وما كان
المؤمنون لينفروا كافّة فلولا نفر من كلّ فرقة منهم طائفة ليتفقّهوا في الدّين
ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلّهم يحذرون[1]
“Tidaklah orang-orang mukmin itu semuanya
pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama dan memperingatkan kaumnya ketika kembali
kepadanya agar mereka dapat menjaga dirinya.”
Asean
Free Trade Area (AFTA) atau yang sering disebut dengan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) merupakan sebuah kesepakatan antara berbagai negara yang berada di
kawasan Asia Tenggara dalam membentuk sebuah kawasan bebas perdagangan dalam
rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan
ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500
juta penduduknya.
Dengan diberlakukakannya AFTA, negara-negara dengan
tradisi dan karakter berbeda itu akan membuat sebuah komunitas atau masyarakat
yang lebih besar, dimana berbagai budaya dan tradisi dari para bangsa yang
berbeda akan bertemu. Dan pertemuan ini, sedikit banyak tentu akan membawa
pengaruh baik positif ataupun negatif terhadap negara-negara yang menjadi
anggota AFTA. AFTA akan membuat persaingan antar berbagai negara ASEAN semakin
ketat, dimana negara yang kuat akan semakin berkembang pesat, sedangkan negara
yang lemah cepat atau lambat akan tertindas dan terjajah.
Tantangan AFTA atau MEA yang akan berlaku mulai tahun
2015 bagi bangsa Indonesia adalah ancaman kehilangan jatidiri dan identitas
Indonesia sebagai bangsa, manakala Indonesia tidak mampu bersaing dengan
negara-negara ASEAN lainnya. Akan tetapi jika bangsa Indonesia memiliki
kepribadian yang kuat dan tidak mudah terpengaruh pribadi negara lain, memiliki
identitas dan jatidiri yang kokoh untuk menjadi dirinya sendiri dan tidak ingin
berjatidiri negara lain, untuk menjadi dirinya sendiri yang menghormati jati
diri negara lain, Indonesia akan menjadi tonggak kemajuan tempat bersandar
negara-negara ASEAN.
Sebagai
warga Negara Indonesia, selayaknya-lah kita menjaga tradisi, budaya serta
nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dan sebagai orang Islam,
tentulah kita harus menjaga ciri khas Islam ala Indonesia, yang ramah, moderat
dan toleran. Tidak serta merta kemudian AFTA itu menjadi sebuah gerbong besar
yang membawa bangsa Indonesia keluar jauh untuk kehilangan jatidirinya. Dan
disinilah, arti penting apa yang disebut dengan pendidikan multikultural, yakni
proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran
(agama). Substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as
education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif
dalam rangka mempererat hubungan antar sesama, dalam konteks MEA untuk
mempererat hubungan antar sesama anggota masyarakat ASEAN. Dengan demikian, pendidikan multikultural
begitu menghargai harkat dan martabat manusia, sehingga pendidikan dilaksanakan
untuk --meminjam bahasa KH Musthofa Bisyri (Gus Mus)-- menjadi manusia, yang
tahu bahwa dirinya manusia, dan memanusiakan manusia. Jika pendidikan
multikultural ini diterapkan dalam konteks MEA akan mendatangkan sakinah,
mawaddah, warahmah kepada masyarakat ASEAN.
Dari ayat yang telah disebutkan di atas, dapat difahami
bahwa tidaklah orang-orang mukmin itu semua-mua keluar untuk pergi bekerja atau
pergi berperang atau pergi berdagang. Tetapi hendaklah ada sebagian dari mereka
yang berkenan untuk mendalami agama sedalam-dalamnya, agar apabila mereka
kembali ke kampung halaman, mereka berkenan memperingatkan (baca:
memberdayakan) masyarakatnya sehingga masyarakatnya mampu menjaga dirinya.
Dalam sebuah negara, dalam sebuah tatanan masyarakat,
untuk menjaga kelestarian tradisi dan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat tersebut, dibutuhkan adanya kelompok-kelompok yang benar-benar mau
mendalami dan mengamalkan nilai-nilai juga mengajak yang lainnya untuk turut
serta menjaga tradisi dan budaya. Kelompok-kelompok inilah yang bertugas
menjaga pilar-pilar bangsa Indonesia agar tetap berdiri kokoh dengan
menjalankan pendidikan multikultural yang berlandaskan pada nilai-nilai agama,
budaya, dan pancasila.
Dari ayat yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita
fahami bahwa esensi pendidikan sendiri adalah untuk membangun, memberdayakan
masyarakatnya (ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم). Untuk membangun dan memberdayakan sebuah masyarakat,
dibutuhkan pemahaman tentang watak, karakteristik serta nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat tersebut. Karena sebuah pengetahuan yang telah
dimiliki harus dikontekstualisasikan dan disinergikan dengan masyarakat.
Hakikat pendidikan bukanlah --meminjam
bahasa Paulo Freire-- untuk menjadi “menara gading” yang tinggi menjulang
sendiri dan menjauh dari bumi. Pendidikan harus membumi, mengerti budaya dan
tradisi masyarakat yang ditempati agar tidak menghilangkan jatidiri. Dan inilah
hakikat pendidikan multikultural.
Untuk mengembangkan pendidikan multikultural, setidaknya
ada 3 cara yang dapat ditempuh sebagaimana yang tersurat dalam Surat an-Nahl
ayat 125[2]:
1. Dengan
Hikmah, yakni mendidik bangsa dengan perilaku. Memulai perubahan menuju kebaikan sembari menjaga tradisi, dimulai dari diri sendiri baru kemudian mengajak orang lain. Karena bahasa perbuatan lebih fasih dari bahasa perkataan.
2. Dengan Mau’idzoh Hasanah, yakni tutur kata yang
baik. Mengajak dengan bahasa yang santun, tidak dengan bahasa yang arogan dan kasar.
Tidak menghardik dan mempersalahkan.
3. Dengan Jadilhum bil-lati hiya ahsan, yakni sebuah perdebatan atau diskusi atau dialog yang mengantarkan kepada kebaikan. Kalau perdebatan dan diskusi itu justru menimbulkan kisruh, lebih baik ditinggalkan. Ini merupakan alternatif terakhir setelah Hikmah dan Maw’idzoh Hasanah.
Diharapkan
dengan adanya pendidikan multicultural yang berbasis pada nilai-nilai budaya,
agama, dan pancasila, kita sebagai bangsa Indonesia yang beragama Islam dapat
mempertahankan jatidiri bangsa Indonesia dan jatidiri muslim Indonesia di
tengah derasnya arus perubahan zaman utamanya nanti ketika kita tengah berada
dalam situasi bebas nilai ketika AFTA atau MEA diberlakukan.
BahanBacaan:
Al-Quran al-Karim
Jalaluddin
as-Suyuthi&Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain.
Jalaluddin as-Suyuthi, Lubab
an-Nuqul.
HunisyatusSalamah, PendidikanMultikultural:
UpayaMembangunKeberagamanInklusif Di Sekolah.
Tim Permata Press, Undang-UndangSistemPendidikanNasional.
Paulo Freire, PendidikanKaumTertindas.
MushtofaBisyri, MencariBening
Mata Air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar