Rabu, 28 Oktober 2015

“Faidh al-Barakat: Upaya Kyai Arwani Membumikan Ilmu Qiraat”



Oleh: Sahal Mahfudh

“Sesungguhnya al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf,
 Maka bacalah apa yang mudah darinya menurutmu.”
(al-Hadits)

            Salah satu disiplin ilmu yang masuk diskursus kajian ulumul quran adalah ilmu qiraat. Ilmu qiraat mengkaji tentang ragam bacaan al-quran baik yang disepakati kesahihannya oleh para ulama maupun yang tidak. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa al-quran diturunkan dalam tujuh ragam (sab’at ahruf), maka ilmu qiraat secara khusus bertugas mengidentifikasi ragam-ragam bacaan al-quran mana yang masuk dalam kategori sab’at ahruf dan mana yang tidak. Ragam bacaan al-quran yang telah disepakati kesahihannya dan diriwayatkan oleh banyak ulama disebut qiraat mutawatirah, yang bersumber dari tujuh imam, yaitu: Imam Nafi’ (qari’ madinah), Imam Ibn Katsir (qari’ mekkah), Imam Abu ‘Amr (qari’ bashrah), Imam Ibn ‘Amir (qari’ syam), Imam ‘Ashim (qari’ kufah), Imam Hamzah (qari’ kufah), dan Imam ‘Ali al-Kisai (qari’ kufah).
            Ilmu qiraat merupakan sebaik-baik dan seagung-agung ilmu karena ia mengkaji al-quran, berdasarkan apa yang pernah disabdakan Nabi Muhammad SAW bahwakeutamaan al-quran dibanding lainnya bagaikan keutamaan Allah dibanding makhlukNya. Kitab-kitab karya ulama yang membahas tentang ilmu ini sangatlah banyak. Yang masyhur diantaranya adalah: Kitab as-Sab’ah (Imam Mujahid), at-Taysir fi al-Qiraat as-Sab’ (Imam Abu ‘Amr ad-Dani), Hirz al-Amani wa Wajh at-Tihani (Imam asy-Syathibi) dan an-Nasyr fi Qiraat al’Asyr (Imam al-Jazari). Namun, kajian ilmu qiraat di Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini justru tidak banyak diminati. Hanya sedikit diantara ribuan pesantren dan madrasah di Indonesia yang melestarikan ilmu qiraat. Alasannya beragam. Sebagian menganggap bahwa ilmu qiraat terlalu sulit untuk dikaji dan hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja (baca: para penghafal al-quran). Sebagian yang lain menganggap bahwa ilmu qiraat tidak terlalu penting karena hanya membahas tentang pelafalan al-quran, sehingga tidak memiliki kontribusi yang nyata bagi masyarakat. Menurut hemat mereka, selama bacaan al-quran masyarakat sudah bagus, yang dibutuhkan adalah pemahaman tentang alquran, bukan ragam bacaan.
            Jika kenyataan ini terus berlanjut, maka lambat laun ilmu qiraat ini akan diangkat oleh Allah ketika para ulama ahli qiraat wafat, sedang tidak ada generasi setelahnya yang mau melestarikan dan mewarisi ilmu mereka. Secara otomatis, ilmu ini akan hilang seketika dari muka bumi, karena ilmu ini bersifat riwayat dan harus diajarkan melalui guru dengan jalur periwayatan yang jelas secara turun temurun sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang dan tidak bisa dikaji secara otodidak.



Kenyataan ini membuat beliau Simbah KH Muhammad Arwani Amin Kudus prihatin, sehingga beliau tergugah untuk menulis sebuah kitab tentang ilmu qiraat berjudul Faidh al-Barakat yang terdiri dari 3 jilid yang didesain untuk memudahkan para pemula agar ghirah belajar ilmu qiraat santri-santri nusantara tumbuh dan berkembang. Kitab ini merupakan catatan Kyai Arwani selama mengaji (talaqqi) ilmu qiraat dengan berpedoman kitab Hirz al-Amani karya Imam Syathibi kepada Simbah KH Muhammad Munawwir Krapyak Jogja yang telah diringkas dan disempurnakan agar mudah dipahami dan dipraktikkan semua kalangan.



Faidh al-Barakat berbeda dengan kitab-kitab qiraat lain karena dalam kitab ini dijelaskan bagaimana cara membaca al-quran dengan mengumpulkan bacaan tujuh imam dalam satu ayat (jama’ kubra) secara ringkas tanpa menyalahi aturan dalam ilmu qiraat. Dalam setiap ayat dalam kitab ini, terdapat penjelasan tentang kaidah-kaidah ilmu qiraat yang terkait, sehingga dalam hal ini kaidah atau teori bisa langsung dipraktikkan, mudah diingat-ingat, dan tidak membingungkan. Ibaratnya seperti menyuapi bayi, sesuap dikunyah, sesuap dikunyah, step by step agar mudah dicerna sampai akhirnya si bayi kenyang dan tumbuh kembang. Sebagai contoh, perhatikan gambar berikut:
Jika yang digunakan pedoman dalam talaqqi qiraat adalah kitab-kitab qiraat lain, maka membaca ayat إهدنا الصّراط المستقيم  kemungkinan bisa sampai tujuh (7 imam) atau bahkan empat belas (7 x 2 perawi) kali. Namun ketika menggunakan Faidh al-Barakat, ayat إهدنا الصّراط المستقيم cukup dibaca tiga kali dengan ragam bacaan berbeda. Ragam bacaan imam lain yang sama dengan ketiga ragam tersebut tidak perlu diulang lagi karena sudah masuk ke dalamnya. Perbedaan ketiga ragam bacaan itu terdapat dalam kata الصّراط. Ada yang membaca الصّراط dengan shad, ada yang membaca السّراط dengan sin, dan ada yang membaca الصّراط dengan mengisymamkan shod menjadi za’. Keterangan tentang kaidah semacam ini dalam Kitab Faidh al-Barakat bisa ditemukan di setiap ayat dengan ditandai sebuah kurung.
Tiga ragam bacaan yang berbeda dalam ayat tersebut jika dirinci, maka menjadi sebagai berikut:
(1)   Yang membaca إهدنا الصّراط المستقيم dengan shad ada 5 imam, yaitu: Imam Nafi’ (perawinya: Imam Warasy & Imam Qalun), Imam Abu ‘Amr (perawinya: Imam as-Susi & Imam ad-Durri), Imam Ibn ‘Amir (perawinya: Imam Hisyam & Ibn Dzakwan), Imam ‘Ashim imam bacaan kita (Perawinya: Imam Hafsh bin Sulaiman & Imam Syu’bah), dan Imam ‘Ali al-Kisaai (perawinya: Imam Abu al-Harits & Imam Hafsh ad-Durri).
(2)   Yang membaca إهدنا السّراط المستقيم dengan sin ada 1 imam, yaitu: Imam Ibn Katsir (perawinya: Imam al-Bizzi & Imam Qunbul).
(3)   Yang membaca إهدنا الصّراط المستقيم dengan mengisymamkan shad menjadi za’ ada 1 imam, yaitu: Imam Hamzah (perawinya: Imam Kholaf & Imam Khollad).
Jadi, secara keseluruhan setiap ayat dalam Kitab Faidh al-Barakat selalu mencakup 3 bagian, yaitu: ayat, urutan membaca, dan kaidah yang terkait. Dalam kitab lain, hanya dijelaskan tentang kaidah-kaidah qiraat secara umum (ushuliyyah) dan khusus (furu’iyyah). Tidak ada penjelasan khusus mengenai urutan bagaimana membaca ayat dengan ragam bacaan tujuh imam, dan juga tidak ada penggabungan ragam bacaan imam yang memiliki kesamaan menjadi satu. Jika dibandingkan dengan metode talaqqi qiraat yang terdapat dalam kitab lain, maka Kitab Faidh al-Barakat karya Kyai Arwani ini jauh lebih praktis dan menghemat waktu. Kendati demikian, baik kitab-kitab qiraat ulama dulu maupun Faidh al-Barakat pada dasarnya saling melengkapi. Kitab-kitab qiraat ulama terdahulu berisi kaidah-kaidah yang jelas dan rinci, sangat cocok bagi mereka yang hanya ingin mengetahui kaidah-kaidah ilmu qiraat tanpa talaqqi. Adapun Faidh al-Barakat yang berisi tutorial talaqqi ilmu qiraat, sangat cocok bagi mereka yang ingin mempraktikkan kaidah-kaidah qiraat ketika talaqqi qiraat kepada guru. Pelajar yang mencari kaidah qiraat di Faidh al-Barakat akan kesulitan mencarinya karena kaidah-kaidah qiraat tersebar di berbagai ayat. Begitupun sebaliknya, pelajar yang ingin talaqqi ilmu qiraat dengan menggunakan panduan kitab qiraat yang berisi teori saja akan kesulitan karena tidak ada panduan membaca qiraat secara praktis.
Selama Kyai Arwani hidup, kitab ini tidak pernah dipublikasikan. Jika ada murid beliau yang ingin talaqqi qiraat, maka beliau akan meminjamkan kitab beliau ini yang masih berupa catatan untuk ditulis ulang para murid kemudian dikembalikan lagi. Beliau juga menerapkan hal ini kepada Simbah KH Abdullah Salam saat Kyai Abdullah ingin mengaji qiraat kepada Kyai Arwani sekalipun beliau adalah besannya sendiri. Catatan talaqqi qiraat Kyai Abdullah masih ada dan disimpan oleh salah seorang putranya. Hal ini Kyai Arwani lakukan untuk membangun budaya literasi di kalangan santri, sebagaimana yang disinggung dalam mukaddimah Faidh al-Barakat, bahwa “ilmu adalah hewan buruan sedangkan tulisan adalah tali kekang :: ikatlah buruan-buruanmu dengan tali yang kencang”. Setelah beliau wafat, catatan beliau tentang tata-cara talaqqi qiraat secara mudah dan cepat akhirnya dipublikasikan dan dicetak oleh penerbit Mubarakatan Thoyyibah milik Yayasan Arwaniyyah Kudus. Atas jerih payah beliau inilah, kini ilmu qiraat menjadi lebih praktis dan mudah difahami, sehingga dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk talaqqi qiraat sampai khatam kepada guru. Dan sekarang, kitab Faidh al-Barakat ini menjadi kitab pegangan pokok sebagian besar santri yang mengaji dan talaqqi qiraat kepada guru di Indonesia. Geliat kajian qiraat di nusantara pun mulai sedikit kentara, dengan lahirnya beberapa kitab tentang ilmu qiraat yang ditulis oleh ulama nusantara setelah munculnya Faidh al-Barakat. Salah satunya adalah kitab yang ditulis oleh rektor IIQ Dr. Ahsin Sakho yang berjudul Manba' al-Barakat.
Pernah ada seorang teman penulis mengaji (talaqqi) qiraat dengan menggunakan Kitab Faidh al-Barakat. Suatu waktu, ia mendapat panggilan untuk melanjutkan kuliah s1 di al-Azhar Mesir. Belum sempat mengkhatamkan talaqqi-nya, ia pun berangkat ke Mesir. Sesampainya di sana, ia begitu ingin talaqqi qiraat lagi. Dan ketika hendak talaqqi kepada seorang syekh, ia kaget karena metode talaqqi yang diterapkan di Mesir berbeda dengan yang ada di Indonesia khususnya di Jawa. Di Mesir, ia harus menghafalkan Kitab Hirz al-Amani karya Imam Syathibi yang berisi bait-bait tentang kaidah ilmu qiraat terlebih dulu. Setelah hafal, ia tidak bisa langsung talaqqi sebagaimana yang dilakukannya ketika talaqqi di Indonesia, karena di sana tidak ada Kitab Faidh al-Barakat yang ditulis Kyai Arwani itu sehingga membutuhkan perjuangan yang keras dan waktu yang cukup lama.
Suatu ketika, Simbah KH Sya’roni Ahmadi besan Simbah KH Muhammad Arwani berziarah ke Mekkah & Madinah dengan membawa Kitab Faidh al-Barakat yang disusun Kyai Arwani. Ketika kitab itu ditunjukkan kepada para ulama qiraat Mekkah-Madinah, mereka takjub keheranan karena ada seorang ulama jawa (non arab) bisa menyusun karya fenomenal semacam itu. Hingga mereka pun berkata bahwa tidak lain yang menyusun kitab ini kecuali seorang muqri’ kabir (ahli ilmu qiraat yang kondang). Begitu besar dan agung jasa Kyai Arwani bagi umat, hingga seorang ulama Mesir Syekh Ahmad Yasin Muhammad Abdul Muththalib membuatkan sebuah kasidah tentang beliau:
بشراك يا طالبا للعلم من قدس :: فزتم بقرب إلى الرّحمن بالأروان
من يضحى في قربهم زمنا ولو يوما :: يرجع إلى أهله بالقلب ريّان
العيش في حيّهم فضل وتكرمة :: من ذي الجلال الّذي بالفضل أولان
Betapa bahagianya para pencari ilmu dari Kudus :: Beruntung bisa dekat Sang Rahman dengan Kyai Arwani
Siapa saja yang berada sezaman di dekatnya meski hanya sehari :: Akan pulang ke keluarganya dengan hati berseri-seri
Hidup bersama mereka adalah anugerah dan kemulyaan :: Dari Sang Pemilik Keagungan yang telah memberiku anugerah tiada terperi (karena jumpa dengan Kyai Arwani)
Kita harus bersyukur menjadi seorang muslim nusantara, karena di sini begitu banyak ulama yang berbelas-kasih kepada umat dengan menyusun kitab-kitab dalam berbagai disiplin keilmuan yang memudahkan umat untuk mengkaji dan memperdalam ilmu-ilmu agama, atas rahmat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kam taraka al-awwal lil-akhir, betapa banyak yang ditinggalkan para pendahulu untuk generasi penerus, namun betapa sedikit yang mau menjaga, melestarikan dan mengurus. Semoga kita termasuk yang sedikit, yang mampu melestarikan dan menjaga warisan para ulama nusantara yang jumlahnya tidak sedikit.

Kajen, 28 Juni 2015.
Ditulis oleh pemerhati ilmu qiraat, santri PP Mathali’ul Huda Pusat Kajen, alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah & STAI Mathali’ul Falah.

Bahan Bacaan:
KH Muhammad Arwani Amin, Faidh al-Barakat.
Al-Imam Mujahid, Kitab as-Sab’ah.
Al-Imam Abu ‘Amr ad-Dani, at-Taysir fi Qiraat as-Sab’.
Al-Imam Abu Qasim asy-Syathibi, Hirz al-Amani wa Wajh at-Tihani.
Al-Imam Muhammad al-Jazari, an-Nasyr fi Qiraat al-‘Asyr.
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqaan fi ‘Ulum al-Quran.
Al-Imam Muslim, Shahih Muslim.

Sumber Verbal:
KH Abdurrozzaq Najib, alumnus PP Yanbu’ul Quran pengajar Qiraat as-Sab’ di Kajen.
Nashifuddin Luthfi, alumnus PP Mathali’ul Huda al-Kautsar mahasiswa Universitas al-Azhar Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar