“Ramadhan
Tanpa Alif & Nun[1]”
Oleh:
Sahal Japara
Terik
mentari Ramadhan kali ini sungguh tak ramah dan begitu garang. Tenggorokan
berlendir yang diajak jalan-jalan siang akan langsung kering dan gersang.
Berulang-ulang kali Kang[2] Shoim[3] menelan
ludah yang hampir keluar dari rongga tenggorokan. Ia duduk termangu di depan
kamar, ragu antara berangkat mengaji posonan[4]
atau tidak tatkala melihat matahari siang begitu panas menyambar. Pengajian
posonan diselenggarakan di masjid. Dari kamar Shoim, butuh waktu sekitar
10 menitan untuk sampai masjid. 10 menit yang jika di hari-hari biasa terasa
ringan, maka di bulan yang “panas” ini tapak-tapak kaki bagai berjalan di atas
wajan.
“Nggak
ngaji lagi, Im?”
Kang
Royyan[5] bertanya
kepada Kang Shoim sambil mengenakan baju taqwanya. Bungkusnya pertanyaan, namun
isinya ajakan agar Kang Shoim bersiap-siap untuk berangkat mengaji. Kang Shoim
terdiam menatap Kang Royyan lemas. Meskipun ia sudah bangun dari tadi, namun
sisa-sisa tembam karena kebanyakan tidur masih bersarang di kantung matanya.
Belum sempat menjawab, Kang Royyan menimpali pertanyaannya tadi dengan
sindiran.
“Masa’
ngaji cuma awal dan akhir doang? Bukankah sebaik-baik perkara itu justru yang
tengah-tengah? Meski awal dan akhir yang menentukan.”
Kang
Royyan berkaca sambil menyisir rambutnya yang basah oleh air wudhu.
“Lha
aku lemas banget eg Yan. Mau berangkat khawatir, kalau nggak kuat terus
tiba-tiba pingsan gimana coba?”
Dalih
Kang Shoim. Wajahnya tiada daya. Bibirnya kering lantaran dahaga.
“Wudhu
dulu sana! Biar ada gairah.”
Kang
Shoim tak menjawab. Ia malah menyandarkan kepalanya ke tembok seperti sudah tak
kuat menyangga. Setelah menyisir rambut dan mengenakan kopyah hitamnya, Kang
Royyan menghampiri Kang Shoim. Dipijat-pijatnya pundak Kang Shoim. Keduanya
memang sedang berpuasa, namun Kang Royyan nampak begitu segar dan kuat, lain
halnya dengan Kang Shoim yang sudah tidak kuat ngglawat.
“Ayolah,
kawan! Bulan ini hanya datang setahun sekali. Di bulan inilah al-quran
diturunkan. Di bulan ini, terdapat malam yang sebanding dengan seribu bulan.
Awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah ampunan, dan akhirnya adalah merdeka
dari siksa neraka. Sayang sekali kalau kita hanya melewatkannya dengan berdiam
diri saja, atau menghabiskannya dengan ibadah tidur dan bermalas-manja. Lekas
wudhu gih.”
Kang
Royyan masih memijit-mijit pundak dan tengkuk sahabatnya itu.
“Kamu,
ada sepeda?”
Tanya
Kang Shoim lirih.
“Sepedaku
sudah tak jual sebelum Ramadhan Im. Yah, bagaimana lagi? Kalau ingin ikut ngaji
posonan, harus ada yang direlakan.”
“Hmmm...
Kalau jalan kaki, rasanya seperti berjalan di atas neraka!”
“Ah,
siapa bilang? Panas neraka jauh berlipat-lipat ganda daripada panas dunia.
Sepanas-panas dunia, masih lebih panas percikan api neraka. Ramadhan memang
terkenal panas, tapi itu tak berlaku bagi mereka yang punya alif dan nun.”
“Alif
dan nun? Maksudnya?”
Meski
lemas, Kang Shoim masih kuat bertanya.
“Ada
yang bilang bahwa Ramadhan berasal dari kata ramadh yang berarti panas,
mudah panas, dan jika dibiarkan akan semakin panas. Ramadhan menjadi tambah
panas, karena di bulan ini orang-orang islam tak boleh makan dan minum secara
bebas. Mereka berpuasa mengurung nafsu dan syahwat agar tak terlepas, agar tak
semakin buas. Akan tetapi, panas itu hanya berlaku bagi mereka yang tak
memiliki alif dan nun, seperti kata ramadh. Alif adalah
cermin karakter tegar menghadapi ujian, konsisten menjalankan perintah, dan tak
mudah terpengaruh oleh orang lain. Sedangkan nun adalah cermin tabiat
kasih sayang, rendah hati, dan mudah memahami orang lain. Dua karakter huruf
inilah yang harus dimiliki seorang muslim ketika berpuasa.”
Kang
Royyan mulai menguliahi Shoim.
“Lihatlah
bentuknya Im. Alif tegak lurus bagaikan sebuah tongkat yang dijadikan
pijakan dan sandaran banyak orang. Alif seakar kata dengan kata allafa
yang artinya adalah mempersatukan. Orang yang memiliki alif punya
jiwa-jiwa pemimpin, yaitu: tegas, tegar, berwibawa dan suka mempersatukan
kaumnya. Tidak suka bertengkar, tidak
mudah memaki dan mencela, apalagi di bulan puasa.”
“Adapun
nun, coba kau lafalkan Im! Na-ni-nu-an, ringan kan? Ia ringan
dilafalkan. Seorang yang memiliki nun, akan ringan tangan dan ringan
badan untuk membantu orang lain. Nun dalam ilmu tajwid, jika disukun dan
bertemu huruf-huruf lain, maka ia bisa menjelma jadi idzhar, idgham
bighunnah, idgham bila ghunnah, iqlab, dan ikhfa’. Seorang yang
memiliki nun akan selalu menebar kasih sayang dan mudah bergaul dengan
siapapun tanpa terkecuali. Sama seperti ajaran islam yang rahmatan
lil’alamin, keberadaannya adalah sebentuk kasih sayang kepada sekalian
alam. Nun itu suka bersembunyi dan tak menyombongkan diri, karena ia
sering bersembunyi dalam wujud tanwin yang mengayomi semua huruf selain
huruf vokal tanpa pernah menampakkan diri. Maka seorang muslim yang sedang
berpuasa tidak boleh menyombongkan puasanya, dan menjadikannya alasan untuk
bermalas-malasan. Ibadah puasa sangat istimewa karena ia tak kelihatan
sebagaimana shalat, zakat atau haji. Maka wajar, jika Tuhan sendiri lah yang
akan memberikan balasan kepada para hambanya yang berpuasa. ”
“Nabi
pernah bersabda: siapa saja yang berdiri (qiyam lail) pada Bulan Ramadhan
karena iman dan mengharapkan pahala akan diampuni seluruh dosa yang telah
dilakukannya. Dalam hadits lain: siapa saja yang berpuasa pada Bulan
Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala akan diampuni seluruh dosa yang
telah dilakukannya. Berdirilah (qooma) seperti alif, dan
berpuasalah (shooma) seperti nun, insyaAllah panas bulan Ramadhan
takkan terasa Im.”
Kang
Royyan begitu semangat mendoktrin sahabatnya itu.
“Sedangkan
aku hanya punya alif saja. Nun tak punya. Beda denganmu yang
punya kedua-duanya, he...”
Tukas
Kang Shoim sambil tersenyum tipis.
“Maksudnya?”
Giliran
Kang Royyan yang bertanya.
“Shooim:
shod, alif, hamzah, mim. Royyan: ro’, ya’, ya’, alif, nun. Karena
tak punya nun, maka terawihnya kuat, tapi puasanya berat! Hehe...”
Kang
Shoim tertawa agak lebar.
“Owalah!
Hehehe... ya sudah, wudhu sana! Keburu telat. Tak usah banyak pertimbangan,
wudhu dan jalan kaki ke masjid sudah cukup untuk melebur kesalahan-kesalahan
yang pernah kita lakukan...”
Akhirnya
Kang Shoim mau berdiri walaupun tertatih-tatih. Perlahan-lahan ia berjalan
menuju tempat wudhu.
“Lhoh?
Pecimu kok basah kuyub begitu Im?”
Tanya
Kang Royyan kaget.
“Biar
tidak terasa panas! Hehe, sudahlah ayo berangkat!”
Rupa-rupanya
peci putih yang dikenakan Kang Shoim sehabis wudhu tadi dibilas dengan air lalu
diperas. Fungsinya sama seperti kain kompres yang ditempelkan di kening anak
saat sedang sakit panas.
Keduanya
bergegas menuju masjid, menantang sinar matahari yang sedang garang-garangnya.
Di tengah jalan, ada beberapa warung makan yang buka dengan malu-malu, menutup
diri dengan kain selambu.
“Wadoooh,
puasa-puasa begini masih buka? Sama sekali nggak menghormati yang sedang puasa!
Hufh...”
Kang
Shoim gusar melihat banyak orang paruh baya tengah makan begitu lahapnya di
salah satu warung yang ia lihat. Apa boleh buat? Ia hanya bisa menelan ludah
sambil mengumpat.
“Ah,
jangan begitu Im! Siapa tahu mereka itu para musafir. Apalagi jalan raya kayak
gini tentu banyak orang yang sedang bepergian. Musafir kan boleh nggak puasa
to? Cara untuk menghormati puasa kita ya dengan menjaga diri kita sendiri,
bukan malah mengumpat orang lain. Dihusnudzdzonni saja biar selamat dari dosa.”
“Harusnya
Menteri Agama dan Presiden melarang warung-warung makan buka pada siang hari!
Biar yang lemah imannya seperti aku ini nggak mudah tergoda.”
“Hehehe,
sudahlah Im... semakin kau teruskan, semakin banyak bangkai orang lain yang
akan kau makan... Puasa itu seperti nun. Lembut, rendah hati, mengasihi
dan menghormati siapa saja termasuk mereka yang berbeda.”
Kali
ini Kang Shoim tak menggubris nasehat Kang Royyan. Keduanya pun berlalu tanpa
sepatah kata lagi setelah itu. Baru ketika sampai masjid, Kang Shoim kembali
berucap.
“Waw? Sedikit
banget yang ngaji ya Yan? Ini kalau ngantuk bisa langsung ketahuan nih.”
“Justru
yang sedikit itulah yang mudah dicatat dan diingat-ingat oleh para malaikat.”
Setelah
berkata, Kang Royyan langsung menempatkan diri di barisan depan tepat di depan
meja Kyai Taqwa[6],
pengasuh pengajian posonan yang diselenggarakan di masjid.
Inilah
waktu yang tepat tuk berpisah.
Kang
Shoim mendendangkan lagu Sheila on 7 itu dalam hatinya saat memisahkan diri
dari Kang Royyan yang memilih duduk di barisan paling depan. Sebaliknya, Kang
Shoim memilih duduk di barisan paling belakang agar ketika capek bisa mengaji
sambil tiduran.
Sebentar
kemudian Kyai Taqwa datang. Pengajian kitab telah dimulai. Ada beberapa peserta
pengajian yang datang terlambat. Mereka yang datang belakangan ini duduk di
barisan paling belakang.
“Lho?
Pak Brengos ikut ngaji?”
Kang
Shoim kaget melihat Pak Brengos penjual sate tetangga pesantren itu tiba-tiba
duduk di sampingnya.
“Aku
sudah kemarin-kemarin ngaji terus. Malah kamu yang baru kelihatan ngaji hari
ini.”
“Warung
satenya tutup berarti Pak? Alhamdulillah!”
Kelakar
Kang Shoim bahagia karena warung sate Pak Brengos tak ikut serta menggoda
imannya.
“Hey,
jangan keras-keras Im! Ngajinya sudah dimulai. Sudah tiga Ramadhan ini warungku
buka mulai sore, kalau siang tutup. Biasanya, dulu buka terus non stop. Karena
satu alasan, akhirnya aku putuskan untuk buka mulai sore saja.”
“Baguslah
kalau begitu. Harusnya memang demikian, warung-warung tidak buka ketika siang
hari untuk menghormati orang yang sedang berpuasa.”
Sahut
Kang Shoim.
“Idealnya
memang begitu. Tapi jangan langsung tidak diperbolehkan buka, karena Indonesia
bukan hanya dihuni oleh orang muslim saja. Di saat kita sedang berpuasa, ada
yang tidak berpuasa karena non muslim, atau musafir, atau sedang haidh dan
seterusnya. Maka tidak bisa dipukul rata meskipun sebagian besar yang jajan di
warung beragama islam.”
“Lalu,
apa alasan panjenengan tidak buka warung siang hari Pak?”
“Sini
mendekat, tak kasih tahu.”
Posisi
duduk Kang Shoim bergeser sedikit dan agak merapat ke Pak Brengos. Telinganya
didekatkan ke mulut Pak Brengos yang volume suaranya cukup pelan agar tidak
mengganggu pengajian.
“Jadi
awalnya, aku tak peduli. Mau puasa mau tidak, warung tetap buka. Yang penting
kan aku puasa dan mencari nafkah untuk keluarga? Masalah orang lain tidak puasa
karena warungku buka, bukan urusanku. Dulu aku berpikir seperti itu. Baru
ketika ada beberapa kejadian yang menimpa keluarga, aku baru sadar bahwa Tuhan
sedang mengingatkanku. Buka warung sate di siang hari ketika bulan puasa, uhhh
pemasukannya tiga kali lipat dibanding hari-hari biasa Im. Benarlah kata
orang-orang itu, bahwa Ramadhan adalah bulan penuh berkah karena rejekiku
melimpah-ruah. Tapi ada kejadian aneh yang selalu berulang-ulang menimpaku. Tiap
kali lebaran, pasti ada salah satu anggota keluargaku yang masuk rumah sakit.
Dan uang hasil jualan sate ketika puasa selalu habis untuk biaya pengobatan,
malah terkadang minus. Kejadian ini ndak cuma sekali dua kali. Sudah
benar-benar aku amati Im. Karena penasaran, aku pun menanyakan masalahku ini
kepada Kyai Taqwa. Akhirnya beliau menganjurkanku untuk buka ketika sore
saja menjelang berbuka. Kemudian beliau berpesan: carilah berkah, jangan
cari banyak. Yang berkah akan mendatangkan banyak, sedangkan yang banyak belum
tentu berkah. Aku baru tahu bahwa berkah bukanlah yang melulu melimpahruah,
tetapi berkah adalah segala yang dapat mendatangkan kebaikan meski jumlahnya
hanya sedikit. Sejak itu, aku mengamalkan nasehat Kyai Taqwa. Dan alhamdulillah
selama tiga kali lebaran tidak ada lagi yang masuk rumah sakit. Daripada
capek-capek jualan siang hari, mendingan ikut ngaji Kyai Taqwa Im!”
“Owhhh,
jadi begitu kronologinya Pak? Semoga para pemilik warung yang masih buka di
siang hari lekas dapat hidayah dari Gusti Allah.”
“Hidayah itu urusan Tuhan Im. Kita sebagai
sesama manusia tidak boleh memaksa mereka untuk tutup selama bulan puasa. Kalau
ada orang nongkrong di warung, ya dihusnudzdzonni saja mereka punya alasan yang
memperbolehkan untuk tidak berpuasa.”
Kata-kata
Pak Brengos mirip dengan apa yang dikatakan Kang Royyan tadi saat melintas di
depan warung yang ramai pembeli di siang hari selama Bulan Ramadhan.
“Sudah
sudah... Ayo kita dengarkan pengajian Kyai Taqwa... Wong ngaji kok malah
ngobrol sendiri...”
Karena
ceritanya sudah selesai, duduk Kang Shoim agak merenggang. Ia dan Pak Brengos
mulai khidmat menyimak pengajian Kyai Taqwa.
“Ashshiyaamu,
utawi pasa.. junnatun, iku minangka benteng.. Puasa itu seperti benteng,
bukan banteng. Benteng itu melindungi, sedangkan banteng suka melukai. Benteng
itu menjaga, sedangkan banteng suka berlaga. Benteng itu kukuh, sedangkan
banteng itu angkuh. Benteng itu teduh, sedangkan banteng itu gaduh. Benteng
kuat menahan, sedangkan banteng sering tak sabaran. Puasa itu bagaikan benteng,
menahan serangan nafsu yang diibaratkan seperti banteng. Jadikan puasa sebagai
benteng yang menjaga diri kita dari segala bentuk kedurhakaan. Jangan jadikan
ia banteng yang suka menyerang, mencari pembenaran atas segala kepongahan.
Jangan jadikan puasa kita sebagai dalih untuk menyombongkan diri, apalagi
dijadikan pembenaran untuk menyerang dan mencacimaki orang lain yang sedang
tidak berpuasa.”
“Inilah
saat yang tepat untuk membangun benteng pertahanan yang kokoh, saat dimana
iblis dibelenggu dan tak bisa mengganggu, saat dimana pintu-pintu sorga terbuka
lebar, saat dimana pintu Royyan melambai-lambaikan tangan kepada para shoimin
yang mampu bersabar. Kalau benteng kita mudah roboh, berarti ada yang salah
dengan diri kita. Maka mari mulai sekarang kita perkuat niat, mari kita
perbulat tekad, untuk membangun benteng yang kuat, agar ketika iblis dilepas
mereka tak bisa banyak berbuat. Benteng kita adalah puasa, rumah kita adalah
masjid, tiangnya adalah shalat, kuncinya adalah syahadat, tanaman yang tumbuh
di pekarangan kita adalah zakat, dan lampu yang meneranginya adalah al-quran.”
Tiba-tiba
Kang Shoim teringat nasehat Kang Royyan. Ramadhan tanpa alif dan nun
(ramadh) terasa begitu panas. Tetapi bagi mereka yang memiliki alif
dan nun, Ramadhan terasa begitu sejuk. Karena mereka yang
memiliki alif dan nun punya benteng yang kukuh dan teduh yang
membentengi jiwa raga mereka dari serangan banteng nafsu. Mereka punya tombak alif
untuk melawan, dan perisai nun untuk bertahan.
Nun
jauh di sorga sana, Royyan melambai-lambaikan tangan sambil berbisik lirih
kepada Kang Shoim: Selamat berjuang, kutunggu kau di sorga!
PMH
Pusat Kajen, 05 Ramadhan 1436
[1] Cerpen ini
dibedah dalam acara Pesantren Kilat Ramadhan on Campus di MTs Thowalib pada 4
Juli 2015/17 Ramadhan 1436.
[2] Kak. Panggilan
familiar di kalangan pesantren.
[3] Isim fail dari
kata “shooma”, artinya: orang yang berpuasa.
[4] Mengaji kitab
di bulan Ramadhan.
[5] Nama pintu
surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang berpuasa secara baik dan benar.
[6] Taqwa adalah
tujuan utama dalam berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar