aku njaluk tulung temenanan karo kowe. Rumatono, dondomono,
jlumatono kanggo sebo mengko sore. Sopo temen bakal tinemu.Sopo mantep bakal
antep.Sopo ngrumat bakal keramut.”[16]
Tiba-tiba terdengar suara adzan subuh
mengemparkan seluruh alam. Aku terbangun kaget, dan maasyaaAllah.
Ternyata aku bermimpi. Padahal cuma mimpi, tapi nampak sangat jelas sekali Kyai
Zen memberiku kunci. Dan kunci itu? Ah, ternyata sudah hilang dari genggaman.
Apa maksud Kyai Zen memberiku kunci yang harus kurawat baik-baik dan kupegang
erat-erat? Kunci apakah itu? Duh, Kyai Zen… Dalem
nyuwun pangapunten.
Setelah subuh, masih teringat
lekat-rekat kata-kata Kyai Zen setelah ngaji
tadi malam dan dalam mimpi tadi. Iya, aku harus belajar dulu. Aku mencoba untuk
membuka-buka kitab hadits yang dulu pernah aku beli namun tak pernah kubaca
sama sekali, mencari-cari siapa sebenarnya Fatichah
ini yang membuatku terpayah-payah berhari-hari. Ada sebuah petuah dari Kanjeng
Rasul, berupa hadits qudsi yang membuatku terkesima. Kurang lebih isinya
begini.
Setiap kali seorang hamba membaca al-Fatichah dalam shalat, setiap kali
itu pula Tuhan pasti selalu menjawab.
Selalu ada dialog antara hamba dan Tuhan, baik hamba itu sadar ataupun tidak.
Ketika hamba berucap.
“Alhamdulillahirabbil’alamin.”
Tuhan menjawab.
“Oh ini hambaku telah memujiku, maka
akan kutambahkan nikmatKu kepadanya.
Ketika hamba berucap.
“Arrahmanirrahim.”
Tuhan menjawab.
“Dia telah mengakui bahwa Aku adalah
Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka akan selalu Kukasihani dan Kusayang
dia.”
Ketika hamba berucap.
“Malikiyaumiddin.”
Tuhan menjawab.
“Dia telah mengakui bahwa Aku-lah
Penguasa pada hari kiamat, maka akan kuampuni seluruh dosa-dosanya pada hari
itu.”
Ketika hamba berucap.
“Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’inu.”
Tuhan menjawab.
“Dia telah mengakui bahwa hanya
kepadaKu ia menyembah dan hanya kepadaKu ia memohon pertolongan, maka akan
selalu kuberinya pertolonganKu.”
Ketika hamba berucap.
“Ihdinashshirathalmustaqim...
Shirathalladzina an’amta ‘alayhim ghairil maghdhubi ‘alayhim waladh dhallin.”
Tuhan menjawab.
“Akan Kuberinya segala apa yang
diminta.”
Hadits-hadits Kanjeng Rasul yang
kubacai itu bagaikan untaian mutiara. Seakan-akan kudengar secara langsung
beliau berpetuah padaku.
Fatichah itu ummul kitab, ibu
dari segala kitab. Kau tahu bagaimana kedudukan seorang ibu di hadapan
anak-anaknya? Semua anak-anak, semua surat bersujud kepadanya karena surga
mereka berada di bawah telapak kakinya.
Ia merupakan kunci. Kau tahu apa guna
kunci? Ia mampu membuka segala pintu kebaikan, sekaligus mampu menutup dan
mengunci rapat-rapat segala pintu keburukan. Oh apakah ini maksud Kyai Zen
memberiku kunci di dalam mimpi?
Kau tahu? Dialah yang turunnya diantarkan
beribu-ribu malaikat untuk diberikan khusus hanya kepada ummat Muhammad. Kau
tahu mengapa dia yang datang belakangan justru ditempatkan di barisan paling
depan? Tingginya kedudukan-lah yang membuatnya demikian. Sebagaimana halnya
seorang presiden yang sering datang belakangan, ia akan tetap selalu
dipersilahkan duduk di barisan paling depan. Kau tahu? Dialah tujuh ayat
keramat yang harus dibaca ketika seorang hamba sedang menghadap Tuhannya.
Tanpanya, segala yang dilakukan hamba ketika menghadap Tuhannya tak akan ada
artinya, takkan ada artinya sama sekali!
Ohh… begitu sejuknya kumpulan petuah
Baginda Rasul SAW ini tentang Fatichah,
sesejuk tetes embun di pagi hari ini. Ya Allah, terima kasih telah Engkau
tunjukkan hamba jalan. Aku sangat percaya bahwa Engkau takkan membiarkan
hambaMu ini tersesat dalam menempuh jalanMu. Bimbinglah aku, dan tuntunlah.
Karena aku benar-benar buta dan berjalan pun aku tak kuasa jika dalam diriku
Engkau tiada.
Setelah membaca petuah Baginda Rasul
SAW itu, ketika aku membaca Fatichah,
sering kali aku rasakan, seakan-akan Tuhan
benar-benar memberikan jawaban atas apa yang kubaca. Seakan-akan aku
mendengar suara Tuhan, dan rasa-rasanya aku benar-benar berdialog dengan
Tuhan.Semenjak itu, aku tak peduli apakah ketika ngaji nanti, aku dipindah jen-ku atau tidak. Karena aku
benar-benar menikmati Fatichah ini,
meskipun aku belum begitu faham secara mendalam dan mengerti secara pasti.
