Oleh:
Sahal Mahfudh
“Sesungguhnya al-Quran diturunkan dalam
tujuh huruf,
Maka
bacalah apa yang mudah darinya menurutmu.”
(al-Hadits)
Salah satu disiplin ilmu yang masuk
diskursus kajian ulumul quran adalah ilmu qiraat. Ilmu qiraat mengkaji tentang
ragam bacaan al-quran baik
yang disepakati kesahihannya oleh para ulama maupun yang tidak. Berdasarkan
sabda Nabi Muhammad SAW bahwa al-quran diturunkan dalam tujuh ragam (sab’at
ahruf), maka ilmu qiraat secara khusus bertugas mengidentifikasi
ragam-ragam bacaan al-quran mana yang masuk dalam kategori sab’at ahruf dan
mana yang tidak. Ragam bacaan al-quran yang telah disepakati
kesahihannya dan diriwayatkan oleh banyak ulama disebut qiraat mutawatirah, yang
bersumber dari tujuh imam, yaitu: Imam Nafi’ (qari’ madinah), Imam Ibn
Katsir (qari’ mekkah), Imam Abu ‘Amr (qari’ bashrah), Imam Ibn
‘Amir (qari’ syam), Imam ‘Ashim (qari’ kufah), Imam Hamzah (qari’
kufah), dan Imam ‘Ali al-Kisai (qari’ kufah).
Ilmu qiraat merupakan sebaik-baik
dan seagung-agung ilmu karena ia mengkaji al-quran, berdasarkan apa yang pernah
disabdakan Nabi Muhammad SAW bahwakeutamaan al-quran dibanding lainnya bagaikan
keutamaan Allah dibanding makhlukNya. Kitab-kitab karya ulama yang membahas
tentang ilmu ini sangatlah banyak. Yang masyhur diantaranya adalah: Kitab
as-Sab’ah (Imam Mujahid), at-Taysir fi al-Qiraat as-Sab’ (Imam Abu
‘Amr ad-Dani), Hirz al-Amani wa Wajh at-Tihani (Imam asy-Syathibi) dan an-Nasyr
fi Qiraat al’Asyr (Imam al-Jazari). Namun, kajian ilmu qiraat di Indonesia yang
merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini justru tidak banyak
diminati. Hanya sedikit diantara ribuan pesantren dan madrasah di Indonesia
yang melestarikan ilmu qiraat. Alasannya beragam. Sebagian menganggap bahwa
ilmu qiraat terlalu sulit untuk dikaji dan hanya diperuntukkan bagi kalangan
tertentu saja (baca: para penghafal al-quran). Sebagian yang lain menganggap
bahwa ilmu qiraat tidak terlalu penting karena hanya membahas tentang pelafalan al-quran, sehingga tidak memiliki
kontribusi yang nyata bagi masyarakat. Menurut hemat mereka, selama bacaan
al-quran masyarakat sudah bagus, yang dibutuhkan adalah pemahaman tentang
alquran, bukan ragam bacaan.
Jika
kenyataan ini terus berlanjut, maka lambat laun ilmu qiraat ini akan diangkat
oleh Allah ketika para ulama ahli qiraat wafat, sedang tidak ada generasi
setelahnya yang mau melestarikan dan mewarisi ilmu mereka. Secara otomatis, ilmu ini
akan hilang seketika dari muka bumi, karena ilmu ini bersifat riwayat dan harus
diajarkan melalui guru dengan jalur periwayatan yang jelas secara turun temurun
sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang dan tidak bisa dikaji secara
otodidak.
![]() |
Kenyataan
ini membuat beliau Simbah KH Muhammad Arwani Amin Kudus prihatin, sehingga
beliau tergugah untuk menulis sebuah kitab tentang ilmu qiraat berjudul Faidh
al-Barakat yang terdiri dari 3 jilid yang didesain untuk memudahkan para pemula
agar ghirah belajar ilmu qiraat santri-santri nusantara tumbuh dan
berkembang. Kitab ini merupakan catatan Kyai Arwani selama mengaji (talaqqi)
ilmu qiraat dengan berpedoman kitab Hirz al-Amani karya Imam Syathibi kepada
Simbah KH Muhammad Munawwir Krapyak Jogja yang telah diringkas dan disempurnakan
agar mudah dipahami dan dipraktikkan semua kalangan.
![]() |
Faidh
al-Barakat berbeda dengan kitab-kitab qiraat lain karena dalam kitab ini dijelaskan
bagaimana cara membaca al-quran dengan mengumpulkan bacaan tujuh imam dalam
satu ayat (jama’ kubra) secara ringkas tanpa menyalahi aturan dalam ilmu
qiraat. Dalam setiap ayat dalam kitab ini, terdapat penjelasan tentang
kaidah-kaidah ilmu qiraat yang terkait, sehingga dalam hal ini kaidah atau
teori bisa langsung dipraktikkan, mudah diingat-ingat, dan tidak membingungkan.
Ibaratnya seperti menyuapi bayi, sesuap dikunyah, sesuap dikunyah, step by step agar
mudah dicerna sampai akhirnya si bayi kenyang dan tumbuh kembang. Sebagai
contoh, perhatikan gambar berikut:
![](file:///C:\Users\GRANGE~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image005.jpg)
Jika
yang digunakan pedoman dalam talaqqi qiraat adalah kitab-kitab qiraat lain,
maka membaca ayat إهدنا
الصّراط المستقيم kemungkinan
bisa sampai tujuh (7 imam) atau bahkan empat belas (7 x 2 perawi) kali. Namun
ketika menggunakan Faidh al-Barakat, ayat إهدنا الصّراط المستقيم cukup dibaca tiga kali dengan ragam bacaan berbeda. Ragam
bacaan imam lain yang sama dengan ketiga ragam tersebut tidak perlu diulang
lagi karena sudah masuk ke dalamnya. Perbedaan ketiga ragam bacaan itu terdapat
dalam kata الصّراط. Ada yang membaca الصّراط dengan shad,
ada yang membaca السّراط dengan sin, dan ada yang membaca الصّراط dengan
mengisymamkan shod menjadi za’. Keterangan tentang kaidah semacam
ini dalam Kitab Faidh al-Barakat bisa ditemukan di setiap ayat dengan ditandai
sebuah kurung.
Tiga ragam bacaan yang berbeda dalam ayat tersebut
jika dirinci, maka menjadi sebagai berikut:
(1) Yang membaca إهدنا الصّراط المستقيم dengan shad ada 5 imam, yaitu: Imam Nafi’ (perawinya:
Imam Warasy & Imam Qalun), Imam Abu ‘Amr (perawinya: Imam as-Susi &
Imam ad-Durri), Imam Ibn ‘Amir (perawinya: Imam Hisyam & Ibn Dzakwan), Imam
‘Ashim imam bacaan kita (Perawinya: Imam Hafsh bin Sulaiman & Imam
Syu’bah), dan Imam ‘Ali al-Kisaai (perawinya: Imam Abu al-Harits & Imam
Hafsh ad-Durri).
(2) Yang membaca إهدنا السّراط المستقيم dengan sin ada 1 imam, yaitu: Imam Ibn Katsir
(perawinya: Imam al-Bizzi & Imam Qunbul).
(3) Yang membaca إهدنا الصّراط المستقيم dengan mengisymamkan shad menjadi za’ ada 1 imam,
yaitu: Imam Hamzah (perawinya: Imam Kholaf & Imam Khollad).
Jadi, secara keseluruhan setiap ayat dalam Kitab Faidh
al-Barakat selalu mencakup 3 bagian, yaitu: ayat, urutan membaca, dan kaidah
yang terkait. Dalam kitab lain, hanya dijelaskan tentang kaidah-kaidah qiraat
secara umum (ushuliyyah) dan khusus (furu’iyyah). Tidak ada
penjelasan khusus mengenai urutan bagaimana membaca ayat dengan ragam bacaan
tujuh imam, dan juga tidak ada penggabungan ragam bacaan imam yang memiliki
kesamaan menjadi satu. Jika dibandingkan dengan metode talaqqi qiraat
yang terdapat dalam kitab lain, maka Kitab Faidh al-Barakat karya Kyai Arwani
ini jauh lebih praktis dan menghemat waktu. Kendati demikian,
baik kitab-kitab qiraat ulama dulu maupun Faidh al-Barakat pada
dasarnya saling melengkapi. Kitab-kitab qiraat ulama terdahulu berisi
kaidah-kaidah yang jelas dan rinci, sangat cocok bagi mereka yang hanya ingin
mengetahui kaidah-kaidah ilmu qiraat tanpa talaqqi. Adapun Faidh
al-Barakat yang berisi tutorial talaqqi ilmu qiraat, sangat cocok bagi
mereka yang ingin mempraktikkan kaidah-kaidah qiraat ketika talaqqi qiraat kepada
guru. Pelajar yang mencari kaidah qiraat di Faidh al-Barakat akan kesulitan
mencarinya karena kaidah-kaidah qiraat tersebar di berbagai ayat. Begitupun
sebaliknya, pelajar yang ingin talaqqi ilmu qiraat dengan menggunakan
panduan kitab qiraat yang berisi teori saja akan kesulitan karena tidak ada
panduan membaca qiraat secara praktis.
Selama Kyai Arwani hidup, kitab ini tidak pernah
dipublikasikan. Jika ada murid beliau yang ingin talaqqi qiraat, maka beliau
akan meminjamkan kitab beliau ini yang masih berupa catatan untuk ditulis ulang
para murid kemudian dikembalikan lagi. Beliau juga menerapkan hal ini kepada
Simbah KH Abdullah Salam saat Kyai Abdullah ingin mengaji qiraat kepada
Kyai Arwani sekalipun beliau adalah besannya sendiri. Catatan talaqqi qiraat
Kyai Abdullah masih ada dan disimpan oleh salah seorang putranya. Hal ini
Kyai Arwani lakukan untuk membangun budaya literasi di kalangan santri,
sebagaimana yang disinggung dalam mukaddimah Faidh al-Barakat, bahwa “ilmu
adalah hewan buruan sedangkan tulisan adalah tali kekang :: ikatlah
buruan-buruanmu dengan tali yang kencang”. Setelah beliau wafat, catatan
beliau tentang tata-cara talaqqi qiraat secara mudah dan cepat akhirnya
dipublikasikan dan dicetak oleh penerbit Mubarakatan Thoyyibah milik Yayasan
Arwaniyyah Kudus. Atas jerih payah beliau inilah, kini ilmu qiraat menjadi
lebih praktis dan mudah difahami, sehingga dapat mempersingkat waktu yang
dibutuhkan untuk talaqqi qiraat sampai khatam kepada guru. Dan sekarang,
kitab Faidh al-Barakat ini menjadi kitab pegangan pokok sebagian besar santri
yang mengaji dan talaqqi qiraat kepada guru di Indonesia. Geliat
kajian qiraat di nusantara pun mulai sedikit kentara, dengan lahirnya beberapa
kitab tentang ilmu qiraat yang ditulis oleh ulama nusantara setelah munculnya
Faidh al-Barakat. Salah satunya adalah kitab yang ditulis oleh rektor IIQ Dr. Ahsin Sakho
yang berjudul Manba' al-Barakat.
Pernah ada seorang teman penulis mengaji (talaqqi)
qiraat dengan menggunakan Kitab Faidh al-Barakat. Suatu waktu, ia mendapat
panggilan untuk melanjutkan kuliah s1 di al-Azhar Mesir. Belum sempat
mengkhatamkan talaqqi-nya, ia pun berangkat ke Mesir. Sesampainya di
sana, ia begitu ingin talaqqi qiraat lagi. Dan ketika hendak talaqqi kepada
seorang syekh, ia kaget karena metode talaqqi yang diterapkan di Mesir berbeda
dengan yang ada di Indonesia khususnya di Jawa. Di Mesir, ia harus menghafalkan
Kitab Hirz al-Amani karya Imam Syathibi yang berisi bait-bait tentang kaidah
ilmu qiraat terlebih dulu. Setelah hafal, ia tidak bisa langsung talaqqi sebagaimana
yang dilakukannya ketika talaqqi di Indonesia, karena di sana tidak ada
Kitab Faidh al-Barakat yang ditulis Kyai Arwani itu sehingga membutuhkan
perjuangan yang keras dan waktu yang cukup lama.
Suatu ketika, Simbah KH Sya’roni Ahmadi besan Simbah
KH Muhammad Arwani berziarah ke Mekkah & Madinah dengan membawa Kitab Faidh
al-Barakat yang disusun Kyai Arwani. Ketika kitab itu ditunjukkan kepada para
ulama qiraat Mekkah-Madinah, mereka takjub keheranan karena ada seorang ulama
jawa (non arab) bisa menyusun karya fenomenal semacam itu. Hingga mereka pun
berkata bahwa tidak lain yang menyusun kitab ini kecuali seorang muqri’
kabir (ahli ilmu qiraat yang kondang). Begitu besar dan agung jasa Kyai
Arwani bagi umat, hingga seorang ulama Mesir Syekh Ahmad Yasin Muhammad Abdul
Muththalib membuatkan sebuah kasidah tentang beliau:
بشراك يا طالبا للعلم من قدس :: فزتم بقرب إلى الرّحمن
بالأروان
من يضحى في قربهم زمنا ولو يوما :: يرجع إلى أهله بالقلب
ريّان
العيش في حيّهم فضل وتكرمة :: من ذي الجلال الّذي بالفضل
أولان
Betapa bahagianya para pencari ilmu dari Kudus ::
Beruntung bisa dekat Sang Rahman dengan Kyai Arwani
Siapa saja yang berada sezaman di dekatnya
meski hanya sehari :: Akan pulang ke keluarganya dengan hati berseri-seri
Hidup bersama mereka adalah anugerah dan kemulyaan ::
Dari Sang Pemilik Keagungan yang telah memberiku anugerah tiada terperi (karena
jumpa dengan Kyai Arwani)
Kita harus bersyukur menjadi seorang muslim nusantara,
karena di sini begitu banyak ulama yang berbelas-kasih kepada umat dengan
menyusun kitab-kitab dalam berbagai disiplin keilmuan yang memudahkan umat
untuk mengkaji dan memperdalam ilmu-ilmu agama, atas rahmat Allah Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Kam taraka al-awwal lil-akhir, betapa banyak yang ditinggalkan para pendahulu untuk
generasi penerus, namun betapa sedikit yang mau menjaga, melestarikan dan
mengurus. Semoga kita termasuk yang sedikit, yang mampu melestarikan dan
menjaga warisan para ulama nusantara yang
jumlahnya tidak sedikit.
Kajen, 28 Juni 2015.
Ditulis oleh pemerhati ilmu qiraat, santri PP Mathali’ul
Huda Pusat Kajen, alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah & STAI
Mathali’ul Falah.
Bahan Bacaan:
KH Muhammad Arwani Amin, Faidh
al-Barakat.
Al-Imam Mujahid, Kitab
as-Sab’ah.
Al-Imam Abu ‘Amr ad-Dani, at-Taysir
fi Qiraat as-Sab’.
Al-Imam Abu Qasim
asy-Syathibi, Hirz al-Amani wa Wajh at-Tihani.
Al-Imam Muhammad al-Jazari, an-Nasyr
fi Qiraat al-‘Asyr.
Al-Imam Jalaluddin
as-Suyuthi, al-Itqaan fi ‘Ulum al-Quran.
Al-Imam Muslim, Shahih
Muslim.
Sumber Verbal:
KH Abdurrozzaq Najib,
alumnus PP Yanbu’ul Quran pengajar Qiraat as-Sab’ di Kajen.
Nashifuddin Luthfi, alumnus
PP Mathali’ul Huda al-Kautsar mahasiswa Universitas al-Azhar Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar