Selasa, 03 Juli 2012

karakteristik filsafat barat


KARAKTERISTIK FILSAFAT BARAT
Filsafat Yunani, Abad Tengah, Modern dan Kontemporer

I. PENDAHULUAN
            Segala puji bagi Allah SWT yang telah menitipkan potensi berpikir dalam diri manusia, agar mereka dapat berpikir dan memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini syarat hikmah dan makna serta tercipta tidak sia-sia. Shalawat serta salam selalu terhatur atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah yang penuh kedamaian, pejuang keadilan yang selalu mengajak kita bertafakkur, berfikir, menalar serta merenungi betapa sempurna alam semesta dan jagad raya.
            Pada kesempatan kali ini tepatnya dalam makalah ini, kami insyaAllah akan membahas “Filsafat Barat” untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Pengantar Filsafat yang diampu oleh Bapak Muhammad Anas pada semester satu STAI Mathali’ul Falah. Pembahasan ini penting karena Fisafat Barat memiliki peran yang sangat signifikan dalam perubahan paradigma dunia terutama dalam hal filsafat, dan filsafat menurut sementara pendapat merupakan induk dari segala ilmu karena dari rahimnya keluar apa yang disebut ilmu pengetahuan dan juga karena sifatnya yang dekonstruktif. Pembahasan tentang Filsafat Barat mencakup kajian tentang filsafat yunani, filsafat abad tengah, filsafat abad modern, dan filsafat kontemporer.
Mengapa perlu dilakukan pengklasifikasian dalam mengkaji Filsafat Barat ???
            Karena dalam fase yang berbeda-beda itu, obyek kajian utamanya pun berbeda-beda. Filsafat Yunani identik dengan alam semesta (kosmos), Filsafat abad pertengahan identik dengan masalah ketuhanan (theos), Filsafat abad modern identik dengan kajian tentang manusia (antropos), Filsafat kontemporer identik dengan kajian tentang ilmu (logos).
            Semoga makalah ini bermanfaat. Selamat mempelajari filsafat !!!.

II. PEMBAHASAN
            Orang-orang Yunani yang hidup pada abad ke 6 SM mempunyai sistem kepercayaan, bahwa segala sesuatu yang bersumber dari dongeng-dongeng atau mitos-mitos yang berlaku dalam masayarakat harus diterima sebagai suatu kebenaran yang mutlak dan tidak perlu dipertanyakan ataupun didekonstruksi. Dengan sistem kepercayaan yang seperti itu, tentunya suatu kebenaran yang dihasilkan lewat akal pikir (logos) kalau tidak sesuai mitos atau dongeng yang berlaku maka tidak bisa dikatakan sebagai suatu kebenaran. Akal tidak begitu mendapat tempat pada mada masa itu. Bisa dikata bahwa masyarakat yang hidup pada masa sekitar abad ke 6 SM atau sebelumnya, adalah masyarakat orality yang menjadikan tradisi lisan sebagai pegangan.
            Pasca Abad ke 6 SM, mulai bermunculan para pemikir Yunani yang menentang adanya sistem kepercayaan yang berdasar pada mitos. Mereka mulai mempertanyakan wujud sesuatu dan sebab dari sesuatu itu, dalam arti mereka telah mendudukkan akal pada posisinya. Obyek besar kajian pada masa itu adalah alam semesta (kosmos). Upaya para pemikir yang menggunakan akal sebagai tolak ukur kebenaran ini menimbulkan banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni.
            Secara garis besar, munculnya Filsafat Yunani disebabkan oleh tiga faktor[1]:
  1. Bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari upaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dll.
  2. Banyaknya karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong kemuculan filsafat Yunani, seperti karya Homerus yang mempunyai kedudukan penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang didalamnya terdapat nilai-nilai edukatif.
  3. Adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, yang kemudian mereka pelajari dan kembangkan sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang teoritis dan kreatif.

Dalam buku-buku filsafat yang kami jadikan sebagai referensi, sejarah Filsafat Yunani terbagi menjadi dua fase atau dua periode, periode Yunani kuno dan periode Yunani klasik. Periode Yunani kuno diisi oleh ahli pikir alam seperti Thales, Anaximandros, Pythagoras, Heraclitos, Parmanides, Democritos dsb. Sedangkan pada periode Yunani klasik diisi oleh ahli pikir seperti Socrates, Plato, Aristoteles dsb.

A.  FILSAFAT YUNANI
Periode Yunani ini sering disebut periode filsafat alam. Karena pada periode ini banyak para ahli pikir alam yang memusatkan perhatiannya dan pikirannya kepada apa yang diamati di sekitarnya. Mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam yang bersifat falsafati (berdasarkan akal) tidak berdasarkan mitos. Mereka mencari ruh atau esensi yang tetap dan pertama yang sifatnya mutlak dan mendasari segala sesuatu yang sifatnya serba berubah. Para pemikir filsafat Yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota perantauan Yunani yang terletak yang terletak di pesisir Asia kecil. Mereka kagum terhadap alam yang penuh nuansa dan berusaha mencari mencari jawaban atas apa yang ada di belakang semua misteri itu.[2]
Diantara pemikir besar pada masa itu adalah:
  1. Thales (625-545 SM), seorang ahli Fisika dan Matematika yang diberi gelar The Father of Philosophy oleh Aristoteles.[3]Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Menurut pendapatnya, segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari air sebagai materi dasar kosmis. Ia juga berpendapat bahwa cahaya bulan adalah pantulan cahaya matahari. Thales merupakan ahli Matematika pertama dan ia dijuluki sebagai The Father of Deductive Reasoning (bapak penalaran deduktif).[4]
  2. Anaximandros (640-546 SM), orang pertama yang membuat peta bumi. Dalam pemikiran tentang arche (asas pertama alam semesta), ia berbeda dengan Thales. Anaximandros berpendapat bahwa asas pertama alam semesta adalah sesuatu yang tak dapat diamati indera, yaitu to apeiron (yang tak terbatas), berbeda dengan Thales yang berkata bahwa arche adalah air. Ia juga berpendapat bahwa bumi tidak bersandar pada sesuatu apapun, bumi tidak jatuh karena ia berada pada pusat jagad raya.[5]
  3. Pythagoras (572-497 SM), ahli Matematika yang dilahirkan di Pulau Samos, Ionia. Menurut Pythagoras, substansi semua benda adalah bilangan, dan segala gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-perbandingan matematis. Bilangan merupakan inti sari dan dasar pokok dari sifat-sifat benda (number rules the universe = bilangan memerintah jagad raya). Ia adalah orang pertama yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan satu keseluruhan yang teratur, sesuatu yang harmonis seperti dalam musik.
  4. Heraclitos (535-475 SM), kawan Pythagoras yang pemikiran filsafatnya terkenal dengan filsafat menjadi. Pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang berubah-ubah sehingga apa yang disebut realitas menurutnya adalah merupakan sesuatu yang khusus, jumlahnya banyak dan bersifat dinamis. Heraclitos berpendapat bahwa arche adalah api, di dalam arche terkandung sesuatu yang hidup (seperti roh) yang disebutnya logos (akal atau semacam wahyu). Logos inilah yang mengendalikan keberadaan segala sesuatu. Hidup manusia akan selamat apabila sesuai logos.[6]
  5. Parmenides (540-475 SM), pendapatnya mengenai alam semesta adalah sesuatu yang tetap dan berlaku umum itu tidak dapat ditangkap melalui indera, tetapi dapat ditangkap melalui akal atau pikiran. Untuk memunculkan realitas tersebut hanya dengan berpikir. Dialah yang pertama kali memikirkan tentang hakikat yang ada (being).[7]
  6. Empedocles (490-435 SM), Ia mengatakan bahwa realitas tersusun dari empat unsur yaitu api, air, tanah, dan udara. Penggabungan dari unsur-unsur yang berbeda itu akan menghasilkan suatu benda dengan kekuatan yang sama yang tidak berubah walaupun dengan komposisi yang berbeda. Dalam perubahan alam semesta ada dua unsur yaitu cinta dan benci yang termanifestasikan dalam persatuan dan perceraian.[8]
  7. Anaxagoras (499-420 SM), mengajarkan bahwa matahari adalah batu yang berpijar dan bulan adalah tanah, bukan sebagai dewa yang merupakan kepercayaan dari masyarakat pada saat itu. Menurutnya, realitas bukanlah satu melainkan terdiri dari banyak unsur dan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu atom. Atom adalah bagian terkecil materi yang tak bisa dilihat oleh mata. Ia mengatakan bahwa yang menyebabkan benih-benih menjadi kosmos adalah nus yaitu roh atau rasio. Dialah yang pertama kali membedakan antara jasmani dan rohani.[9]
  8. Socrates (496-399 SM) guru Plato, seorang yang dihukum mati karena ajarannya atau pemikirannya dinilai menyimpang. Socrates menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat terpisah. Barang siapa memiliki pengertian sejati berarti memiliki kebajikan atau keutamaan moral maka ia memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.[10]
  9. Plato (427-347 SM). Menurutnya, pengetahuan indera dapat berubah-ubah dan pengetahuan akal sifatnya tetap. Dalam bahasanya, ada dua dunia yaitu dunia pengalaman dan dunia ide. Dunia pengalaman bersifat tidak tetap, sedangkan dunia ide sifatnya tetap dan dunia ide inilah dunia yang sesungguhnya yaitu dunia realitas.[11]
  10. Aristoteles (384-322 SM), orang pertama yang mengenalkan analitika yang dalam bahasa sekarang disebut ilmu logika. Pemikirannya mencakup beberapa aspek ilmu pengetahuan, diantaranya tentang logika, silogisme, pengelompokan ilmu pengetahuan, potensia dan dinamika, etika, politik dan negara. Menurut Aristoteles, suatu pengertian memuat dua golongan yaitu substansi (sebagai sifat yang umum) dan aksidensia (sebagai sifat yang secara tidak kebetulan).[12]

B. ABAD TENGAH
            Setelah selesai periode Yunani, yang memusatkan kajian pada alam semesta (kosmosentris), Filsafat barat dalam fase sejarah memasuki abad pertengahan. Pada abad pertengahan, obyek utama yang dikaji para ahli filsafat adalah tentang ketuhanan (teosentris). Filsafat barat abad pertengahan identik dengan kekaisaran Romawi, karena menurut sejarah peradaban Yunani jatuh ke tangan Romawi. Di wilayah kekaisaran Romawi, filsafat Yunani berintegrasi dengan agama kristen sehingga membentuk formulasi baru yang merupakan filsafat Eropa yang sesungguhnya. Dalam proses integrasi Filsafat Yunani dengan agama kekaisaran Romawi yakni kristen, terdapat dua anggapan yang dijadikan rujukan. Anggapan pertama bahwa Tuhan turun ke bumi dengan membawa kabar baik bagi umat manusia yang berupa firman, dan ini dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang sempurna dan sejati. Anggapan kedua, bahwa Filsafat Yunani merupakan sumber kebijaksanaan yang tidak diragukan kebenaran, meski orang-orang telah mengenal agama baru.[13] Abad pertengahan terbagi menjadi tiga bagian: masa patristik, masa skolastik, dan masa peralihan.

a. Masa Patristik
            Istilah patristik berasal dari bahasa latin pater atau bapak, yang artinya para pemimpin gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas atau golongan ahli pikir sehingga menimbulkan sikap yang beragam antara menolak filsafat Yunani dan menerimanya.
            Diantara tokoh-tokohnya yang besar adalah:
  1. Justinus Martir, pendapatnya bahwa agama kristen bukan agama baru karena kristen lebih tua dari filsafat Yunani, dan Nabi musa dianggap sebagai awal kedatangan kristen.
  2. Klemens (150-215 M), ia membatasi ajaran-ajaran kristen agar tidak terkontaminasi ajaran filsafat Yunani, ia memerangi ajaran yang anti kristen. Menurutnya filsafat Yunani dapat dijadikan alat untuk memperdalam iman kristen dalam arti memikirkannya secara mendalam.
  3. Augustinus (354-430 M), ia berpendapat bahwa daya pemikiran manusia ada batasnya, akan tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tak ada batasnya dan bersifat abadi. Artinya, akal pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi.[14]

   b. Masa Skolastik
            Istiah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi skolastik merupakan aliran yang berhubungan dengan sekolah. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama, bisa dikatakan bahwa filsafat skolastik adalah filafat Nasrani karena banyak dipengaruhi ajaran gereja.[15] Filsafat skolastik muncul disebabkan adanya beberapa faktor, diantaranya adalah keadaan lingkungan yang saat itu berperikehidupan religius.
            Diantara tokoh-tokoh besarnya adalah:
  1. Peter Abaelardus (1079-1180 M), pendapatnya adalah bahwa akal memiliki peran menundukkan kekuatan iman, iman harus mau didahului akal. Yang harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau dapat diterima akal. Ia mengatakan bahwa berpikir itu berada di luar iman, dengan kata lain berdiri sendiri.[16]
  2. Thomas Aquinas (1225-1274 M), ia berusaha untuk membuktikan bahwa iman kristen secara penuh dapat dibenarkan dengan pemikiran logis. Ia berkata bahwa kebenaran seluruhnya berasal dari tuhan dengan jalan yang berbeda-beda. Menurutnya, Tuhan tidak pernah mencipta dunia, akan tetapi dzat dan pemikirannya tetap abadi.[17]

c. Masa peralihan
            Masa peralihan ini merupakan embrio dari filsafat Barat abad modern. Masa peralihan ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme, dan reformasi yang berlangsung antara abad ke 14 sampai abas ke 16. Renaissance adalah kelahiran kembali eropa, suatu gelombang pemikiran yang dimulai di Italia, Perancis, Spanyol hingga menyebar ke seluruh negara-negara Eropa lainnya. Diantara tokoh-tokohnya adalah Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Machiavelli dan Giordano Bruno. Humanisme merupakan suatu pendirian para ahli pikir yang mencurahkan perhatian pada pengajaran kesusastraan Yunani dan Romawi serta perikemanusiaan. Reformasi merupakan revolusi keagamaan di Eropa Barat pada abad ke 16.

C. ABAD MODERN
            Secara historis, abad modern dimulai sejak adanya krisis pada abad pertengahan selama dua abad (14-15) yang ditandai dengan munculnya gerakan renaissance yang berarti kelahiran kembali. Para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.[18]           Pada masa ini, obyek kajian utama filsafat adalah manusia (antroposentris). Perbedaan obyek besar kajian inilah yang menyebabkan adanya pengklasifikasian dalam sejarah Filsafat Barat. Pada abad modern, persoalan-persoalan tentang hakikat manusia terus coba diungkap, mengenai apa sebenarnya yang disebut manusia itu. Dari sinilah lahir bermacam-macam disiplin ilmu yang membahas tentang manusia seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran dll. semua ini memperlihatkan betapa problema manusia benar-benar merupakan pembicaraan yang menarik sepanjang masa.[19]
            Dalam filsafat abad modern, muncul berbagai aliran pemikiran seperti Rasionalisme (Descartes dsb), Empirisisme (Thomas Hobbes dsb), Kritisisme (Kant dsb), Idealisme (Hegel dsb), Positivisme (August Comte dsb), Evolusionisme (Darwin dsb), Materialisme (Marx dsb), Neo-Kantianisme (Herman Cohen dsb), Pragmatisme , Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.
            Diantara tokoh-tokoh filsuf pada zaman ini adalah:
A.    Rene Descartes (1596-1650 M) yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Latar belakang gerakan ini muncul adalah adanya keinginan untuk terbebas dari segala pemikiran tradisional (skolastik). Hanya penalaran pasti yang harusnya menjadi bagian dan diskursus filosofis.[20] Menurutnya, filsafat adalah mempertanyakan pernyataan dan bukan mencari pengetahuan.[21]
B.     Immanuel Kant (1724-1804 M), ia mengakui peranan akal dan keharusan empiri dalam menetapkan kebenaran suatu pengetahuan. Metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada rasionalisme, ia tidak menafikan adanya persoalan-persoalan yang tak dapat dijangkau akal. Artinya, akal juga terbatas menurutnya.
C.     G. W. F. Hegel (1770-1831 M), menurut pendapatnya segala peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat terpenuhi, yaitu jika suatu peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Inilah yang disebut proses dialektika dan proses ini yang menjelaskan segala peristiwa.
D.    August Comte (1798-1857 M), menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu tahap teologis, metafisis, dan ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga di bidang ilmu pengetahuan. Ia terkenal dengan istilahnya altruism yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia adalah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[22]
E.     Charles Darwin (1809-1882 M), pencetus teori evolusi, pendapatnya yaitu, perkembangan segala sesuatu termasuk manusia diatur oleh hukum-hukum mekanik. Pada hakikatnya, antara binatang dan manusia serta benda apapun tidak ada bedanya. Dimungkinkan terdapat perkembangan manusia pada masa yang akan datang lebih sempurna.[23]

D. ABAD KONTEMPORER
            Dalam abad kontemporer, obyek besar pokok kajian filsafat adalah ilmu (logosentris). Filsafat ilmu adalah salah satu bidang kajian filsafat yang banyak diminati pada abad kontemporer hingga sampai saat ini. Filsafat ilmu dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis ilmu pengetahuan.
            Pertama, sebagai disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat. Dengan demikian, juga merupakan disiplin filsafat khusus yang mempelajari bidang khusus yaitu ilmu pengetahuan. Maka mempelajari filsafat ilmu berarti mempelajari secara filosofis berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
            Kedua, sebagai landasan filosofis bagi ilmu pengetahuan. Sepanjang sejarah perkembangan ilmu, peran filsafat ilmu dalam struktur bangunan keilmuan tidak bisa disangsikan, karena ia merupakan landasan filosofis bagi tegaknya suatu ilmu. Maka mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat ilmu dalam setiap kegiatan keilmuan.
            Diantara tokoh-tokoh filsuf abad kontemporer:
  1. Imre Lakatos (1922-1974 M), ia mengkritik pendapat atau pemikiran yang memandang ilmu pengetahuan hanyalah akumulasi teori yang berdiri sendiri. Menurutnya, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset. Perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas. Kontinuitas ini memerankan peranan penting dalam sejarah ilmu. Ia menepiskan adanya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.[24]
  2. Thomas Kuhn, beranggapan bahwa kemajuan ilmiah itu pertama-tama bersifat revolusioner, berbeda dengan Lakatos yang menetapkan konsep kontinuitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Konsep sentral Kuhn adalah apa yang disebut “paradigma”, yaitu kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktek ilmiah dalam periode tertentu. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal dimana para ilmuwan berkesempatan mengembangkan dan menjabarkannya secara mendalam.

III. KESIMPULAN
            Pada periode Yunani, obyek kajian terpusat pada jagad raya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat mengenai arche (asas pertama alam semesta), ada yang berkata air, ada yang berkata api, ada yang berkata atom dsb. Pada abad tengah, filsafat mengkaji tentang masalah ketuhanan (teosentris), beberapa pendapat terlihat lucu menurut kita namun harus kita hargai, bahwa salah satu dari mereka berkata bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan alam semesta akan tetapi dzatnya tetap abadi. Pada abad modern, Filsafat rame membahas manusia, muncul banyak sekali aliran-aliran berakhiran isme, dan yang panas adalah perdebatan antara kaum empirisisme dan rasionalisme dalam hal tolak ukur sebuah kebenaran. Pada perode kontemporer, ya periode kita juga ini, memusatkan kajian pada ilmu atau logosentris. Saran kami, mengutip kata Socrates “Kebijaksanaan sejati datang ke setiap kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya kita memahami tentang kehidupan. Dunia kita sendiri dan dunia di sekitar kiat”.
            Semoga makalah ini bermanfaat dan kami berharap semoga para pembaca meletakkan makalah ini dalam hati dan pikiran mereka, tidak dalam tangan mereka. Atas segala khilaf, kami memohon sebanyak-banyak maaf.


DAFTAR PUSTAKA
1.       Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum,Rajawali pers; Jakarta, 1995.
2.       Brouwer, Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya, Alumni; Bandung, 1986.
3.       Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius; Yogyakarta, 1975.
4.       Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty; Yogyakarta, 1995.
5.       Hadiwijono, Harun, Sejarah Filsafat Barat, Kanisius; Yogyakarta.
6.       Epping, et. al. Filsafat ENSIE, Jemmars; Bandung, 1983.
7.       Smith, Samuel, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh Dalam Bidang Pendidikan, Bumi Aksara; Jakarta, 1986.
8.       Muslih, Muhammad, Filsafat Umum, Belukar; Yogyakarta, 2005.
9.       Zubaedi, Filsafat Barat, Arruz Media; Yogyakarta, 2010.
10.    Halomoan, Hendra, Berpikir Seperti Filosof, Arruz Media; Yogyakarta, 2010.
11.    Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, Kanisius; Yogyakarta, 1972.
12.    Daruni, Endang, Filsuf-Filsuf Dunia Dalam Gambar, Karya Kencana; Yogyakarta, 1982.




[1] Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum (Rajawali pers; Jakarta, 1995), hlm 32.
[2] Brouwer, et. al., Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya, (Alumni; Bandung, 1986), hlm 2.
[3] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius; Yogyakarta, 1975), hlm 26.
[4] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Liberty; Yogyakarta, 1995), hlm 3.
[5] Bertens, ibid, hlm 29.
[6] Brouwer, ibid, hlm 6.
[7] Ibid, hlm 7.
[8] Ibid, hlm 13.
[9] Bertens, ibid, hlm 59.
[10] Harun Hadiwijono, Sejarah Filsafat Barat, (Kanisius; Yogyakarta) hlm 37.
[11] Brouwer, ibid , hlm 33.
[12] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 57.
[13] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 62.
[14] Ibid, hlm 67.
[15] Epping, et. al. Filsafat ENSIE, (Jemmars; Bandung, 1983), hlm 128.
[16] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 70.
[17] Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh Dalam Bidang Pendidikan, (Bumi Aksara; Jakarta, 1986), hlm 86.
[18] Asmoro Achmadi, ibid, hlm 107.
[19] Muhammad Muslih, Filsafat Umum, (Belukar; Yogyakarta, 2005), hlm 96.
[20] Zubaedi, Filsafat Barat, (Arruz Media; Yogyakarta, 2010), hlm 19.
[21] Hendra Halomoan, Berpikir Seperti Filosof, (Arruz Media; Yogyakarta, 2010).
[22] Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Kanisius; Yogyakarta, 1972), hlm 42.
[23] Endang Daruni, Filsuf-Filsuf Dunia Dalam Gambar, (Karya Kencana; Yogyakarta, 1982), hlm 62.
[24] Zubaedi, ibid, hlm 184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar