Kuku-Kuku
Panjang[1]
Oleh:
Sahal Japara
Sudah bertahun-tahun Kang[2] Sabar
meninggalkan kampung halaman. Sejak lulus SD hingga sekarang di usia 35 tahun,
ia masih setia mondok[3] di
pesantren Mbah[4]
Hikam. Berbagai kitab telah dikhatamkannya. Sekolah baik yang formal maupun
nonformal telah ditamatkannya. Ibarat makanan, Kang Sabar adalah santri yang
sudah matang yang siap untuk dihidang-tejunkan ke masyarakat. Tetapi karena
satu alasan, ia enggan meninggalkan pesantren Mbah Hikam. Satu persatu teman
seangkatan Kang Sabar sudah pada boyong[5].
Hanya tinggal Kang Sabar saja yang masih tersisa. Sampai-sampai santri-santri
Mbah Hikam memanggilnya “Eyang Sabar” karena usia mondoknya yang sudah begitu
lama.
“Bar, lho masih di sini ta? Tak kira sudah boyong! Hehehe.”
Kapit teman seangkatan Kang Sabar terkejut melihat temannya
itu masih ngoyot[6] di
pesantren.
“Iya Pit, ada kabar apa kok tumben main ke pondok?”
“Ini lho mau sowan Mbah Hikam. Ngaturi beliau agar
bersedia mengakadkanku.”
“Owh, udah mau nikah ta? Kapan?”
Tanya Kang Sabar kecut. Seakan tak rela teman seangkatannya
itu nikah duluan.
“Minggu depan insyaallah Bar. Datang ya? Awas kalau nggak
datang, tak doain nggak laku-laku, hehehe...”
Canda Kapit. Meskipun candanya dibumbui tawa, bagi Kang
Sabar tetap terasa nyelekit.
“Insyaallah Pit, he...”
Jawab Kang Sabar. Wajahnya dihiasi senyum yang terkesan
dipaksakan untuk membahagiakan teman seangkatannya yang sedang berbunga-bunga
lantaran sebentar lagi akan melepas masa lajangnya. Asal teman-teman bahagia,
Kang Sabar rela memendam duka lara. Bukan cuma sekali dua kali Kang Sabar
dihadapkan kenyataan bahwa satu persatu teman-teman seangkatannya telah boyong
dan menikah. Boyong berarti meninggalkan Kang Sabar sebatang kara tanpa teman
seusia di pesantren, dan menikah berarti meninggalkan Kang Sabar semata wayang
dalam kejombloan. Terkadang, Kang Sabar merasa bahwa nikah adalah benar-benar
merupakan sebuah pemutus tali persahabatan yang nyata. Bagaimana tidak? Jika
ada teman yang menikah, ia merasa kehilangan teman yang satu status dengannya
yaitu: jomblo! Perasaan semacam ini selalu muncul pada saat musim-musim nikah
kembali tiba seperti bulan besar[7]
yang kata orang-orang Jawa wayahe mbeber telasar[8].
Kendati merasa kecut dengan kenyataan yang dialaminya, Kang Sabar tetap tegar
dan ia pun berkenan datang ke acara pernikahan Kapit teman seangkatannya itu.
Kang Sabar datang tepat waktu. Ia tidak duduk di kursi
bagian depan, untuk menjaga diri agar tidak sawanen[9].
Dilihatnya dari kejauhan, kedua mempelai
saling menabur tawa bahagia di atas panggung. Kang Sabar merasa iba pada
diri sendiri karena belum juga bertemu belahan jiwanya. Entah kapan ia bisa
menikmati momen-momen bahagia seperti itu. Inilah alasan mengapa Kang Sabar
masih memilih tinggal di pesantren Mbah Hikam. Sebenarnya Kang Sabar sudah
pernah beberapa kali dijodohkan, namun selalu gagal. Alasannya sama, hanya
gara-gara Kang Sabar adalah santri ndeso yang klumprut[10]
dan tidak punya pekerjaan.
“Sabar!”
Seseorang memanggil Kang Sabar dan menepuk punggungnya. Ia
menoleh. Didapatinya sosok lelaki yang sangat ia kenal bersama dengan seorang
perempuan.
“Slamet!”
Kang Sabar terkejut bukan kepalang. Ia memekikkan nama
teman lamanya yang sudah sekian tahun tak pernah bertemu yang juga seangkatan
dengannya dan Kapit, Slamet!
“Istrimu itu?”
Tanya Kang Sabar sembari menunjuk perempuan di samping
Slamet.
“Iya lah!”
“Nikah kok nggak ngundang-undang sih Met?”
Kang Sabar menegur sambil menelan ludah. Dalam hati, ia
merasa ngenes. Bukan karena Slamet tak mengundangnya dalam acara
pernikahannya, tetapi karena Kang Sabar meratapi nasibnya mengapa hanya dia
yang masih menjomblo hingga sekarang.
“Nggak rame-rame kok Bar. Lha kamu kapan? Hehehe...”
Pertanyaan yang bagai petir di siang bolong tanpa awan dan
tanpa mendung, menyambar-nyambar hati seorang jomblo ngenes, galau dan
hambar.
“Aku? Owh, aku masih ngaji kok Met. Belum rampung. Jadi
belum kepikiran nikah.”
Dalih Kang Sabar mencoba membohongi perasaannya. Apa yang
dikatakannya belum kepikiran justru akhir-akhir ini selalu memenuhi pikirannya.
“Kalau ngaji ya gak ada rampungnya Bar. Oiya, perkenalkan
ini istriku Farida.”
Perempuan yang duduk di samping Slamet itu melempar senyum
kepada Kang Sabar. Sungguh, tega benar Slamet. Maksud baik memperkenalkan
istrinya malah jadi bom nuklir yang menghancur-leburkan hati sahabatnya itu menjadi
berkeping-keping. Dalam hati Kang Sabar nggrundel.[11]
Mentang-mentang sudah nikah, aku kau iming-imingi istrimu yang cantik itu.
Tunggu pembalasanku Met! Akan kucari istri yang jauh lebih cantik 10 kali lipat
dari istrimu, dan kelak akan kupamerkan padamu. Tunggu saja!
“Sabar!”
Tukas Kang Sabar memperkenalkan diri kepada Farida istri
Slamet itu sembari mengulumkan senyum dingin.
Acara pernikahan sahabat yang seharusnya menjadi momen
bahagia malah membuat hati Kang Sabar kemrungsung[12]
seperti air mendidih yang dikompor-kompori api. Ia seakan sudah tak sabar
lagi ingin lekas dipertemukan jodohnya agar kemana-mana tak ada yang meledek.
Cara apapun ia tempuh asal Tuhan segera mengabulkan keinginannya.
Suatu hari, Kang Sabar sowan[13]
ke kediaman seseorang yang biasa dipanggil Ki Jadug[14]. Ki
Jadug terkenal mempunyai segudang wirid[15] yang
mujarab. Sudah banyak orang yang sowan ke kediaman Ki Jadug dengan
membawa berbagai masalah, dan ndilalah selalu pupus dengan wirid-wirid
yang beliau ijazahkan[16].
Sebenarnya Mbah Hikam pengasuh pesantren yang ditempati Kang Sabar juga
gudangnya wirid dan ijazah. Tetapi Mbah Hikam terbilang kyai yang sangat sulit
dan sangat pelit jika dimintai ijazah wirid. Bukan apa-apa, Mbah Hikam hanya
menjaga kehati-hatian agar tidak mengijazahkan wirid kepada orang yang salah.
Karena setiap wirid ada takarannya. Dan wadah setiap orang tentu berbeda-beda.
Karena alasan itulah, Kang Sabar lebih memilih sowan Ki Jadug daripada
Mbah Hikam sekalipun beliau adalah pengasuh pesantrennya sendiri.
“Ada perlu apa Le[17]?”
Tanya Ki Jadug saat Kang Sabar bertamu di rumahnya.
“Begini Ki. Umur saya sudah hampir 36 tahun tetapi masih
belum laku-laku. Mbok saya dikasih ijazah wirid biar cepat laku Ki.”
“Oh begitu? Ya sebentar.”
Ki Jadug masuk ke dalam kamar pribadinya untuk mengambil
sesuatu. Kemudian ia keluar dengan membawa sobekan kertas kecil berisi ijazah
yang ditulis dengan tangannya sendiri.
“Ini lho!”
Sobekan kertas kecil itu diberikannya kepada Kang Sabar.
Kang Sabar pun menerimanya dengan hati lega penuh harapan, seakan-akan jodoh
sudah ada di depan matanya.
“Saya bacakan, nanti ditirukan! Robbi laa tadzarnii
fardan waanta khairul waaritsiin...[18]”
Ki Jadug merapalkan
ijazah. Kang Sabar menirukan.
“Robbi laa tadzarnii fardan waanta khairul
waaritsiin...”
“Ini doa Nabi Zakarya. Dibaca 313 kali setiap bakda shalat
sampai empat puluh hari tidak boleh putus-putus. Kalau putus harus mengulangi
dari awal lagi!”
Wejang Ki Jadug kepada Kang Sabar.
Ha? Dibaca 313 kali setiap salat 5 waktu sampai 40 hari dan
tidak boleh putus? Luar biasa berat! Apalagi bagiku yang tak pernah mengamalkan
wirid-wirid khusus semacam itu. Hmmmh, tapi tak apalah, cari jodoh juga butuh
perjuangan. Siapa tahu benar-benar manjur dan mujarrab. Keluh Kang Sabar
dalam hati.
Bismillah, robbi laa tadzarnii fardan waanta khairul
waaritsiin... ijazah wirid doa Nabi Zakarya yang diberikan Ki Jadug mulai
diamalkan Kang Sabar. Butuh waktu sekitar 20 menitan untuk menyelesaikan wirid
yang diberikan Ki Jadug itu. Awalnya Kang Sabar merasa berat, tetapi
perlahan-lahan karena dibaca terus-menerus akhirnya pun terasa ringan. Melihat
Kang Sabar yang wiridan lebih lama dari biasanya setiap bakda shalat maktubah,
santri-santri Mbah Hikam saling mengumpat bertanya-tanya keheranan.
“Eh, Eyang Sabar itu sedang mengamalkan apa sih kok tumben
wiridannya lama banget?”
Tanya salah seorang santri kepada temannya saat menunggu
Kang Sabar untuk makan bersama. Keduanya adalah teman sekamar dan juga teman
makan senampan Kang Sabar yang dari segi usia terpaut cukup jauh darinya.
Mereka sedari tadi menunggu seniornya itu yang belum juga beranjak dari sajadah
shalatnya. Mereka enggan untuk mengganggu dan lebih memilih untuk sabar menanti
meski dengan sedikit umpatan dalam hati.
Kendati
banyak yang penasaran dengan apa yang sedang diamalkan Kang Sabar, tak ada satu
pun santri yang berani bertanya kepada Kang Sabar. Yang ada hanya sebatas
desas-desus yang terjadi di kalangan mereka. Sebentar kemudian, desas-desus itu
berlalu seperti angin yang menyapu debu-debu. Kang Sabar masih istiqomah
menjalankan amalan yang diberikan Ki Jadug itu. Sudah hampir empat puluh hari,
namun tanda-tanda bahwa jodohnya sudah dekat tidak nampak sama sekali. Ia mulai
ragu dengan ijazah wirid yang diberikan Ki Jadug, lalu menggerutu kepada
Tuhannya.
“Ya
Allah, bukankah Engkau berjanji bahwa siapapun yang berdoa kepadaMu pasti akan
Kau kabulkan, tetapi mengapa tak kunjung Kau kabulkan doa-doaku? Bukankah
Engkau tak pernah mengingkari janj-janjiMu? Apakah aku terlalu banyak dosa,
ataukah kurang sungguh-sungguh dalam berdoa? Apakah aku belum pantas menerima
jawabanMu atas segala permintaanku? Umurku sudah hampir 36 ya Allah, semua
temanku sudah menikah dan hanya diriku yang belum laku-laku, apa Engkau tega
melihat hambaMu menanggung malu? Diledek orang-orang dengan
pertanyaan-pertanyaan dan canda-lawakan yang selalu mengkerdilkanku? Aku sudah
berusaha sebisaku ya Allah. Aku hanya ingin menyempurnakan agamaku dan keluar
dari segala fitnah, cercaan, ejekan dan ledekan yang terus menerus menderaku ya
Allah. Aku sudah capek dengan semua ini ya Allaaah.....”
Malam
itu, Kang Sabar bermimpi. Saat sedang berdzikir mengamalkan wirid dari kyai
jadug, tiba-tiba Mbah Hikam ada di hadapannya. Seketika Kang Sabar kaget karena
mendapati pengasuh pesantrennya itu muncul secara tiba-tiba.
Sambil
menuding ke arah tangan Kang Sabar yang masih memutar tasbih, Mbah Hikam
berteriak membentak Kang Sabar.
“Itu,
potong kukumu! Atau tak kuanggap sebagai santriku!”
Mbah
Hikam yang pemurah senyum dan terkenal lembut tuturkatanya itu dalam mimpi Kang
Sabar berbalik 180 derajat. Wajahnya merah padam terbakar amarah. Suaranya
keras-beringas seperti malaikat penjaga neraka yang sedang menghardik
penghuninya. Seketika Kang Sabar kaget sekaget-kagetnya hingga terbangun dari
alam mimpi.
“Astaghfirullahal’adzim...
hufh, hufh, hufh...”
Kang
Sabar beristighfar. Nafasnya terengah-engah. Rasa-rasanya mimpi itu begitu
nyata. Rasa takut yang sangat karena kemarahan yang muncul dari seorang kyai
lembut pemurah senyum itu masih mengepung hatinya. Mbah Hikam tak pernah marah
sedahsyat itu. Kang Sabar masih tak percaya. Dilihatnya jemari tangan kanan dan
kiri. Tak ada satu pun kuku yang panjang. Seingatnya baru kemarin Kang Sabar
memotong kuku-kukunya, tetapi mengapa Mbah Hikam memerintahnya untuk memotong
kuku. Sampai-sampai Mbah Hikam mengancam kalau Kang Sabar tidak mau memotong
kukunya, maka beliau tidak akan mengakui Kang Sabar sebagai santrinya. Kang
Sabar masih kebingungan menangkap maksud dari mimpi yang baru saja dialaminya
itu. Disuruh memotong kuku, tetapi tak ada satu pun kuku yang panjang. Aneh!
“Astaghfirullahal’adzim,
apa maksudnya ini ya Allah?”
Kang
Sabar melepas-bebaskan fikirannya untuk mencari-cari makna dari mimpi yang baru
saja terjadi. Diingat-ingatnya segala kejadian yang telah dilaluinya. Pada
mulanya bertemu Kapit dan diberi undangan pernikahan, kemudian menghadiri
pernikahan Kapit dan bertemu Slamet dan istrinya hingga keinginannya untuk
menikah membuncah dan memuncak-muncak, kemudian sowan kyai jadug karena tidak
sabar dengan keinginannya dan diberi sebuah wirid agar cepat-cepat mendapatkan
jodoh, dan yang terakhir dimarahi Mbah Hikam habis-habisan dalam mimpi padahal
Mbah Hikam bukan kyai yang suka marah-marah.
“Apa
gara-gara keinginanku yang menggebu sehingga aku meminta ijazah Ki Jadug lantas
Mbah Hikam memarahiku dalam mimpi ya? Sampai-sampai beliau bilang tidak akan
menganggapku sebagai santri kalau masih tidak mau memotong kuku. Kuku? Bagian
kuku mana yang harus kupotong? Tidak mungkin Mbah Hikam memarahiku hanya
gara-gara kuku. Pasti ada maksud lain selain kuku-kuku jemariku ini. Tapi
apakah itu? Oh ya? kuku Bahasa Arabnya ظُفْرٌ, berasal
dari kata kerja ظَفِرَ yang artinya adalah memperoleh. Apakah itu
maksudnya?”
Kang
Sabar menerka-nerka mencoba menangkap maksud perintah Mbah Hikam..
“Apa
mungkin maksud Mbah Hikam menyuruhku memotong kuku adalah sejatinya menyuruhku
untuk memotong segala angan-anganku yang terlalu panjang yang mendesak untuk
segera memperoleh apa yang kuinginkan? Kuku yang dibiarkan panjang akan
menyimpan banyak kotoran, barangkali angan-angan yang dibiarkan memanjang juga
akan mengendapkan banyak kotoran yang tak kasat mata. Jika memang ini yang
dimaksudkan Mbah Hikam, berarti aku harus cepat-cepat sowan beliau untuk
meminta maaf atas segala kesalahanku agar beliau masih berkenan mengakuiku
sebagai santrinya.”
Tanpa
menunda waktu terlalu lama, keesokan harinya Kang Sabar langsung sowan Mbah
Hikam. Bersama Kang Sabar, ada seorang tamu yang juga sedang sowan yang datang
lebih dulu sebelum Kang Sabar. Tamu itu matur[19]
kepada Mbah Hikam.
“Mbah,
saya minta didoakan supaya bisnisnya lancar dan cepat kaya biar bisa menunaikan
ibadah haji.”
Mendengar
curahan hati tamu itu, Mbah Hikam tersenyum ramah kemudian berkata lembut.
“Aja
mikirke perkara kang durung digawe deneng Gusti Allah! Pikiran iku kayadene
kitiran, kebanteren mubeng cepling, kedhuwuren mabur ngguling. Kabeh wis ana
sing ngatur, kari ngelakoni lan masrahke, ora usah melu-melu ngatur![20]”
Sekali
berkata, dua orang serasa mendapat tamparan keras bersamaan sekaligus. Si tamu
merasa ditampar karena sudah terlalu panjang berangan-angan dan meminta Mbah
Hikam untuk mendoakan agar segala yang diinginkan lekas jadi kenyataan,
sedangkan Kang Sabar merasa ditampar karena keinginannya sudah terlampau jauh
mendahului takdir Tuhan. Tiba-tiba kedua mata Kang Sabar berkaca-kaca, lalu
menangislah ia tanpa suara.
Tamu
yang minta didoakan agar cepat kaya itu akhirnya meminta maaf kepada Mbah Hikam
kemudian berpamitan pulang. Kang Sabar ikut-ikutan. Menunggu tamu itu
benar-benar keluar, baru Kang Sabar berdiri menghampiri Mbah Hikam untuk
bersalaman pamitan.
“Sudah
cukup kan?”
Tanya
Mbah Hikam kepada Kang Sabar seakan tahu tentang segala kejadian yang sudah
dialaminya.
“Sampun
Mbah.[21]”
Tangis
Kang Sabar meledak. Didekapnya kyai pemurah senyum dan lembut tutur katanya itu
sambil sesunggukan.
“Hiksss...
Maafkan saya Mbah... Semoga Simbah masih berkenan menganggap saya sebagai murid
Simbah...”
Dibiarkannya
santri senior yang paling lama mondok itu mendekap Mbah Hikam sampai reda
tangisnya. Setelah Kang Sabar tak sesunggukan lagi, Mbah Hikam berkata
kepadanya.
“Besok
ngaji ya? Sudah lama aku tak melihatmu ngaji.”
Besok
adalah pengajian rutinan mingguan kitab al-Hikam yang diasuh oleh Mbah Hikam.
Jamaah pengajian datang dari berbagai penjuru kota dan biasanya mencapai
ribuan. Kang Sabar heran mengapa Mbah Hikam tahu jika akhir-akhir ini ia tidak
pernah mengikuti pengajian mingguan Kitab al-Hikam, padahal pesertanya mencapai
ribuan. Tetapi Kang Sabar merasa tenang dan lega karena Mbah Hikam masih
memperhatikannya yang itu adalah pertanda bahwa beliau masih mengakuinya
sebagai santrinya, sekalipun ia telah mendurhakainya dengan mengumbar
angan-angan dan keinginannya sampai-sampai meminta ijazah wirid kepada kyai
lain tanpa seizin Mbah Hikam yang secara etika dalam mengaji tak bisa
dibenarkan walaupun dengan berbagai alasan.
“Nggih
Mbah, insyaallah. Saya mohon maaf, sudah lama tidak pernah mengikuti
pengajian Simbah.”
“Iya
tidak apa-apa.”
Jawab Mbah
Hikam kalem sembari menebar senyum kasih sayang kepada Kang Sabar.
Pengajian
kitab al-Hikam yang diasuh Mbah Hikam sudah berjalan selama bertahun-tahun.
Sudah beberapa kali beliau mengkhatamkan Kitab al-Hikam. Belum pernah beliau
berganti kitab lain, karena ketika sudah khatam selalu beliau ulangi lagi dari
awal. Begitu seterusnya. Kitab al-Hikam karya Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary ini
beliau jadikan wiridan. Di waktu lain, Mbah Hikam juga banyak membaca
kitab-kitab turats[22]
dengan judul yang beragam untuk para santri, namun khusus untuk pengajian
umum rutinan mingguan beliau nampaknya sengaja menjadikan al-Hikam sebagai
kitab wiridan wajib yang tidak tergantikan.
Hari
itu telah tiba. Ribuan orang berbondong-bondong menuju ndalem Mbah Hikam
untuk mengikuti pengajian umum rutinan. Ruang tamu dan teras ndalem tidak
cukup untuk menampung hadirin yang jumlahnya mencapai ribuan. Banyak jamaah
yang duduk di halaman pesantren dan kamar-kamar santri hingga meluber ke
jalan-jalan depan rumah warga sekitar.
Mbah Hikam
mulai membaca salah satu untaian mutiara sang sufi Alexandria itu.
“Laa
yakun, aja nganti ana.. taakhkhuru amadil ‘athaai, apa karine mangsa peparing..
ma’al ilhaahi, ing dalem sertane ndesak.. fid-du’aai, ing ndalem dunga..
muujiban, iku netepake.. liya’sika, maring bosen ira.. fahuwa, kerana utawi
Allah.. dhominun, iku nanggung.. laka, keduwe sira.. al-ijaabata, ing
kasembadan.. fiimaa, ing ndalem perkara.. yakhtaaruhu, kang milih sapa Allah
ing maa.. laka, keduwe sira.. laa fiimaa, ora ing ndalem perkara.. takhtaaruhu,
kang milih sira ing maa.. linafsika, keduwe awak dewe ira.. wafil waqti, lan
ing ndalem wektu.. al-ladzi yuriidu, kang ngersaake sinten Allah.. laa
fil-waqti, ora ing ndalem wektu.. al-ladzii turiidu, kang karep sapa sira..[23]”
Para
hadirin mendengarkan dengan khusyuk dan khidmat, tak terkecuali Kang Sabar yang
sedari tadi menitikkan air mata karena apa yang disampaikan Mbah Hikam sangat
mengena di hatinya. Ia pun merasa bersalah telah sombong dan durhaka dengan
memaksa Tuhan untuk menuruti segala permintaannya.
“Sebelum
saya akhiri pengajian pada siang ini, saya memohon kepada para hadirin semua
agar jangan pada pulang dulu. Karena hari ini saya akan menikahkan putri saya
yang terakhir.”
Para
hadirin bergemuruh namun tidak sampai meninggalkan tempat duduknya. Mereka
saling melempar tanya keheranan dan kaget karena Mbah Hikam akan ngunduh
mantu secara tiba-tiba. Tak ada sama sekali kabar-kabar berhembus
sebelumnya.
“Kang
Sabar Bimasyiatirrahman saya mohon untuk maju ke depan.”
Kang
Sabar terkejut Mbah Hikam memanggilnya untuk maju ke depan. Semua hadirin
menoleh ke arahnya yang perlahan-lahan menuju tempat duduk Mbah Hikam.
Jantungnya berdebar-debur seperti gulungan-gulungan ombak yang diterjang badai
kencang. Ia masih bingung dan menyimpan tanda tanya besar mengapa Mbah Hikam
memintanya untuk maju ke depan.
“Ini
calon menantu saya yang akan saya nikahkan sekarang dengan putri bungsu saya.
Para hadirin saya minta untuk jadi saksi pernikahan anak saya.”
Sontak
Kang Sabar terkaget-kaget bukan kepalang. Apa?? Seorang santri klumprut yang
tak memiliki apa-apa yang hampir saja tidak dianggap sebagai santri Mbah Hikam
ini malah akan dijadikan menantunya??? Kang Sabar masih terbengong-bengong tak
percaya. Bagaimana bisa??? Ia masih tak percaya. Perasaannya, ah takkan bisa
diungkapkan dengan kata-kata.
Mbah
Hikam meminta Kang Sabar untuk duduk di depan mejanya. Ia hanya nurut saja
seperti wayang yang digerakkan dalang. Diraihnya tangan Kang Sabar yang
terkulai lemas tak berdaya karena masih tak percaya dengan apa yang sedang
terjadi di hadapannya. Keduanya bersalaman seperti sedang menjalin sebuah
perjanjian.
Tiba-tiba
Mbah Hikam membaca mantra sakral yang dapat menghalalkan sepasang manusia untuk
hidup bersama.
“Ankahtuka wazawwajtuka binti Durrotul Hikmah
binti Hikam bimahri kitab al-Hikam wa qiraatihi laha...[24]”
Kang
Sabar kebingungan. Tetapi akhirnya, ia pun menjawab mantra itu meski agak
tergagap dengan sebuah mantra pula yang sering ia dengar namun baru kali ini ia
ucapkan.
“Qo...
qobiltu... nikahaha... watazwiijaha... bil-mahril madzkur...”
“Sah?”
Tanya
Mbah Hikam kepada para hadirin. Semua menjawab serentak bergemuruh.
“Sah!”
Kemudian
Mbah Hikam mengangkat kedua tangannya tepat di dadanya, lalu melangitkan
doa-doa. Semua hadirin mengamini dengan sepenuh hati. Setelah pengajian usai,
bagai aroma misik yang diterbangkan angin ke segala penjuru, kabar harum
pernikahan Kang Sabar dengan putri bungsu Mbah Hikam yang terjadi secara
tiba-tiba dengan mahar Kitab al-Hikam dan membacanya di depan istrinya itu
segera menyebar ke segala penjuru. Jadilah Kang Sabar gus tiban[25]
setelah sah menjadi menantu Mbah Hikam. Ia masih merasa seperti mimpi.
Perasaannya campur aduk, antara bahagia karena Tuhan telah mengabulkan
permintaannya, dan takut karena ia yang bukan siapa-siapa telah diangkat
menjadi menantu kyai tersohor yang ngalim dhohir bathin itu.
Cepat-cepat
Kang Sabar meredam segala gejolak hatinya yang masih ketakutan dan kebingungan
bertanya-tanya bagaimana nantinya. Ia pasrah-serahkan segala urusannya kepada
Tuhan Yang Maha Mengatur. Dipotongnya segala macam angan-angan yang laksana
kuku, yang jika semakin panjang akan semakin menyimpan banyak kotoran di
dalamnya. Kemudian ia teringat wejangan Mbah Hikam kepada tamu yang meminta doa
agar cepat kaya kepada Mbah Hikam beberapa waktu yang lalu.
“Aja
mikirke perkara kang durung digawe deneng Gusti Allah! Pikiran iku kayadene
kitiran, kebanteren mubeng cepling, kedhuwuren mabur ngguling. Kabeh wis ana
sing ngatur, kari ngelakoni lan masrahke, ora usah melu-melu ngatur!”
PMH Pusat Kajen, 30 April 2015
[1] Cerpen ini
diikutkan dalam lomba cerpen yang diselenggarakan oleh KMF (Keluarga Mathali’ul
Falah) Jakarta dan meraih juara II.
[2] Panggilan dalam
Bahasa Jawa, artinya: kakak. Biasa digunakan dalam budaya pesantren untuk
memanggil santri yang lebih tua.
[3] Mengaji di
pondok pesantren.
[4] Panggilan dalam
Bahasa Jawa, artinya: kakek. Biasa digunakan untuk memanggil seseorang yang
dituakan dan dihormati meskipun bukan kakek secara genealogi, mirip dengan
pemakaian kata “syekh” dalam Bahasa Arab. Menurut salah satu sumber, kata
“mbah” yang digunakan untuk memanggil seorang yang dituakan dan dihormati
berasal dari kata ”manembah” yang artinya menyembah. Maksudnya adalah bahwa
seseorang dipanggil dengan “mbah” karena sudah dianggap benar-benar “manembah”
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
[5] Istilah dalam
dunia pesantren yang berarti bahwa santri sudah tidak menetap lagi di
pesantren. Bisa jadi pindah ke pesantren lain atau pulang ke kampung halaman.
[6] Mengakar: awet.
[7] Bulan Dzul
Hijjah dalam Bahasa Jawa.
[8] Waktunya
menggelar alas. Besar, wayahe mbeber telasar adalah sebuah ungkapan yang
menunjukkan dua fenomena yang marak terjadi di bulan besar (Dzul Hijjah),
yaitu: 1. Pernikahan 2. Kematian. Keduanya dianggap memiliki kesamaan, yaitu
sama-sama mbeber telasar (menggelar alas). Yang satu (pernikahan) mbeber
telasar untuk berbulan madu pengantin baru. Yang satunya lagi (kematian) mbeber
telasar untuk menuju kehidupan baru.
[9] Sawanen adalah
sebuah keadaan dimana seseorang merasa demam panas-dingin dan tidak doyan makan
karena sebuah kejadian seperti: pulang habis melayat orang meninggal.
Orang-orang Jawa percaya bahwa sawanen timbul karena ada persinggungan dengan
makhluk halus yang mengakibatkan seseorang itu terkena sawan. Seseorang yang
terkena sawan biasanya tidak mempan jika diobati dengan obat dokter. Sawanen
bisa hilang jika disawani (diobati dengan ramuan sawan), begitu kata
orang-orang Jawa.
[10] Katrok, tidak
rapi.
[11] Mengumpat.
[12] Gundah gulana.
[13]
Bertamu/berkunjung.
[14] Ki berasal dari
kata “Aki” yang berarti “kakek” dan sejenis. Sedangkan jadug berarti sakti.
[15] Bacaan yang
dilanggengkan,
[16] Dilegalkan/
diizinkan untuk membaca. Berasal dari kata Bahasa Arab “Ijazah” yang berarti
memperbolehkan. Tak setiap wirid boleh sembarang dibaca. Ada wirid yang harus
melalui ijazah terlebih dahulu jika ingin mengamalkannya. Ada pula yang tidak.
Karena setiap wirid membawa sirr (rahasia) sendiri-sendiri.
[17] Nak, panggilan
dalam Bahasa Jawa. Berasal dari kata thole yang berarti anak.
[18] Artinya: Tuhan,
jangan tinggalkan aku sendiri, sedangkan Engkau adalah sebaik-baik pewaris. Ini
adalah doa yang dibaca Nabi Zakarya saat tak kunjung diberikan keturunan.
Kemudian Allah menganugerahinya seorang anak di saat usianya sudah sangat tua
sedangkan istrinya mandul yang kemudian diangkat jadi nabi yaitu Nabi Yahya.
[19] Bilang.
[20] Jangan
memikirkan hal yang belum diciptakan oleh Allah. Karena pikiran manusia itu
layaknya kitiran (baling-baling kecil yang biasanya terbuat dari kertas),
terlalu cepat berputar bisa lepas, terlalu tinggi terbang bisa terhempas. Semua
sudah ada yang mengatur, tinggal menjalani dan memasrahkan, tidak usah
ikut-ikutan mengatur!
[21] Sudah Mbah.
[22] Kitab-kitab
klasik.
[23] Jangan sampai
karena keterlambatan waktu pemberian karunia dari Tuhan kepadamu, membuatmu
berputus asa dari bersungguh-sungguh dalam berdoa. Karena Allah telah menjamin
akan mengabulkan semua doa pada apa yang Dia pilihkan untukmu, tidak apa yang
engkau kehendaki untuk dirimu sendiri, dalam waktu yang Dia kehendaki, tidak
waktu yang engkau ingini. (al-Hikam: hlm 7)
[24] Saya nikahkan
kamu dengan anak perempuan saya Durrotul Hikmah Binti Hikam dengan mahar Kitab
al-Hikam dan membacanya di depan anak saya.
[25] Gus adalah
panggilan untuk putra kyai, sedangkan tiban bermakna sesuatu yang jatuh (tiba)
dari langit. Gus tiban bisa dimaknai sebagai seorang yang biasa-biasa saja dan
tak punya nasab kyai tetapi tiba-tiba diambil menantu oleh kyai. Akhirnya
dipanggillah ia gus, bukan karena ia putera kyai tetapi karena menikahi ning
atau putrinya kyai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar