“Pesantren
Nushan Tara[1]”
Oleh:
Sahal Japara
Seorang pemuda berbadan gempal, berambut panjang terkuncir,
bercelana jins dan berkemeja lengan pendek tertutup jaket, berpenampilan layaknya orang-orang
metropolitan, tengah berjalan memasuki sebuah pesantren dengan menggendong
sebuah ransel besar.
“Benarkah ini Pesantren Nusantara?”
Tanya si pemuda pada salah satu penghuni pesantren.
“Benar.”
Yang ditanya menjawab.
“Kalau pengen mondok di sini selama Bulan Ramadhan,
bagaimana caranya?”
“Oh, mari saya antarkan ke pengurus.”
Keduanya berjalan
menuju kantor pesantren, tempat dimana para santri baru mengurus pendaftaran
dan administrasi.
“Silahkan masuk!”
Santri yang mengantarkan pemuda itu mempersilahkannya masuk
kantor, lalu undur diri.
“Assalamualaikum...”
Si pemuda mengucapkan salam.
“Waalaikumussalaam warahmah wabarkah... sumangga sumangga,
silahkan duduk. Ada yang bisa dibantu?”
“Saya ingin mondok di sini selama Bulan Ramadhan Mas.”
“Sudah sowan Simbah Kyai minta izin mau mondok di
sini?”
“Belum Mas.”
“Kalau begitu, nanti sowan ya? Ini saya daftari
dulu.”
Kang Ngalim mengambil formulir pendaftaran kemudian
diberikan kepada pemuda berambut gondrong itu. Setelah diisi, formulir itu
diberikan kepada Kang Ngalim.
“Ternyata orang sunda Kang Ibin Thoo...libin?”
Tanya Kang Ngalim sambil mengeja tulisan di formulir
pendaftaran.
“Iya Mas. Sekarang saya masih kuliah jurusan IT di salah
satu universitas ibukota. Pumpung masih liburan panjang habis semesteran, daripada
menganggur, saya gunakan untuk mondok saja.”
“Begitu ya?”
“Yah, mohon dimaklumi Mas kalau saya kurang sopan, karena
baru pertama kali ini saya menginjakkan kaki di pesantren. Saya tahu pesantren
justru dari sosial media Mas, saat dunia maya gempar dengan gerakan #AyoMondok.
Saya pun penasaran karena begitu banyak yang membicarakan. Saya cari-caritahu
tentang bagaimana sebenarnya pondok pesantren itu. Saya baca satu persatu
postingan teman-teman sosmed baik yang mendukung gerakan ini maupun yang
menolak dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi. Setelah banyak membaca
dan merenung, entah kenapa hati saya tiba-tiba begitu menggebu ingin mondok.”
“Alasan apa yang paling mendorong sampean kepengen
mondok?”
“Bagaimana ya menjelaskannya? Emmm, saya bingung harus
mulai dari mana karena latar belakang
pendidikan saya begitu rumit. Ya sudah, saya akan cerita. Tapi Mas jangan
kaget ya. Saya ini lulusan SD Kanisius. Waktu itu di kampung saya hanya ada
satu SD saja. Setelah itu masuk SMP dan SMA Islam milik salah satu ormas islam
tertentu. Kemudian kuliah di jurusan IT. Dan sekarang, saya begitu ngebet
pengen masuk pesantren. Yang ingin saya
tanyakan, kira-kira berkenankah Simbah Kyai menerima saya
yang lulusan SD Kanisius ini mondok di sini Mas?”
“Sampean itu lho aneh. Belum-belum kok sudah
berprasangka buruk dengan Simbah Kyai? Mantap sajalah, insyaallah Simbah Kyai
menerima, bahkan senang dengan kedatangan sampean.”
“Iya ya Mas, semoga saja begitu. Eh Mas, benar kan
pesantren ini namanya Pesantren Nusantara? Soalnya tadi pas ngliat tulisan di
pintu masuk kok seperti ada yang janggal.”
“Tulisannya itu Nushan (bish-shod) Tara. Tapi lebih
dikenal dengan nama Pesantren Nusantara. Nushan Tara itu Bahasa Arab. Nushan
artinya ‘nasehat’, sedangkan tara artinya ‘yang engkau lihat’.
Seharusnya struktur kalimat yang lazim itu Tara Nushan, karena Tara adalah
kata kerja, sementara Nushan adalah obyeknya. Kata kerja harusnya ada di
depan sementara obyek ada di belakang. Nushan yang jadi obyek
didahulukan atas Tara yang jadi kata kerja karena alasan pengkhususan.
Jadi, artinya: hanya nasehat yang engkau lihat.”
Ibin melongo karena tak paham apa yang baru saja dijelaskan
oleh Kang Ngalim.
“Nushan Tara ya?”
Sahut Ibin sambil mangut-mangut.
“Kalau Simbah Kyai seingat saya waktu baca salah satu
postingan teman tentang Pesantren Nushan Tara, namanya Kyai Maharim? Iya kan
Mas?”
“Makarim, bukan Maharim. Itu tadi lho, pertanyaan saya
belum dijawab Kang Ibin.”
“Oh iya, alasan yang paling mendorong saya untuk mondok ya Mas?
Sebelumnya, saya akan sedikit cerita lagi Mas.”
“Banyak juga tidak apa-apa kok, hehe...”
“Selama
saya sekolah di SD Kanisius yang dikelola oleh umat kristen katolik, saya
diajari untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Saya tidak pernah didoktrin atau dipaksa
untuk mengikuti ajaran agama mereka. Ketika ada jam pelajaran agama, saya dan
teman-teman yang seagama keluar kelas. Bahkan ketika waktu shalat datang,
guru-guru justru mempersilahkan kami untuk lekas mendirikan shalat. Karena
mereka sangat senang jika kami menjadi seorang
muslim
yang taat. Di sana, saya begitu merasakan kasih sayang di tengah-tengah
perbedaan. Dan dari sanalah, saya mendapatkan banyak pelajaran tentang
bagaimana cara menghormati pemeluk agama lain Mas. Namun, ketika masuk SMP dan
SMA Islam yang dikelola oleh salah satu ormas islam tertentu, dan mengikuti
kegiatan ormas itu selama menjadi mahasiswa, saya merasakan iklim yang
berbanding terbalik dengan apa yang pernah saya temukan di SD Kanisius Mas.”
Kang Ngalim mengernyitkan kedua alisnya karena begitu
penasaran dengan kelanjutan cerita Ibin. Ia hanya diam saja menyimak tamunya
itu bicara.
“Di situ, di institusi dan organisasi yang menggunakan
label islam itu, saya malah tidak menemukan kedamaian padahal katanya islam
agama yang cinta damai. Selama di sana, saya dan teman-teman seringkali
didoktrin bahwa kami adalah orang-orang pilihan yang paling benar dan paling
baik. Selain kami adalah salah, sesat, dan kafir. Mulailah tumbuh
percikan-percikan api kebencian terhadap siapa saja yang berbeda dari kami,
baik yang berbeda agama, maupun yang berbeda aliran atau tau yang tidak sepaham
dengan kami. Sekali ada kayu kering dilempar, api-api itu akan langsung
melahapnya hingga makin berkobar-kobar. Sejak disitu, saya begitu membeci
guru-guru saya di SD Kanisius dulu.
Anggapan saya telah tertanam dalam hati bahwa mereka adalah orang-orang kafir
yang najis dan tak boleh didekati lagi. Karena selalu merasa benar sendiri
lantas dengan mudahnya saya menyalahkan
dan mencacimaki orang lain. Hal itu justru membuat hati
saya jadi tidak tenang. Benci, cemas, khawatir, dan rasa dengki sering kali
menyelimuti hati. Kemudian setelah sekian lama bergelut dengan
perasaan-perasaan semacam itu, saya jadi bertanya-tanya, apakah benar ini
ajaran agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad? Apakah islam itu pembenci
dan pendendam? Bukankah Nabi Muhammad
adalah seorang pemaaf dan pengampun? Lalu mengapa agama kristen katolik yang dipeluk
guru-guruku di SD Kanisius dulu yang kuanggap kafir itu justru begitu ramah dan penuh kasih sayang terhadap siapa saja tanpa pernah pandang?
Adakah yang salah dengan ajaran islam? Atau justru para pemeluknya yang
menyalahi ajaran islam?”
“Saat
muncul gerakan #AyoMondok, teman-teman di ormas islam itu sebagian besar suka
nyinyir dan mencacimaki bahwa gerakan #AyoMondok merupakan gerakan islam
liberal karena dikampenyekan oleh dedengkot-dedengkot JIL (Jaringan Islam
Liberal) seperti Ulil Abshar Abdalla dan Akhmad Sahal. Kegelisahan saya
memuncak. Apakah ini islam yang sesungguhnya? Selalu bersikap nyinyir dengan
saudaranya yang sesama muslim, dan merasa jijik dengan saudaranya yang non
muslim? Akhirnya, setelah saya mencari tahu, membaca dari berbagai hal, banyak
merenung dan memikirkan, saya pun berkesimpulan bahwa islam yang diajarkan
kepada saya selama ini agaknya sudah melenceng dari ajaran-ajaran Nabi. Sejak
saat itu, saya keluar dari organisasi yang pengajian-pengajiannya selalu
membakar api amarah dalam hati saya. Sekarang, saya dikucilkan teman-teman saya
gara-gara tak pernah hadir lagi dalam kegiatan-kegiatan yang mereka
selenggarakan. Kemudian saya memutuskan untuk mondok selama liburan semesteran
ini Mas. Saya ingin tahu, apa benar pondok pesantren itu mengajarkan islam yang
ramah bukan islam yang marah yang mudah sekali memfitnah? Saya ingin tahu, apa
benar pondok pesantren itu memiliki mata rantai keilmuan yang menyambung sampai
Nabi Muhammad yang selalu dijaga oleh para penerusnya hingga sekarang? Saya
ingin tahu, apa benar pondok pesantren adalah lembaga pendidikan islam
tradisional yang selalu mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia? Hal-hal yang tak pernah saya
temukan dulu selama belajar di institusi maupun organisasi berlabel islam itu.”
Ibin berapi-api menceritakan kronologi mengapa ia sekarang
memilih untuk mondok hingga matanya berkaca-kaca.
“Apa yang sampean cari, insyaAllah nanti akan sampean
temukan di sini Kang. Kalau sampean semakin dikucilkan karena masuk
pondok, tidak usah khawatir. Di sini, banyak teman yang berasal dari berbagai
latar belakang dari berbagai penjuru nusantara yang saling menghormati dan
saling mengasihi satu sama lain. Malahan, dulu banyak santri yang berasal dari
negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand. Namun
setelah Indonesia dicap sebagai negara sarang teroris karena para ulah
ekstremis, lambat laun santri-santri yang berasal dari negeri tetangga
berkurang dan akhirnya tidak ada sama sekali. Di sini, insyaAllah sampean akan
kerasan Kang Ibin. Santri-santri sini suka
bermusyawarah dan rajin berjama’ah, bukan hanya dalam shalat
saja. Dalam makan pun mereka berjama’ah. Biasanya mereka bagi tugas. Yang punya
uang beli bahan, sedangkan yang tak punya kebagian tugas masak nasi dan lauk
sampai matang. Mereka berbeda, namun tidak pernah mempermasalahkan perbedaan.
Di sini, para santri Nushan Tara tak pernah diajarkan untuk saling
membenci. Yang selalu dipesankan Simbah Kyai adalah tatakrama dan akhlaqul
karimah kepada siapa saja, karena islam itu rahmat dan kasih sayang bagi alam
semesta. Ya sudah, mari saya antarkan ke kamar biar sampean bisa
langsung istirahat Kang. Tentunya capek seharian menempuh perjalanan jauh.”
Kang Ngalim menawarkan, dan Ibin mengiyakan.
“Baik. Mari!”
Setelah pulas istirahat, Kang Ngalim mengajak Ibin untuk
segera menghadap Kyai Makarim karena besok sudah ramadhan. Mereka pun sowan untuk
meminta izin supaya diperkenankan mengaji posonan di Pesantren Nushan Tara.
Kyai Makarim mengizinkan, bahkan sangat senang dengan kedatangan Ibin.
*******
Pesantren Nushan tara yang diasuh Kyai Makarim ini
sudah sejak dulu menjaga tradisi para ulama pendahulu sembari menghidupkan local
wisdom yang berkembang di masyarakat sekitar. Semboyannya adalah al-muhafadzah
‘ala al-qadiim ash-shaalih wal-akhdzu bil-jadiid al-ashlah, menjaga tradisi
lama yang masih baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Ramadhan kali
ini, kitab kuning yang akan dibaca oleh Kyai Makarim adalah kitab-kitab yang
ditulis oleh ulama nusantara, yaitu: Kaasyifatus Saja karya Syekh Nawawi
Banten, Siroojut Thoolibin karya Syekh Ihsan Jampes, dan Mandzuumatul
Akhlaq karya Syekh Mahfudh Salam Kajen.
Pengajian akan segera dimulai. Ibin nampak kesulitan
mengenakan sarung. Karena tak terbiasa, perutnya pun terlihat menyembul seperti
ibu hamil 5 bulan. Saat hendak berangkat, Kang Ngalim memanggilnya.
“Kang! Di sini kalau ngaji harus pakai songkok hitam.”
Tegur Kang Ngalim halus sambil menghampiri Ibin.
“Punyaku cuma ini Mas? Trus gimana?”
“Ya sudah, itu ada songkokku!”
“Lha kamu Mas?”
“Aku punya dua. Sudah, anggap saja itu punyamu.”
Kang Ngalim berangkat duluan untuk mempersiapkan pengajian.
Sedangkan Ibin berangkat bersama santri-santri lain. Di tengah jalan, ia merasa
ada yang ganjil dengan penampilannya. Apa ya? Ibin berpikir sejenak, lalu
cepat-cepat ia menyembunyikan rambut gondrongnya yang berkuncir ke dalam
songkok agar terlihat sedikit rapi meski gulungan sarungnya masih mondol-mondol.
Kyai Makarim sudah memasuki mushalla pesantren untuk
mengasuh pengajian. Beliau berperawakan tinggi besar. Kulitnya sawo matang,
namun wajahnya begitu teduh berbinar cahaya. Tak berkumis, tapi di dagunya ada
jenggot perak pendek dan tebal yang semakin membuat beliau terlihat berwibawa.
Beliau suka mengenakan rasukan-rasukan (pakaian) produk dalam negeri.
Kali ini yang beliau kenakan adalah baju batik Bakaran Juwana berwarna putih
lengan panjang dan sarung tenun Troso Jepara yang juga berwarna putih. Jangan
salah, meski rasukan-rasukan Kyai
Makarim bersifat lokal, namun pemikirannya bersifat global, dan ibadahnya
bersifat internasional. Act locally, think globally & worship
internationally. Entah Ibin kuat atau tidak, di Pesantren Nushan Tara ini
shalat tarawih dan witir berjumlah 23 raka’at dan bacaannya menggunakan
al-quran. Selama ramadhan dalam shalat tarawih, biasanya Kyai Makarim mampu
mengkhatamkan al-quran sampai dua kali. Hmmm, rasanya seperti shalat tarawih di
masjidil haram.
Kyai
Makarim mulai mengasuh pengajian.
“Sebelum membaca kitab Kasyifatus Saja, saya akan
menyampaikan sebuah hadits musalsal bil-awwaliyyah. Hadits musalsal
adalah sebuah hadits yang dalam sanadnya antara satu perawi dengan perawi
setelahnya melakukan hal yang sama baik berupa perkataan, perbuatan atau
kedua-duanya. hadits musalsal bil-awwaliyyah ini merupakan hadits
pertama yang saya dengar dari guru saya Simbah Kyai Muhammad Ahmad Sahal
Mahfudh Kajen, yang juga merupakan hadits pertama yang Kyai Sahal dengar dari
Syekh Muhammad Yasin Padang,....”
Kyai Makarim menyebut satu persatu nama para perawi hingga
perawi pertama yang meriwayatkan hadits.
“...yang juga merupakan hadits pertama yang didengar Abu
Qabus budak Sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, diceritakan dari Sahabat
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الرّاحمون يرحمهم الرّحمن تبارك وتعالى، إرحموا من في
الأرض يرحمكم من في السّماء
Kyai
Makarim membacanya dengan makna gandul, kemudian menterjemahkannya.
“Orang-orang yang mengasihi akan dikasih-sayangi Sang Maha
Pengasih, betapa ia Maha Berkah dan Maha Luhur. Kasih-sayangilah siapa saja
yang ada di bumi, niscaya siapa saja yang ada di langit akan mengasih-sayangi
kalian semua...”
Setelah Kyai Makarim menyampaikan hadits musalsal tersebut,
beliau mulai membaca kitab Kasyifatus Saja karya Syekh Nawawi Banten.
“Alhamdulillaahil ladzii waffaqqa man yasyaau min
‘ibaadihi liadaai afdholit thoo’aat.. alhamdu utawi sekabehani puji, lillaahi
iku tetep kagungane Gusti Allah...”
Semua santri memaknai kitab kecuali Ibin. Ia tak tahu apa
yang harus ia lakukan. Kitab itu dibaca dengan bahasa jawa ala pesantren,
sedangkan ia orang sunda. Meski teman sekampusnya banyak yang berasal dari
jawa, tapi ia tak begitu paham bahasa jawa, apalagi bahasa jawa ala pesantren.
Ia pun menulis sekenanya segala yang dituturkan Kyai Makarim dengan aksara latin
di bawah setiap kata dalam kitabnya. Kendati demikian, ia merasa bahagia karena
telah menemukan salah satu hal yang paling dicarinya dari pesantren, yaitu:
mata rantai keilmuan yang tersambung sampai Nabi Muhammad SAW.
*******
Malam telah larut. Sebagian besar penghuni Pesantren Nushan
Tara telah berpindah ke alam mimpi. Ada beberapa yang masih terjaga, karena tak
ingin melewatkan malam-malam agung ramadhan begitu saja. Sedangkan Ibin belum
kunjung tidur. Sedari tadi ia masih berada di teras mushalla pesantren, menatap
kitabnya yang terbuka dengan pandangan kosong. Kang Ngalim yang memergokinya
seperti itu dari tadi tiba-tiba mendekatinya. Sadar bahwa lurah pesantren
menghampirinya, seketika Ibin mengusap-usap mata dan pipinya.
“Jam segini mengapa belum tidur Kang Ibin?”
“Ah, tidak apa-apa Mas Ngalim.”
“Lho? Sampean nangis ta?”
“Tidak Mas, tidak apa-apa.”
“Kangen kampung halaman?”
“Tidak Mas. Tidak apa-apa. Saya hanya menyesal mengapa baru
sekarang saya masuk pesantren? Mengapa tidak dari dulu? Tapi buat apa menyesali
yang telah lalu?”
“Tidak usah terlalu dipikirkan Kang. Jalan hidup tiap orang
itu berbeda-beda. Ada yang tegak lurus bebas hambatan, ada pula yang berliku
penuh rintangan. Sampean di perjalankan Allah di lingkungan yang
berbeda-beda itu tandanya Allah sayang sama sampean. Mengapa demikian?
Karena sampean bisa mengambil ibrah dari berbagai kejadian. Beda
dengan saya yang sejak kecil hidup di pesantren yang tahunya hanya lingkungan
pesantren saja.”
Saat melihat kitab Ibin yang terbuka, Kang Ngalim kaget.
“Kang Ibin belum bisa nulis arab? Kalau belum, nanti saya
ajarin.”
“Udah bisa Mas. Cuman ndak bisa memaknai seperti
teman-teman. Jadinya ya begini.”
Keluh Ibin sambil melirik makna latin yang menggandul di
kitabnya.
“Di pesantren, ngajinya ya begini ini Kang. Kyai membaca
kitab, santri memaknai dengan menggandulkan tulisan arab pegon di setiap kata
yang ada dalam kitab.”
“Arab pegon? Maksudnya bagaimana Mas?”
“Tulisan arab pegon itu bentuknya arab, tapi isinya jawa.
Ini merupakan salah satu produk islam nusantara yang sampai sekarang masih
dilestarikan Pesantren Nushan Tara. Dulu, tulisan pegon ini adalah media
dakwah ulama nusantara untuk mengelabuhi para penjajah yang gemar merampas
tulisan-tulisan latin atau jawa yang berbau ajaran agama, agar apa yang mereka
dakwahkan sampai kepada kepada mereka yang membutuhkan. Makanya dinamakan pegon
atau pego yang berarti plin-plan atau berwajah dua, untuk
mengelabuhi para penjajah yang suka menipu. Sikap semacam ini dinamakan musyakalah
atau menandingi. Menghadapi penjajah yang suka menipu, harus dengan tulisan
arab pegon agar mereka tertipu Kang. Orang yang pemahaman agamanya mendalam tak
pernah takut mati, dan hal inilah yang ditakutkan para penjajah, karena orang
yang tak takut mati akan sulit dikalahkan.
Makanya para penjajah itu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan ajaran
agama islam dari para pemeluknya. Disamping tulisan arab pegon, produk ulama
nusantara lainnya adalah makna gandul, yaitu makna yang menggandul di setiap
kata dalam kitab kuning. Makna gandul ditulis dengan arab pegon. Beda dengan
makna lain, makna gandul mengungkapkan makna setiap kata dan fungsinya dalam
sebuah kalimat. Seperti kata al-hamdu, utawi sekabehane puji. Kalau
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia hanya akan menjadi: segala puji, dengan
menghilangkan utawi. Lalu kata lillaahi, iku tetep kagungane Gusti
Allah. Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia hanya akan menjadi: bagi
Allah, dengan menghilangkan iku tetep. Makna Utawi dan iku
tetep ini adalah makna yang muncul sebab sebuah kata menempati satu posisi
tertentu Kang, dalam hal ini kata al-hamdu menjadi mubtada’ dan
kata lillahi menjadi khobar yang berbentuk jarr-majrur sehingga
menyimpan makna kain/istaqarr yang berarti tetap. Para ulama nusantara
mencetuskan makna gandul ini tujuannya agar para santri nusantara memiliki
pemahaman yang mendalam ketika membaca sebuah teks arab sehingga tidak ada
makna yang hilang dan terdistorsi.”
Kang Ngalim menerangkan kepada Ibin sembari menuding ke
arah kitab kasyifatus saja. Ibin antusias mendengarkan.
“Membingungkan ya?”
“Tidak ah Mas. Saya jadi sedikit paham. Kalau teman-teman
saya tahu tentang tulisan arab pegon dan makna gandul ini, mungkin mereka akan
langsung berkata bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat. Lalu mereka akan
menjadikannya dalih untuk menuduh bahwa gerakan #AyoMondok ternyata adalah
gerakan liberal yang dipelopori oleh JIL. Sebuah tuduhan yang ternyata sama
sekali tidak benar. Biarlah saya dikucilkan dan dituduh liberal, asal saya bisa
nulis arab pegon sebagai sarana untuk memaknai dan memahami kitab yang telah
dibaca oleh Simbah Kyai. Kalau Mas Ngalim ada waktu, saya mohon diajari nulis
pegon Mas.”
“Siap Kang Ibin. InsyaAllah saya siap membantu.”
Sejak itu, Ibin mulai belajar nulis pegon kepada Kang
Ngalim. Setiap menemui makna-makna sulit yang tidak dipahami, langsung ia
tanyakan kepada Kang Ngalim, kemudian ia catat. Kendati Ibin terkendala bahasa,
namun semangatnya untuk belajar agama sungguh luar biasa. Ibin Tholibin, arti
nama itu begitu melekat dalam dirinya: seorang anak para pencari arti tiada
henti.
*******
Siang itu Kang Ngalim bersama para pengurus pesantren
terlihat begitu sibuk mempersiapkan sebuah acara. Di mushalla, santri-santri
lalu-lalang untuk ikut membantu.
“Ada acara apa ini Mas Ngalim? Kok ramai banget?”
“Ini nanti sore ada acara khataman al-quran bin-nadzar, malamnya
khataman al-quran bil-ghaib dalam shalat tarawih, lalu setelah isya’
khataman kitab sekaligus pembacaan sanad yang dipimpin langsung oleh Simbah
Kyai. Agenda rutinan untuk memperingati nuzulul quran dan kemerdakaan
Indonesia berdasarkan kalender hijriyyah Kang.”
“Wah wah wah... banyak sekali acaranya ya Mas?
Sampai-sampai ada peringatan hari kemerdekaan Indonesia juga.”
“Memang inilah yang dikehendaki Simbah Kyai Kang. Indonesia
merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 bertepatan dengan ramadhan, bulan yang
memerdekakan hamba dari siksa neraka. Tentang tanggalnya terdapat perselisihan.
Ada yang berkata tanggal 17 dan ada yang berkata tanggal 9 ramadhan tahun 1365
Hijriyyah. Semua ini rasa-rasanya bukan merupakan sebuah kebetulan. 17 adalah
angka keramat dalam islam, di mana pada tanggal itu al-quran diturunkan, dan 17
adalah jumlah rekaat shalat dalam sehari. Tentu Bung Karno tahu akan hal ini,
dan menjadikannya spirit untuk berusaha memerdekakan Indonesia tepat pada
tanggal 17. Al-quran turun pada bulan Ramadhan, dan Indonesia merdeka pada
bulan ini juga. Sebuah pertanda bahwa Allah merahmati dan meridhai lahirnya
negara kepulauan yang memiliki beragam suku dan bahasa ini. Letaknya berada di
tengah-tengah bumi dan dilintasi garis khatulistiwa. Bukan sebuah kebetulan
jika bangsa ini kemudian mampu menjadi ummatan wasathan yang mampu
membumikan ajaran islam tanpa menghilangkan keindonesiaannya.”
Ibin mangut-mangut sambil bergumam dalam hati. Ternyata
benar bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan islam tradisional yang
mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Sudah dulu ya Kang. Disambung kapan-kapan lagi. Saya mau
ndekor dulu.”
“Oh, iya Mas. Maaf sudah mengganggu.”
Acara demi acara berlangsung khidmat. Ibin yang tak pernah
mengikuti acara khataman-khataman al-quran merasa berat, namun pada akhirnya ia
kuat. Hingga tibalah acara puncak yang ditunggu-tunggu para santri, yaitu
khataman kitab dan pembacaan sanad. Sebelum mengkhatamkan kitab, Kyai Makarim
mengajak para santrinya untuk membaca surat al-fatihah yang dihaturkan teruntuk
para pendahulu. Kemudian beliau membaca hadhrah (sebuah bacaan yang
dibaca sebelum menghaturkan bacaan kepada seseorang) dan menyebut satu persatu
nama-nama mereka selama 15 menit. Dalam rentang waktu itu, yang terekam
jelas dalam ingatan Ibin hanya ada beberapa nama, yaitu: Nabi Muhammad SAW,
Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, Sayyidina Ali, Syekh
Nawawi Banten, Syekh Ihsan Jampes, Syekh Mahfudz Salam Kajen, Pak Soekarno, dan
Pak Mohammad Hatta, dan Pak Syahrir. Selain itu, tak ada lagi nama yang
diingatnya karena jumlahnya begitu banyak.
Setelah mengkhatamkan kitab, membaca sanad, dan berdoa,
Kyai Makarim menyampaikan pesan kepada para santri-santri yang mengikuti
pengajian selama Bulan Ramadhan sebelum mereka pulang ke kampung halaman.
“Anak-anakku para santri Nushan Tara yang kucintai. Kita
sekarang hidup di zaman penuh fitnah dan cobaan. Sing becik kecelik, sing
ala ngrajalela. Sing salah ndelik, sing bener ora cetha. Mangka awak dewe kudu
pinter nyekel iwake, senajan buthek banyune. Kudu bisa ngerteni kahanan,
senajan zaman wis ora karu-karuan. Maka tak ada lagi yang bisa kita jadikan
pegangan kecuali al-quran, hadits, dan pendapat para ulama salaf. Mengapa kita
harus juga memegang pendapat para ulama salaf? Karena di tangan-tangan mereka
lah, kemurnian ajaran islam terjaga dan tersambung hingga Rasullah Muhammad
SAW. Di sinilah letak keutamaan sanad atau matarantai keilmuan, agar panjenengan
semua tahu siapa guru-guru yang mengajarkan ilmu ini kepada panjenengan,
karena kelak kita semua akan ditanya dari siapa kita belajar agama? Inilah
tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan pesantren-pesantren di
nusantara termasuk di Pesantren Nushan Tara ini, agar kita semua tidak
melesat dan menyimpang dari ajaran Rasulullah Muhammad SAW seperti anak panah
yang melesat keluar dari busurnya. Sanad itu bagaikan sebuah pohon. Orang yang
pertama kali menanam pohon itu adalah Rasulullah Muhammad SAW. Dari pohon Rasul
inilah para ulama mengambil buah kemudian menanam tunasnya agar tumbuh jadi
pohon lagi sehingga para anak cucunya, murid-muridnya, dan umat islam sedunia
bisa merasakan buahnya dan menanam
tunasnya lagi secara turun temurun sampai kelak hari kiamat. Lalu bagaimana
mungkin kita bisa memahami secara mendalam tentang ajaran-ajaran islam yang
diajarkan pada masa Rasul tanpa melalui perantara guru-guru kita para ulama
salaf yang shalih-shalih itu?”
“Di
zaman ini, begitu banyak aliran-aliran islam bermunculan. Semua mengaku paling
benar dan paling selamat diantara aliran lain. Ada beberapa yang suka
menyalahkan, memfitnah, dan bahkan mengkafirkan aliran yang tak sepaham dengan
mereka. Ada juga yang sampai hati membunuh dan menghancurkan rumah-rumah
saudara sesama muslim yang berbeda pandangan dengan mereka. Mereka bagaikan
anak panah yang melesat keluar dari busurnya. Dan tabiat anak panah itu tajam,
kejam, dan suka menyerang. Ini sama sekali bukan wajah islam yang diajarkan
para pendahulu kita para ulama nusantara yang santun dan selalu menghargai
sebuah perbedaan karena bagi mereka perbedaan adalah rahmat, wujud kasih sayang
dari Allah Yang Maha Penyayang. Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia, innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq. Panjenengan semua
tidak bisa baca kitab tidak apa-apa, yang penting satu ini yang harus
benar-benar panjenengan jaga, akhlaqul karimah yakni etika dan
tatakrama kepada siapa saja. Ini adalah ciri khas santri-santri nusantara yang
harus kita dakwahkan bersama agar menyebar luas keseluruh penjuru dunia.
Apalagi sebentar lagi akan diberlakukan masyarakat ekonomi asean atau AFTA,
dimana masyarakat antar negara seluruh asean akan lebih sering bersinggungan.
Maka mari kita kenalkan kepada dunia, bahwa islam itu santun, islam itu ramah,
islam itu rukun, islam itu indah. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan
tindakan nyata, dengan akhlaq dan etika, bukan hanya sekedar dengan kata-kata. Lisaanul
haal afshahu min lisaanil maqaal, bahasa tindakan lebih fasih dari bahasa
perkataan.”
“Kita
harus bersyukur, lahir dan besar di Indonesia. Negara dengan beribu pulau
beragam suku dan bahasa, tetapi mampu bersatu dan hidup rukun dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Kita jangan mau diadu-domba, baik dengan saudara kita
sesama muslim yang berbeda paham, maupun dengan saudara kita setanah air yang
berbeda agama. Allah menciptakan kita laki-laki dan wanita, suku-suku dan
bangsa-bangsa, agar kita saling mengenal dan menebar kasih sayang. Bukan malah
saling bertengkar, saling menyerang dan mengajak perang. Sebaik-baik doa adalah
mendoakan bangsa dan negara, dan sebaik-baik tindakan adalah menjaga kerukunan
bangsa dan negara. Kalau negara aman, ibadah kita, belajar kita, dan hidup kita
akan nyaman. Semoga islam kita menjadi islam Nushan Tara, yang selalu
menjadi nasehat bagi setiap yang melihat...”
Setelah
Kyai Makarim menyampaikan pesan, beliau pun berdiri hendak meninggalkan
ruangan. Ribuan santri yang mengikuti pengajian kitab seketika berhambur ke
arah Kyai Makarim untuk bersalaman dengan beliau. Mereka berdesak-desakan namun
Kyai Makarim tetap sabar melayani satu persatu, seakan di tangan Kyai Makarim
ada ribuan tunas yang jadi rebutan para santri untuk dibawa pulang dan ditanam
di pekarangan kampung halaman.
*******
Ramadhan telah usai. Ibin pulang ke kampung halaman. Begitu
banyak kesan dan pelajaran yang ia dapatkan dari mondok di Pesantren Nushan
Tara selama Bulan Ramadhan. Diantaranya adalah: songkok hitam simbol islam
nusantara yang dihadiahkan Kang Ngalim kepadanya, hadits musalsal bil-awwaliyyah
dari Kyai Makarim yang tersambung sampai Nabi Muhammad SAW, kitab-kitab karya
ulama nusantara beserta makna gandul pegon dan sanadnya, dan sebuah kamus
Bahasa Arab-Jawa-Sunda seputar kosa-kata yang ada dalam kitab Kaasyifatus
Saja, Sirojut Tolibin, dan Mandzumatul Akhlaq hasil diskusi Ibin dengan Kang Ngalim yang
kini telah ia jadikan kamus digital yang bisa didownload dan dinikmati siapa
saja. Yang jauh lebih penting lagi dari apa yang ia dapatkan adalah
sebuah tunas islam Nushan Tara yang ia peroleh dari Kyai Makarim, islam
yang penuh nasehat bagi siapa saja yang melihat, yang tak suka menghujat namun
gemar berbuat bagi umat.
Sepulang dari shalat ied di masjid besar kampung
halamannya, Ibin bertemu seorang perempuan tua berkerudung namun tak lazim.
Wajahnya sudah berkeriput, rambutnya beruban, dan jalannya sempoyongan. Saat
menatap perempuan itu dari kejauhan, hati Ibin berdesir hebat dan jantungnya
berdebar-debur kuat. Ada semacam kenangan lama yang tiba-tiba menyeruak,
menguak segala ingatan yang sebelumnya tak nampak. Jalannya terhenti, ia
bertanya-tanya dalam hati.
“Bukankah itu???”
Perempuan itu semakin mendekat ke arah Ibin. Iya benar,
wajah itu sangat ia kenali. Hanya sekarang, guratan-guratan usia sudah mengerut
di wajahnya. Tiba-tiba, ada yang berbisik dalam hati Ibin.
Jangan kau dekati perempuan itu! Dia seorang kafir!
Najis!
Badannya lantas gemetaran. Dihelanya nafas agak panjang
agar sedikit baikan. Sebentar kemudian ada suara lagi berbisik di hatinya.
Bagaimanapun juga, ia adalah gurumu. Bukankah murid
adalah hamba seorang guru meski hanya satu huruf saja yang diajarkan?
Ibin tak tega melihat gurunya di SD Kanisius dulu yang
sekarang berjalan sempoyongan itu. Guru yang selalu mengingatkannya agar lekas
shalat ketika masjid sekitar sekolah berkumandang. Guru yang selalu
menasehatinya agar jadi seorang muslim yang taat yang berbakti kepada orang
tua, agama, bangsa dan negara. Guru yang selalu sabar membimbingnya mengeja
huruf perhuruf, kata perkata, kalimat perkalimat, hingga paragraf perparagraf
dalam Bahasa Indonesia. Guru yang selalu membela ketika ada teman sekelas yang
beragama katolik mengejek dan melecehkannya. Guru yang pernah mengantarkannya
pulang ke rumah karena sakit di kelas hingga tak kuat meneruskan pelajaran.
Ibin benar-benar tidak tega. Matanya mulai basah karena iba. Ia pun langsung
menghampiri perempuan tua itu.
“Selamat pagi Ibu Maria...”
Ibin menyapa gurunya yang bernama Maria kemudian mengecup
tangannya. Perempuan tua itu kaget menyadari ada pemuda muslim bersarung dan
berkopyah yang tiba-tiba menyapanya, menyalaminya dan bahkan mengecup
tangannya.
“Siapa ya?”
Ibu Maria mengeryip-ngeryipkan matanya.
“Saya Ibin Bu. Ibin Tholibin. Masih ingatkah ibu dengan
saya?”
“Puji Tuhaaan... Ibin yang pernah kuantar ke rumah saat
dulu sakit di kelas itu?”
“Benar Ibu... Hik...”
Ibin berusaha membendung airmatanya.
“Sekarang kamu sudah besar ya Nak? Puji Tuhaaan... Selamat
hari raya idul fitri ya Ibin. Ibu mohon dimaafkan segala kesalahan...
Benar-benar pagi yang indah, puji Tuhaaann...”
“Hiksss... Harusnya Ibin yang minta maaf Ibuuu... Ibin
banyak salah pada Ibuuu...”
Tangis Ibin tak terbendung. Teringat jelas di benaknya
bahwa ia pernah menganggap gurunya itu seorang kafir dan najis.
“Tidak apa-apa Nak. Tak kau minta pun sudah ibu maafkan...”
“Terima
kasih Ibu... Mari saya hantar ibu pulang ke rumah...”
“Puji Tuhaann.. terima kasih banyak Naaak.. Semoga Allah
memberkatimu, menjadikanmu muslim yang taat, yang berguna bagi nusa dan
bangsa...”
Ibin menggandeng lengan gurunya itu yang saat ini sangat
butuh sandaran karena jalannya sudah sempoyongan. Para penyayang dan pengasih
akan disayang Sang Maha Penyayang dan Maha Pengasih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar