Oleh: Sahal Japara
Pahlawan secara etimologi berasal
dari Bahasa Sanskerta: “phala-wan” yang berarti orang yang dari dirinya
menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan
agama.[1]
Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya
dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.
Dalam Bahasa Arab, kata pahlawan
sering dibahasakan dengan “بَطَلٌ”, seakar kata dengan
“بَطَلَ” yang berarti: batal, rusak.[2]
Jika dianalisa, maka terdapat hubungan makna di antara kedua kata tersebut. بَطَلٌ yang berarti “pahlawan” dan بَطَلَ yang berarti “batal” atau “rusak”
memberikan sebuah pemahaman bahwa pahlawan adalah seorang yang mampu
membatalkan dan menggagalkan usaha para musuh bangsa dalam merusak negara baik
secara moril maupun materil.
Salah satu diantara jutaan pahlawan
nusantara yang gagah berani berjuang melawan para penjajah adalah Simbah KH
Mahfudh Salam ayahanda Simbah KH MA Sahal Mahfudh, putra Simbah KH Abdussalam,
dan kakak Simbah KH Abdullah Zen Salam.
Semasa hidupnya, beliau Mbah Mahfudh
dikenal sebagai seorang kyai sekaligus pejuang yang gigih memegang prinsip. Aroma
kepahlawanan beliau telah tercium sejak kecil. Beliau begitu giat menimba ilmu
di saat teman-teman seumurnya masih senang bermain. Kehausan akan ilmu
mengantarkan beliau sampai ke Mekkah untuk berguru kepada Syekh Mahfudh Termas
yang ketika itu menjadi guru besar di tanah suci, bersama kedua teman Mbah
Mahfudh dari Kajen yaitu: Simbah KH Mukhtar ayahanda Simbah KH Makmun Mukhtar
dan Simbah KH Jabbar ayahanda Simbah KH Husein Jabbar.
Mbah Mahfudh merupakan sosok kyai
yang gigih memegang prinsip dan tidak mudah untuk dipengaruhi. Salah satu
contoh kegigihan beliau memegang prinsip adalah keistiqomahan Mbah Mahfudh
dalam memegang dhawuh-nya para ulama’ dengan mengembelikan segala
perilaku dan tindakan kepada dhawuh-nya para ulama’. Pernah suatu
ketika, beliau menjamak shalat dhuhur dan ‘ashar hanya untuk mengkhatamkan
sebuah kitab yang beliau baca. Sontak, keputusan beliau ini mengundang banyak
kritikan dari para kyai setempat. Dan jawaban beliau atas berbagai kritikan.
“Aku mung ngamalke dhawuhe para
ulama’, senajan iki qaul dha’if. Lha nek ora ana sing ngamalke dhawuhe para
ulama’, trus sing nganggo ndung sapa?”[3]
Kegigihan
beliau memegang prinsip membuat Mbah Mahfudh sama sekali tidak mau tunduk pada
penjajah. Tunduk dan takut kepada penjajah menurut beliau adalah sebuah perilaku
yang tidak terpuji (al-akhlaq al-madzmumah), sebagaimana dhawuh
beliau dalam kitab Mandzumat al-Akhlaq:
مَحَبَّةُ الْأَشْرَارِ
وَالتَّشَبُّهُ :: بِهِمْ وَبِالْكُفّارِ ثُمَّ الشَّرُّهُ
“(diantara
perilaku yang tidak baik adalah) cinta (termasuk cinta adalah tunduk dan patuh)
kepada orang-orang yang berperilaku buruk (salah satunya adalah para penjajah
yang merampas hak orang lain) dan menyerupai mereka (baik dalam perilaku,
perkataan ataupun tindakan) dan orang-orang kafir kemudian begitu empati kepada
mereka.”[4]
Hal inilah yang membuat para
penjajah geram dan naik pitam, hingga mereka menyusun sebuah tipu daya untuk
menjebak Mbah Mahfudh. Mereka menyebarkan sebuah issu bahwa Kajen dan
sekitarnya sekarang dalam kondisi yang tidak aman. Banyak begal dan para
pencuri berkeliaran. Issu merebak dan perasaan was-was menyeruak di hati para
pedagang karena khawatir barang dagangannya dicuri para maling atau dirampas
para begal. Penjajah pun menawarkan sebuah solusi kepada mereka.
“Kalau toko tutup, untuk menjaga
keamanan, bagaimana kalau kuncinya kita titipkan kepada seseorang yang dapat
dipercaya?” Kata seorang penjajah menawarkan.
“Setuju… Setuju…” Para warga
menyetujui.
“Kalau saran kami, sebaiknya
kunci-kunci toko yang kita kumpulkan itu kita pasrahkan kepada Kyai Mahfudh
Kajen. Kita semua kan tahu beliau orangnya sangat terpercaya dan tidak pernah
berbohong apalagi berkhiyanat. Bagaimana? Setuju?”
“Setuju… Setuju…” Para warga
menyetujui usulan para penjajah itu.
Rupa-rupanya ini hanyalah trik
mereka untuk menjebak Mbah Mahfudh. Setelah kunci para pedagang dikumpulkan,
kunci-kunci itu tidak langsung diserahkan kepada Mbah Mahfudh. Akan tetapi
mereka membuat duplikatnya terlebih dahulu.
Beberapa minggu setelah kunci-kunci
pedagang itu diserahkan kepada Mbah Mahfudh, issu berkeliarannya para pencuri
dan para begal seperti hilang tersapu angin. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba
ada kasus pencurian beberapa toko warga yang menggegerkan. Kasus ini tidak
hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali. Para warga pun resah, dan mereka
mulai bersyakwa-sangka yang tidak-tidak kepada Mbah Mahfudh.
“Haaa? Ada pencurian berkali-kali?
Pelakunya siapa lagi kalau bukan si pemegang kunci yang kita titipi?” kata
seorang penjajah yang berpura-pura kaget mendengar ada kasus pencurian.
Akhirnya, para penjajah yang memang
sudah berencana menjebak Mbah Mahfudh menangkap beliau dengan tuduhan (fitnah)
pencurian.[5]
Menurut mereka para penjajah itu, salah satu cara untuk menaklukkan
orang jawa dan membunuhnya secara perlahan adalah dengan me-mangku mereka,
sebagaimana aksara jawa yang mati dengan “pangkon”. Tabiat orang jawa itu mudah
sungkan. Ketika mereka dipangku dengan sebuah pemberian, maka engkau telah
membuat mereka sungkan dan berusaha memberikan balasan. Ketika mereka diberi,
maka seakan-akan separuh diri mereka telah terbeli. Pemberian itu dapat
berwujud dalam hal apapun, termasuk (pura-pura) memberikan jaminan keamanan
kepada mereka di tengah merebaknya isu pencurian dan pembegalan.
Mbah Mahfudh ditangkap dan dipenjara tanpa ada kabar kepada
keluarga dimanakah beliau dipenjara.
Di penjara, Mbah Mahfudh terkenal sebagai sosok pembangkang para
sipir penjaga. Kalau diperintah apapun, apalagi sujud kepada mereka, beliau tak
pernah sudi! Beliau selalu berbicara menggunakan Bahasa Arab apabila diomongi
para penjajah itu, dan sama sekali tak mau menggunakan bahasa yang digunakan
para penjajah baik bahasa belanda, Indonesia, atau pun jawa. Bisa ditebak, para
penjajah itu semakin umup emosinya. Dan telah menjadi tradisi bagi
mereka bahwa: tak ada hukuman bagi para pembangkang kecuali mati![6]
Menyadari bahwa beliau akan dibunuh, Mbah Mahfudh menitipkan pesan
kepada salah satu temannya untuk memberikan bajunya kepada Ayahandanya Simbah
Abdussalam sebagai pertanda bahwa beliau telah meninggal dunia.[7]
Tak ada hati, bagi para penjajah yang telah sakit hati.
Akhirnya, para penjajah itu benar-benar membunuh Mbah Mahfudh.
Dijebloskanlah beliau ke dalam sumur khusus para pembangkang. Ada sekitar 18
orang yang dibunuh di sumur itu, dan hanya jasad Mbah Mahfudh yang masih utuh
dalam posisi jongkok.[8]
Barangkali kau bisa menghilangkan raganya, tetapi tidak suara dan
aromanya.
Berpuluh-puluh tahun, sumur itu telah tertimbun tanah. Warga
Bugisan Lodayang Ambarawa tidak ada yang menyadari bahwa ladang pohon pisang
yang tanahnya sangat subur itu ternyata dulunya adalah sebuah sumur. Sampai
ketika ada seorang purnawirawan telah pensiun dari tugasnya. Meskipun tugas
telah purna, bukan berarti pengabdian telah sirna. Adalah Bapak Totok (nama
panggilan), seorang purnawirawan TNI yang memilih mengisi hari-hari pensiunnya
dengan membersihkan makam para pahlawan yang berada di sekitar benteng kuno dan
juga ladang pisang yang dulunya sumur itu.
Ada beberapa kejanggalan menurut Pak Totok setiap kali membersihkan
makam para pahlawan itu. Diantaranya, ketika beliau melintasi ladang pohon
pisang yang dulunya sumur itu, entah kenapa selalu tercium aroma wangi padahal
beliau tidak memakai minyak wangi. Aroma wangi itu begitu semerbak memenuhi
hidung Pak Totok setiap kali selesai membersihkan makam para pahlawan dan juga
ladang pohon pisang itu. Sampai ketika Pak Totok di pasar hewan pun, aroma
wangi itu masih saja tercium.
إِذَا أَرَادَ اللهُ شَيْئًا هَيَّأَ
أَسْبَابَهُ
“Ketika
Tuhan menghendaki sesuatu, Dia akan mempersiapkan sebab-sebabnya.”[9]
Seakan-akan Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatunya menjelang
acara peringatan satu abad Perguruan Islam Mathali’ul Falah. Mbah Mahfudh-lah
yang memberikan nama “Mathali’ul Falah”[10],
dan (barangkali) sebagai balasan atas segala kebaikan, makam beliau telah
diketemukan.
Pak Totok telah menjadi purnawirawan 4 tahun yang lalu (2010), 2
tahun sebelum acara satu abad berdirinya Mathali’ul Falah (2012). Setahun
sebelum acara satu abad, Pak Totok sudah dihubungi pihak Perguruan Islam
Mathali’ul Falah bahwa mereka akan berkunjung ke kediaman beliau karena
disinyalir makam Mbah Mahfudh berada di sekitar kawasan yang ada dalam kendali
Pak Totok itu. Dibentuklah sebuah tim yang dikepalai oleh Simbah KH Ahmad Yasir
yang bertugas menemukan makam Mbah Mahfudh berdasarkan data sejarah, dan juga
ilmu-ilmu ke-bathin-an. Pencarian selama enam bulan menyimpulkan
bahwa makam Mbah Mahfudh berada di samping benteng kuno tepatnya di ladang
pisang yang dulunya sumur khusus para pembangkang itu, yang selalu menebarkan
aroma wangi setiap kali Pak Totok membersihkan makam para pahlawan.
Kagem Simbah Mahfudh Salam
al-Fatichah…..
[1]
Wikipedia.
[2]
Kamus al-Munawwir.
[3]
Cerita ini dituturkan beliau Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah.
[4]
Simbah KH Mahfudh Salam, Mandzumat al-Akhlaq.
[5]
Cerita ini dituturkan beliau Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah.
[6]
Cerita ini dituturkan Bapak Totok seorang purnawirawan yang merawat makam para
pahlawan di kawasan Bugisan Lodayang Ambarawa Semarang.
[7]
Cerita ini dituturkan oleh salah seorang veteran yang masih hidup yang pernah
dipenjara bersama Mbah Mahfudh.
[8]
Cerita ini dituturkan oleh Bapak Totok.
[9]
Perkataan Syekh Mutawalli Sya’rawi mufassir kontemporer dari Mesir.
[10]
Dituturkan beliau Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar