Sabtu, 13 Februari 2016

“Politik Santun Kyai” (Oleh: Sahal Japara)



Beberapa hari yang lalu, pada Jum’at 05 Februari 2016, Habib Salim Segaf Al-Jufrie mantan Menteri Sosial Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (2009-2014) hadir dalam pengajian rutin kliwonan yang diasuh oleh Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya, yang bertempat di gedung Kanzus Sholawat Pekalongan. Habib Salim merupakan Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sosial (PKS). Partai yang akhir-akhir ini mendapat stigma negatif dari sebagian kalangan, karena dianggap sebagai partai yang sering mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik. Apalagi, banyak dari kader partai ini berfaham salafi wahhabi, yang alergi terhadap tradisi yang sudah bertahun-tahun diamalkan oleh warga Nahdlatul Ulama (baca: Nahdliyyin) seperti tahlilan, manaqiban, ziarah kubur, maulid dst. Sehingga ketika mereka menyelenggarakan tahlilan, atau ketika mereka menggandeng Majelis Rasulullah untuk melaksanakan maulidan, atau ketika mereka hadir di pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh kalangan Nahdliyyin, ada semacam sikap sinis yang muncul dari sebagian warga Nahdliyyin. Mereka yang tidak suka dengan partai ini pun mungkin bertanya-tanya, sambil menyimpan jawabannya sendiri dalam dada: “Ada apa gerangan?”, “Ah, paling-paling mereka hanya menebar citra untuk meraup suara dari Muslimin Nusantara.”
    
Kedatangan Habib Salim yang masih aktif sebagai Ketua Majelis Syuro PKS di Kanzus Sholawat, tentu akan memantik desas-desus juga syakwasangka dari para hadirin yang mayoritas adalah warga Nahdliyyin. Tidak ingin jama’ahnya berasumsi negatif terhadap Habib Salim, sebagai tuan rumah, Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya pun berpesan kepada para hadirin:
          “Jangan dilihat partainya, tetapi lihatlah keulamaannya!”

          Dalam konteks ini, meskipun Habib Salim terjun di dunia politik, namun keulamaan beliau tetap tidak luntur oleh kekuasaan maupun jabatan. Habib Luthfi pun mengakui bahwa Habib Salim adalah orang yang ‘alim. Bahkan, Habib Anis Al-Habsyi Solo juga mengakui bahwa Habib Salim adalah seorang yang ‘alim. Sampai-sampai Habib Anis pernah mencium tangan Habib Salim, ketika beliau hadir di majelis pengajian yang diasuh oleh Habib Anis Al-Habsyi.
   
Tak pelak, nasehat Habib Luthfi kepada jama’ah untuk berbaik sangka benar-benar menghadirkan kedamaian di tengah-tengah jama’ah pengajian kliwonan Kanzus Sholawat. Di satu sisi, Habib Luthfi telah menjaga kehormatan Habib Salim Segaf sebagai tamu beliau. Dan di sisi yang lain, Habib Luthfi telah menyelamatkan para hadirin dari sikap yang tidak patut dilakukan oleh seorang muslim, yaitu suudz dzonn atau berburuk sangka kepada saudaranya. Habib Luthfi memberikan teladan, bahwa berburuk sangka lebih-lebih kepada ulama adalah tindakan yang tercela.

          Memang, jika melihat kiprah politik Habib Salim Segaf di PKS, beliau bukan semata-mata menjadi politisi murni yang kemudian haus akan jabatan dan kekuasaan. Lebih tepatnya, menurut hemat penulis, beliau Habib Salim Segaf adalah seorang da’i yang terjun  langsung di dalam partai politik, dengan tujuan menyeru kebaikan (ad-dakwah ila al-khair) di dalam internal partai itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bila dunia politik merupakan dunia yang penuh intrik. Sebagian kalangan menganggap bahwa politik adalah lautan keruh, yang tidak jelas antara mana yang halal dan mana yang haram, serta tidak memiliki sifat abadi dalam memilih kawan maupun lawan. Jika dunia politik adalah lautan keruh, sementara partai politik adalah bahtera yang mengarunginya, maka para ulama yang terjun di dalamnya merupakan layar yang tertiup angin Ilahi untuk menggerakkan bahtera menuju jalan yang diridhai. Namun tidak sembarang ulama’ mampu menjadi layar yang demikian. Sebab hanya ulama’ yang memiliki ---apa yang didhawuhkan Syekh Abdul Qadir sebagai syarat untuk membimbing manusia--- ‘ilmu al-‘ulama’, siyasat al-muluk, dan hikmah al-hukama’ saja yang mampu membawa bahtera agar tidak sesat jalan. Yaitu ulama’ yang mendalam ilmunya, memiliki kemampuan berpolitik yang dimiliki oleh para raja, serta memiliki kebijaksanaan yang ada dalam diri para bijak bestari. Selebihnya, hanya akan menjadi penumpang yang setia mengikuti kemana arah bahtera, sembari duduk manis di atas singgasana.    

          Mengenai dakwah ila al-khair, dalam sebuah ceramah, Habib Salim pernah menyinggung tugas seorang da’i:
Nahnu Du’aatun La Qudhaatun, antum ini sebagai da’i. Bukan hakim yang mengadili masyarakat. Jadi paham ya? Da’i itu kerjanya apa? Mengajak. Kalau ada yang sesat diajak. Itu namanya da’i. Tapi kalau kita sudah memposisikan diri sebagai hakim, itu persoalannya sudah berbeda. Kalau posisi hakim ini, ini kafir, ini musyrik, ini fil jannah, ini fi jahannam. Itu namanya Qadhi atau hakim. Tetapi Antum sebagai da’i, ud’u ila sabiili rabbika (ajaklah menuju jalan Tuhanmu). Kalau yang kurang faham, diajak dialog. Kalau menjelek-jelekkan Abu Hurairah RA, saya sudah jelaskan, (menjelek-jelekkan) Muslim saja sudah nggak bener. Apalagi sahabat? Kalau sudah menjelek-jelekkan itu, berarti memposisikan apa dia itu? Da’i atau hakim? Antum bisa jawab nggak? Kalau menjelek-jelekkan, mengatakan ini, itu hakim atau da’i? Kerja da’i itu berbeda. Kerja da’i itu mengajak, meluruskan. Yang sesat diajak, dengan cara yang bagus. Masalah nanti dapat hidayah, (atau) tidak dapat hidayah, itu urusan lain. Bukan di tangan kita. Tapi yang penting juga, negara juga hadir. Ini penting juga. Negara itu harus hadir. Adanya agama ini untuk membuat masyarakat tenang. Saya itu berharap. Di setiap agama, itu ada lembaga yang menjadi referensi rujukan. Kita di Indonesia ini, ada sekian banyak agama. Nanti kan muncul, mengatakan ini agama ini, ini agama ini. Ada rujukan yang bener nggak di agama ini? Sebab, ada di daerah-daerah juga, orang shalat tidak baca bismillah, pakai terjemahan juga. Ada juga kan? Pernah denger kan? Muncul atau ada Nabi baru, atau ada ini baru. Lha ini Negara harus hadir. Di situ pentingnya. Ulama pun punya rujukan, apakah MUI atau apa, menjadi rujukan mana yang benar, mana yang tidak benar. Tetapi sebagai, kita sebagai orang umum, masyarakat, Nahnu Du’aatun La Qudhaatun. Kita itu da’i.”[1]

          Selain Habib Salim Segaf Al-Jufri, ada beberapa ulama yang terjun di dunia politik praktis dengan membawa misi “dakwah ila al-khair”. Salah satunya, yang masih sugeng dan aktif adalah mahakyai kharismatik asal Sarang Rembang, yaitu KH Mamoen Zubair yang akrab disapa “Mbah Moen”. Mbah Moen adalah Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Beliau merupakan sosok ulama yang sangat disegani oleh siapa saja. Lebih-lebih di PPP, Mbah Moen merupakan ulama yang dipatuhi dhawuh dan fatwanya oleh para kader PPP. Bila ada perseteruan di dalam partai, maka dhawuh-dhawuh Mbah Moen adalah senjata ampuh untuk melerai (atau terkadang malah dijadikan perisai untuk mempertahankan posisi strategis di dalam partai). Keberadaan beliau dalam menjaga keutuhan partai demi membangun negara, mutlak dibutuhkan. Bukan hanya partai, negara dan pemerintah pun juga sangat membutuhkan kehadiran beliau. Karena Mbah Moen mampu memberikan teladan yang santun dalam berpolitik. Beliau adalah ulama yang mampu mengayomi seluruh kalangan, sehingga pihak-pihak yang saling berseteru merasa diperhatikan. Ketika mereka sama-sama merasa diperhatikan, maka ajakan Mbah Moen untuk berdamai pun akan menjadi kenyataan.
         
Kiprah Mbah Moen dalam berpolitik, bukan hanya mengurusi urusan partai yang beliau ugemi itu saja. Melainkan juga mengenai urusan-urusan penting negara. Mbah Moen adalah seorang negarawan. Banyak tokoh-tokoh penting di negeri ini yang setiap waktu sowan menghadap Mbah Moen untuk meminta pendapat mengenai sebuah permasalahan. Semua beliau terima, tanpa tebang pilih. Setiap ada orang yang hendak mencalonkan diri menjadi presiden, gubernur, bupati dan jabatan lain di pemerintahan, Mbah Moen selalu menerimanya dengan ramah. Beliau tidak merasa risih apalagi menolak, jika ada tamu yang berasal dari partai yang berbeda.
         
Dalam berpolitik, Mbah Moen memberikan teladan politik yang santun. Beliau tidak pernah mengumbar aib lawan politiknya di depan umum, apalagi menyebarkannya di sosial media. Jika ingin menyampaikan kritikan atau pesan, Mbah Moen mengajak orang yang dikehendaki untuk bertemu secara pribadi. Terkadang Mbah Moen sendiri yang mendatangi mereka, kadang pula mereka yang sowan ke kediaman pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar ini. Kemudian beliau sampaikan aspirasi dan pandangannya dengan sikap yang santun, sebagaimana yang beliau lakukan beberapa kali kepada Presiden Jokowi, Prabowo dan pejabat-pejabat tinggi negara lain yang Mbah Moen temui.
         
Sejak dahulu sampai sekarang, para ulama memiliki peranan penting dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara. Mereka menjadi tempat mengadu para pejabat, yang datang dengan berbagai permasalahan untuk meminta nasehat. Negara bisa maju dan berperadaban bila pejabat atau pemerintahnya mengindahkan para ulama’ yang mampu menjadi layar bagi bahtera, yang memiliki ‘ilmu al-‘ulama’, siyasat al-muluk, dan hikmat al-hukama’. Bukan ulama’ suu’, yang mendekati para pejabat hanya untuk menjilat harta dan martabat. Meski dunia politik terkenal kotor, sebagai orang awam, kita tidak boleh men-judge bahwa ulama’ yang turun gunung dan terjun dalam dunia politik sebagai orang yang kotor. Jangan pernah melihat seseorang dari partainya, namun lihatlah pribadi dan akhlaknya. Sebagai muslim, kita diperintah untuk berlaku adil, bukan?
         
Mbah Nawawi Banten, dalam kitabnya “Maraqi al-‘Ubudiyyah”, menuturkan sebuah cerita tentang seorang ulama, yang ketika wafat tidak ada yang melayat hanya gara-gara beliau pernah terjun di dunia politik. Kisah ini dituturkan oleh Syekh Ma’ruf al-Kurkhi  seorang sufi asal Irak yang wafat pada 200 H/815 M:

“Ketika Abu Yusuf ulama Madzhab Hanafi wafat, tidak ada satu pun orang yang pergi melayat, karena sebuah alasan bahwa beliau pernah menduduki jabatan di sebuah pemerintahan. Tiba-tiba, aku bermimpi bertemu dengannya, sebelum ia dikebumikan. Aku pun bertanya: ‘Apa yang Allah kehendaki atas dirimu?’ (sampai-sampai tidak ada satu pun orang yang berkenan melayat jenazahmu). Abu Yusuf menjawab: ‘Tuhan telah mengampuniku.’ Aku bertanya lagi: ‘Mengapa bisa demikian?’. Abu Yusuf menjawab: ‘Karena nasehatku kepada murid-murid dan pengikutku.’ Aku pun terbangun dan bergegas melayat jenazahnya.”

Syeikh Abu Yusuf adalah ulama besar madzhab Hanafi di zamannya. Beliau rela memilih jalan yang dipandang hina oleh masyarakat, sehingga tatkala meninggal tiada satu pun orang yang melayat, demi menyampaikan nasehat dan ilmunya kepada para pejabat agar pemerintahan menjadi maslahat. Sebagaimana dunia gelap yang butuh diterangi, dunia politik pun membutuhkan lentera yang berpijar oleh cahaya Ilahi. Maka jangan berburuk sangka, apalagi berburuk laku, kepada para lentera yang memilih politik sebagai jalan dakwahnya. Karena mereka tahu betul bagaimana menghadapi ancaman angin ketika hendak menyalakan lilin dalam kegelapan. Mereka tahu betul bagaimana menghadapi badai samudera ketika hendak mengembangkan layar dan mengarahkan bahtera menuju daratan Tuhan. Mereka berani melawan arus, diterpa hujan caci, digulung ombak maki, namun tiupan angin Ilahi selalu menghembuskannya menuju jalan yang diridhai. Dengan politik santun, mereka hendak menuntun, dengan strategi yang sungguh rapi tersusun. Dengan ilmu yang jernih, mereka sedang menanamkan benih-benih, yang membuat Syekh Abu Yusuf mendapatkan ampunan Sang Pengasih.

Benar bahwa setiap manusia memiliki hak untuk bersuara. Namun, yang membedakan suaranya dengan yang lain hanyalah etika. Sikap para ulama’ yang berpolitik dengan santun, sungguh patut untuk diteladani. Bagaimana mereka menyampaikan suara dengan cara yang sungguh manusiawi, bagaimana mereka menemui secara langsung orang yang hendak dititipi pesan dengan dalih silaturrahmi, bagaimana mereka tidak mudah mengumbar aib, yang dengannya kehormatan saudaranya akan raib? Adalah sebuah ajakan yang berbungkus tindakan, untuk senantiasa menebar kebaikan dan kedamaian, di zaman yang penuh akan fitnah dan cobaan. 

Bahan bacaan: dari berbagai sumber.

*Ditulis, bukan oleh politisi, bukan pula pakar politik, melainkan hanya santri klumprut yang selalu mengharap keabadian damai di bumi pertiwi.
Temas Batu, 13 Februari 2016.


               
         
            





Tidak ada komentar:

Posting Komentar