Oleh:
Sahal Mahfudh[2]
العلم صيد والكتابة قيده :: قيّد صيودك
بالحبل الواثقة
“Ilmu adalah
hewan buruan, sedangkan tulisan adalah tali kekang,
Ikatlah buruan-buruanmu
dengan tali yang kencang.”
Mari Mulai Menulis...
Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa (maharah
lughawiyyah) yang bersifat produktif (intajy) dan bisa dibaca
siapapun tanpa pernah bertemu, dan kapanpun tanpa terhalang oleh waktu. Berbeda
dengan keterampilan mendengarkan (istima’/listening) dan keterampilan
membaca (qiraah/reading) yang bersifat reseptif (istiqbaly) yang
hanya memposisikan seseorang sebagai konsumen informasi tanpa melakukan
produksi. Berbeda pula dengan keterampilan berbicara (kalam/speaking)
yang meskipun merupakan keterampilan yang bersifat produktif, namun terbatas
oleh ruang dan waktu. Karena hanya para pendengar pada waktu itu yang bisa
benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh sumber informasi utama yaitu
penutur pertama. Selanjutnya, informasi yang hanya berpindah dari satu mulut ke
mulut lainnya lambat laun akan mengalami pengurangan dan penambahan dari apa
yang pertama kali dikatakan oleh penutur asli. Benar lah apa yang dikata para
penyair, bahwa apa yang diucap akan menguap, dan apa yang dicatat akan melekat
erat.
Produk-produk penulisan merupakan sebuah pertanda
tumbuh kembangnya peradaban dan kebudayaan. Dengannya, peradaban dan kebudayaan
suatu bangsa dapat dikenal dan dipelajari. Sejarah tentang suatu bangsa akan
dikenang dalam waktu yang cukup lama bila ia ditulis-tintakan. Jika tidak, maka
perlahan-lahan akan ditelan oleh waktu dan tersapu oleh angin. Betapa banyak
bangsa-bangsa terdahulu yang hilang tanpa jejak, karena tak ada satupun
peninggalan yang menuliskan keberadaan mereka. Dan jika cerita-cerita tentang
mereka diabadikan dalam tulisan, maka selama tulisan itu masih ada mereka akan
terus dikenang dan diketahui keberadaannya, sebagaimana kisah-kisah kaum yang
terdahulu beribu-ribu tahun yang lalu yang diabadikan dalam al-Quran. Bukan
hanya sejarah bangsa, ilmu-ilmu pun jika tidak ditulis-tintakan akan diangkat
kembali keharibaan Tuhan.
Maka mari kita bersama, membangun peradaban dan
kebudayaan kita dengan menulis. Menulis apapun yang berguna bagi sekitar kita,
bagi masyarakat kita, bagi bangsa kita, dan bagi seluruh umat manusia. Karena
setiap tempat selalu membutuhkan para penulis untuk mencatatkan sejarahnya agar
tetap hidup meskipun wujudnya telah tiada. Setiap tempat memiliki
karakteristik, peradaban dan kebudayaan yang berbeda. Maka betapa indahnya jika
kita mampu mengumpulkan hal itu dalam sebuah tulisan yang dapat mengeksplore kearifan-kearifan
lokal (local wisdom) agar terangkat ke permukaan hingga dikenal dan
dipelajari banyak orang. Apalagi sekarang zamannya sudah zaman global, dimana
bangsa yang memiliki identitas dan jatidiri yang kuat, dia lah yang akan
mempengaruhi kebudayaan dan peradaban bangsa lain. Sedangkan bangsa yang tak
punya pendirian, dia akan mudah diombang-ambingkan bangsa lain.
Salah satu cara untuk memugar-jaga identitas dan
jatidiri bangsa agar tidak lenyap ditelan hegemoni bangsa lain adalah dengan
menuliskan dan mengampanyekan segala hal yang selama ini dianggap sepele oleh
sebagian orang namun begitu berharga bagi jatidiri bangsa, yaitu: kearifan
lokal (local wisdom).
“Santri Kajen”,
“Sholeh & Akrom”, dan Kearifan Lokal.
Diantara tulisan produk lokal yang berusaha
mengungkap kearifan lokal yakni tentang nilai-nilai dan budaya yang berkembang
di Desa Kajen adalah buku kumpulan cerpen “Santri Kajen” dan “Sholeh &
Akrom: Ngangsu Banyu Kahuripan Ing Pesantren”. Keduanya merupakan buku fiksi berisikan
cerita-cerita yang sarat akan makna tentang adanya sebuah “peradaban” dan
“kebudayaan” di desa yang memiliki puluhan pondok pesantren, yaitu Kajen.
Buku pertama yaitu “Santri Kajen”,
yang berisikan 14 cerita pendek pilihan bertemakan Kajen sebagai kota santri,
mengajak para santri untuk agar bukan hanya sekedar membaca, melainkan juga
menulis. Selama ini, budaya menulis di kalangan pesantren masih minim, padahal
pesantren merupakan salah satu warisan kekayaan bangsa yang masih menjaga dan
melestarikan tradisi para pendahulu (founding father) dengan prinsipnya
yaitu al-muhafadzah ‘ala al-qadim ash-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah,
melestarikan tradisi lama yang masih releven sembari mengakomodir hal-hal
baru yang lebih baik.
Buku kedua yaitu “Sholeh &
Akrom: Ngangsu Banyu Kahuripan Ing Pesantren” merupakan kumpulan cerita fiktif
berbahasa Jawa berjumlah 50 episode yang berusaha mengejawentahkan nilai-nilai
“Shalih & Akrom” yang digagas beliau Dr. KH MA Sahal Mahfudh dalam tindakan
nyata, dengan menokohkan “Sholeh” dan “Akrom” sebagai dua orang santri yang
sedang menimba ilmu kehidupan di pesantren. Keduanya, baik Kang Sholeh maupun
Kang Akrom berusaha menjadi dirinya sendiri, Sholeh yang artinya baik dan
relevan di setiap saat maupun tempat, dan Akrom yang berarti paling mulia
dengan menjaga akhlak etika dan taqwa. Secara singkat, Sholeh-Akrom dapat
dikata sebagai seorang yang berilmu dan beretika. Generasi yang berilmu dan
beretika[3]
inilah yang dapat membawa bangsanya kepada kemajuan peradaban dan kebudayaan. Generasi
berilmu (bit-ta’allum) dan beretika (bit-taqarrub) inilah yang
menurut Imam Ghazali berpeluang besar untuk mendapatkan ilmu nafi’,
yakni ilmu bermanfaat yang mengantarkan seseorang untuk benar-benar dapat
mengenal Tuhan.
Meskipun kedua buku tersebut
merupakan karya fiksi, semoga dapat memberikan pelajaran yang berarti dan
membekas di dalam hati para pembaca, sehingga dapat menumbuh-kembangkan
semangat untuk terus berjuang memperbaiki kesalahan menuju kesalehan. Jalan
dakwah menuju Tuhan itu beragam, salah satunya adalah dengan menuliskan
cerita-cerita yang sarat akan makna terpendam, yang mudah dicerna dan difaham.
Semoga, yang sepele dan kecil itu dapat turut serta menjaga kearifan lokal yang
dari waktu ke waktu kian tergerus semakin tak terurus.
Sebagaimana Kanjeng Sunan Kalijaga yang berdakwah
dengan budaya lokal, mari kita bersama-sama melestarikan dan memugar-jaga
kearifan lokal.
[1] Disampaikan di Madrasah Darul
Falah Sirahan Cluwak Pati dalam acara bedah buku “Santri Kajen” dan “Sholeh
& Akrom” pada Hari Sabtu 28 Februari 2015.
[2] Santri PP Mathali’ul Huda Pusat
Kajen Margoyoso Pati, alumnus STAI Mathali’ul Falah tahun 2014.
[3] Bung Karno menyebutnya sebagai
generasi yang terdidik dan tercerahkan. Sedangkan Ali Syariati tokoh revolusi
Iran menyebutnya sebagai “Rausyanfikr”, Bahasa Persia yang diserap dari Bahasa
Arab “Rausyan” yang artinya adalah jendela, dan “fikr” yang artinya adalah
berpikir. Jendela adalah representasi seorang yang tercerahkan karena melalui
jendela cahaya dapat masuk menyinari ruangan, dan berpikir adalah representasi
seorang yang terdidik karena selalu menggunakan fikirannya.