Beberapa hari ini, ketika aku membaca Fatichah di hadapan Kyai Zen, aku
benar-benar merasakan kelezatan tiada tara, yang rasa-rasanya aku tak ingin
berpindah darinya. Sungguh aku tak ingin berpaling dari ibu sekalian surat ini.
Malah terfikir olehku, tak usah naik jen saja biar aku bisa selalu
bersama Fatichah.
Berhari-hari, aku sangat menikmati
ngajiku ini. Nampak olehku pula perubahan raut muka Kyai Zen yang dulunya agak
masam ketika awal-awal aku mengaji, sekarang menjadi cerah menyimpan secercah
senyum merekah. Sampai genap empat puluh hari terhitung mulai pertama kali
ngaji, aku masih saja setia pada Fatichah
yang sering dianggap enteng dan sepele banyak orang.
Malam Ke-41
Seperti biasa, aku menyetorkan Surat al-Fatichah di hadapan Kyai Zen.Sudah 40
hari lamanya aku bergelut dengannya. Aku begitu mengenalnya, huruf-hurufnya,
makhraj-makhrajnya, wakaf-wakafnya, karakteristiknya, sampai makna dan berbagai
tafsirnya. Itu baru Fatichah, dan itu
pun baru sedikit, sangat sangat sedikit pengetahuanku tentangnya. Akan tetapi
yang sangat sedikit itu telah mampu membuka segala ketenangan sehingga
bersemayam dalam-dalam dalam hati yang terdalam.
Aku mulai membacanya. Begitu nikmat,
begitu khidmat. Benar-benar aku merasakan Fatichah-ku
dijawab Tuhan. Sampai “ihdinashshirathal mustaqim”, tak terasa
bulir-bulir mata air yang sudah lama tak pernah memancar ini, tiba-tiba saja
mengucur sangat deras dan tak terbendung. Mata air itu menarik dadaku
sedemikian kencangnya hingga nafasku tersengal-sengal dan seakan-akan aku
membaca tanpa suara. “Aaamin” nyaris tiada terdengar kecuali olehku, dan
barangkali sedikit oleh Kyai Zen. Mataku terpejam sembari menunduk. Tak berani
membuka apalagi mendongakkan muka. Tiba-tiba terdengar olehku.
“Wis,
wis, wis… wis cukup Cunggg… mulai sesuk pindah al-Baqarah…”[17]
Kubuka mata perlahan. Sedikit menatap
wajah beliau. MaasyaAllah! Beliau
berlinang air mata. Kukecup asta beliau cukup lama sampai ikut basah oleh mata
dan hidungku. Dalam hati aku berkata.
“Nyuwun
pangapunten Kyai, dalem nyuwun agunging pangapunten. Nyuwun tambahing samudero
pangestu kersane ngajine kulo niki panteng, penting pantang pontang panting…”[18]
[1] Cerpen ini
diikutkan lomba cerpen santri Kajen pada Bulan Muharram 1436, dan mendapatkan
juara II lomba cerpen santri Kajen. Pernah dibedah di MA Darul Falah Cluwak
Pati pada 28 Februari 2015.
[2]Ingin ikut ngaji Kyai.
[3]Apa?
[4]Iya Kyai, saya ingin ikut ngaji dengan Kyai.
[5]Berani apa kamu?
[6]Saya tidak berani apa-apa Kyai. Saya ngikut Kyai saja.
[7]Ya sudah, besok Malam Rabu mulai ngaji Fatichah.
[8]Iya Kyai, terima kasih banyak. Mohon doa restu.
[9]Aaaa... buka mulut yang lebar! Kalau ngaji itu yang serius!
Jangan loyo begitu!
[10]Eh eh eh... Fatichah saja belum bisa kok mau langsung pindah
sendiri? Ulangi lagi!
[11]Merawat perkara keramat (al-Quran) supaya keramut (mendapatkan syafaatnya) dan
tidak keremet (celaka)
[12]Darrr.. darrr.. darrr.. pindah seenaknya sendiri, kau kira
al-Quran itu mainan? Semaumu sendiri saja! Fatichah saja belum bisa kok minta
dipindah! Sudah-sudah belajar dulu sana!
[13]Nak.. nak.. kesini, tak beritahu.
[14]Iya Kyai, ada apa Kyai?
[15]Kalau ngaji yang serius ya nak, yang penting jangan pernah
goyah.
[16]Ini saya titipi kunci. Tolong dirawat baik-baik untuk
kehidupan nanti. Siapa bersungguh-sungguh ia akan mendapatkan apa yang
diinginkan. Siapa yakin ia akan mendapatkan kemuliaan. Siapa mau merawat akan
dapat syafaat.
[17]Sudah.. sudah.. sudah cukup nak... mulai besok pindah Surat
al-Baqarah.
[18]Mohon maaf Kyai... saya benar-benar memohon maaf... saya
mohon doa restu agar ngaji saya bisa lurus dan istiqomah, yang penting tetap
dan tak pernah goyah...
Sangat menyentuh hati
BalasHapus