Rabu, 28 Oktober 2015

Petuah Fatihah (Sebuah Cerpen)



“Petuah Fatichah[1]
Oleh: Sahal Japara

“Badhe nderek ngaos Kyai.”[2]
Kataku lirih ketika mengawali pembicaraan sewaktu sowan Kyai Zen agar aku diterima menjadi murid beliau.
“Heee?”[3]
Tanya beliau kepadaku agar aku mengulangi ucapanku lebih jelas.
“Enggeh Kyai, Dalem kepengen nderek ngaos kaleh Kyai.”[4]
Kuangkat suara sedikit keras terselip nada-nada gemetar menghadap kewibawaan beliau yang membuat setiap orang tak kuasa memandang dengan mata telanjang. Dihadapan beliau, wajah-wajah selalu tertunduk takluk laksana padi-padian yang merunduk ketika hujan menimpa.
“Wani opo kowe?”[5]
Tanpa disangka-sangka pertanyaan beliau ini muncul mengemuka. Aku pun bingung tiada tanggung.
“Daaa... daalem... mboten wantun nopo-nopo Kyai. Dalem ndereaken Kyai mawon.”[6]
Terbata-bata seberat baja lisan ini berkata.
“Yowes, sok Malem Rebo mulai Fatichah.”[7]
“Enggeh Kyai. Matur sembah nuwun, pangestunipun.”[8]
Meminta diri sambil mengecup asta beliau. Sungguh lega hati tiada terperi. Tak semua orang yang ingin mengaji kepada beliau diterimanya. Begitu ketar-ketir hatiku karena takut ditolak, sampai-sampai aku bernadzar jikalau diterima mengaji ber-musafahah kepada beliau, aku akan khataman al-Quran satu kali. Alhamdulillah Ya Allah….

Malam Rabu
Sepadat ini yang mengantri ngaji kepada beliau. Begitu panjang, berdesak-sesak ibarat sebutir gula yang dikerubung beribu semut. Malam Rabu memang tidak seperti malam-malam yang lain. Banyak yang percaya bahwa memulai ngaji dan belajar pada Malam Rabu itu membawa berkah tersendiri, berdasarkan sabda Nabi SAW bahwa Allah mentitah-ciptakan cahaya atau nur pada Hari Rabu. Lama sekali aku menanti, akhirnya datang juga giliranku menghadap beliau untuk mengaji.
A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm….
“Darrrrr…”
Meja berbunyi pertanda beliau menyalahkanku. Kuulangi lagi.
A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm….
Disalahkan lagi sampai tiga kali, baru beliau sendiri yang membenarkan.
“Aaaa... Mangap seng ombo!!! Nek ngaji seng niat!!! Ojo klemar-klemer!!!”[9]
Bentak beliau. Nderedeg atiku. Nderodog awakku.Meski begitu, akhirnya aku mampu menyelesaikan tujuh ayat keramat Ibu semesta surat dalam al-Quran itu. Dan tak kurang ada dua puluh ketukan meja untukku. Selamat, Alhamdulillah selamat. Berarti besok, aku sudah bisa langsung meneruskan Surat al-Baqarah, membaca alif laam miim. Alhamdulillah.

Malam Kamis
Karena masih baru, memang kusengaja mengaji agak akhir agar jika memang aku salah ketika membaca, Kyai Zen benar-benar mengetahui dan membenarkan. Jika aku mengaji awal atau pada pertengahan, maka hal itu sangat sulit terjadi mengingat yang mengaji kepada beliau sangatlah banyak. Lama menanti, hingga tibalah giliranku mengaji. Al-Baqarah aku mulai.
Alif laaam miiim….”
“Darrr... darrr... darrr...”
Asta Kyai Zen memukul meja pertanda bacaanku yang salah.Kuulangi lagi.
alif laaam miiim….”
“Eee..eee.. eee.. Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!!”[10]
Tratap-tratap hatiku rasanya mendengar pangendikan beliau yang memang terkesan mbentak. Beliau itu memang terkenal galak dan sangat kereng ketika mengajar. Menurut beliau, mengajar itu harus sungguh-sungguh, begitu pula dengan belajar. Karena hubungan serta ikatan antara guru dan murid yang belajar al-Quran itu bukan cuma di dunia saja, melainkan sampai akhirat sana. Hanya mengaji al-Quran inilah yang ittishal sampai kepada Rasulullah SAW secara mutawatir dan muttafaq ‘alaih. Itulah alasan mengapa Kyai Zen sangat galak ketika mengajar. Seperti yang sering beliau dengungkan, beliau berusaha untuk ngrumat barang keramat agar keramut dan tidak keremet.[11]
Akhirnya aku ulangi lagi surat itu, al-Fatichah. Iya, surat pembuka dalam al-Quran itu. Baru pembuka! Meja berkali-kali bersuara seperti suara seorang tukang kayu yang sedang giat membenah-pukuli almari yang sedang rusak. Berkali-kali ia pukuli, berkali-kali pula suara itu muncul dari almari. Bukan apa-apa, tukang kayu itu hanya ingin almari rusak yang sedang ia benahi itu layak dipakai.
Setelah mengaji, pangendikan Kyai Zen tadi begitu menggema penuh bahana dalam hati. Padahal beliau ngendikan cuma sekali, tapi entah kenapa rasa-rasanya kata-kata itu berkali-kali terngiang-ngiang di telinga.
“Eee.. eee.. eee.. Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!! Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!! Fatichah wae durung iso kok ape ngaleh jen. Baleni!!!”

Hari-hari berikutnya
Beberapa hari ini aku sibuk memikirkan, atau tepatnya mbathek kenapa beliau belum juga mengizinkanku berpindah surat al-Baqarah. Padahal bacaanku sudah ku-tashhih-kan tajwidnya kepada Kang Ridho, murid kesayangan Kyai Zen itu. Dan ketika mengaji pun sudah jarang-jarang Kyai Zen menggedor meja. Paling-paling hanya satu-dua kali. Sudah dua minggu lamanya semenjak ngaji pertama kali. Aku masih terpaku pada Fatichah. Semakin hari bertambah, semakin pikiranku tiada menentu arah.
“Sebenarnya letak kesalahanku dimana???”
Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dari sisi makhraj, Kang Ridho sudah berkata bagus. Ngajiku juga sudah pelan-pelan. Ah sudahlah. Aku sudah benar-benar lelah!!!
Keesokan harinya, sepulang nderes dari masjid, di jalan aku melihat anak kecil yang begitu inginnya membuka toples seng berisikan jajan. Begitu rapatnya tutup itu, sampai-sampai dia kesulitan untuk membuka. Dia putar-putar, lagi dan lagi, masih saja tidak bisa. Dia congkeli tutup itu dengan apa saja yang menurutnya memungkinkan, tetap saja tutup toples itu terlalu kuat baginya. Lalu kudekati anak itu.
“Sini Dek, tak bukakan.”
Tawarku padanya. Anak kecil itu menolak sambil ngotot.
“Nggak! Aku sudah bisa sendiri Kang!”
Ditarik-tariknya tutup toples itu sekuat tenaga.
“Arrrrgggggghhhh…” dan akhirnya terbuka.
“Hem, bisa kan Kang?”
Kejadian itu sungguh berkesan bagiku, dan memberiku pelajaran tentang banyak hal. Bahwa aku sama sekali tidak boleh berputus asa! Aku tak boleh menyerah! Sampai kapanpun! Sampai aku benar-benar bisa membuka jalan untukku dengan mengerahkan segala yang kumampu.



Malam Kamis (Minggu Ketiga)
Sudah terhitung 23 hari semenjak pertama kali ngaji kepada Kyai Zen, jen-ku masih saja tidak berpindah. Masih saja Al-Fatichah! Namun malam ini akan kucoba lagi untuk ke-sekian kali. Aku tak boleh menyerah. Fatichah selesai kubaca, dan beliau hanya terdiam. Dalam hati aku berkata, oh berarti ini sudah tidak ada salahnya. Saatnya berpindah al-Baqarah. Langsung saja kubaca.
alif laaam miiim….”
“Darrr.. darrr.. darrr.. angger pindah sak karepmu dewe, masamu Quran iku dolanan? Sak enake dewe! Fatichah wae durung iso kok njaluk pindah! Wis-wis, sinau ndisek!”[12]
Deggggggg rasanya. Oh aku ini. Betapa bodohnya. Begitu cerobohnya. Fatichah saja belum bisa, kok minta dipindah. Benar-benar tanpa aturan. Aku hanya bisa mundur teratur. Saking gugupnya, aku lupa tidak mengecup asta Kyai Zen setelah ngaji tadi. Entah bagaimana diriku ini. Merasa bisa, tapi tak bisa merasa. Inginnya cepat-cepat dipindah saja, tanpa pikir panjang tentang apa yang berulang-ulang kali aku baca.
Sak kuarepmu dewe, sak enakmu dewe, masamu Quran iku dolanan???
Ohhh aku, rasa tertusuk, kepala tertunduk. Mengehela nafas dalam-dalam, merasa kata-kata itu begitu menghujam, kubiarkan mata ini benar-benar terpejam.
Hufhh.. aku tak kuat Ya Allah, kuatkan aku. Aku lemah Ya Allah, beri daya aku. Aku gelisah Ya Allah, tenangkan aku. Aku tak tahu harus bagaimana, Ya Allah tuntun aku. Sungguh aku tak bisa melihat tanpa penglihatan-Mu. Aku tak bisa berjalan, jika Kau tinggalkan. Allah.. Allah.. Allah..
“Cung… Cung... reneo tak kandani!”[13]
Dari kejauhan Kyai Zen tampaknya memanggilku.
“Dalem Kyai, pripun Kyai?”[14]
Langsung saja aku mendekati beliau yang tampak wajahnya begitu berbinar-sinar, sembari memasang sepenuh-utuh telinga agar tak ada satu huruf pun dari ucapan beliau yang terlewatkan.
“Nek ngaji seng panteng yo Cungg...penting pantang pontang panting!”[15]
Tiba-tiba beliau mengeluarkan sesuatu dan diberikannya padaku.
“Iki, tak titipi kunci.Aku njaluk tulung temenanan karo kowe. Rumatono, dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore. Sopo temen bakal tinemu.Sopo mantep bakal antep.Sopo ngrumat bakal keramut.”[16]
Tiba-tiba terdengar suara adzan subuh mengemparkan seluruh alam. Aku terbangun kaget, dan maasyaaAllah. Ternyata aku bermimpi. Padahal cuma mimpi, tapi nampak sangat jelas sekali Kyai Zen memberiku kunci. Dan kunci itu? Ah, ternyata sudah hilang dari genggaman. Apa maksud Kyai Zen memberiku kunci yang harus kurawat baik-baik dan kupegang erat-erat? Kunci apakah itu? Duh, Kyai Zen… Dalem nyuwun pangapunten.
Setelah subuh, masih teringat lekat-rekat kata-kata Kyai Zen setelah ngaji tadi malam dan dalam mimpi tadi. Iya, aku harus belajar dulu. Aku mencoba untuk membuka-buka kitab hadits yang dulu pernah aku beli namun tak pernah kubaca sama sekali, mencari-cari siapa sebenarnya Fatichah ini yang membuatku terpayah-payah berhari-hari. Ada sebuah petuah dari Kanjeng Rasul, berupa hadits qudsi yang membuatku terkesima. Kurang lebih isinya begini.
Setiap kali seorang hamba membaca al-Fatichah dalam shalat, setiap kali itu pula Tuhan  pasti selalu menjawab. Selalu ada dialog antara hamba dan Tuhan, baik hamba itu sadar ataupun tidak.
Ketika hamba berucap.
“Alhamdulillahirabbil’alamin.”
Tuhan menjawab.
“Oh ini hambaku telah memujiku, maka akan kutambahkan nikmatKu kepadanya.
Ketika hamba berucap.
“Arrahmanirrahim.”
Tuhan menjawab.
“Dia telah mengakui bahwa Aku adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka akan selalu Kukasihani dan Kusayang dia.”
Ketika hamba berucap.
“Malikiyaumiddin.”
Tuhan menjawab.
“Dia telah mengakui bahwa Aku-lah Penguasa pada hari kiamat, maka akan kuampuni seluruh dosa-dosanya pada hari itu.”
Ketika hamba berucap.
“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu.”
Tuhan menjawab.
“Dia telah mengakui bahwa hanya kepadaKu ia menyembah dan hanya kepadaKu ia memohon pertolongan, maka akan selalu kuberinya pertolonganKu.”
Ketika hamba berucap.
“Ihdinashshirathalmustaqim... Shirathalladzina an’amta ‘alayhim ghairil maghdhubi ‘alayhim waladh dhallin.”
Tuhan menjawab.
“Akan Kuberinya segala apa yang diminta.”
Hadits-hadits Kanjeng Rasul yang kubacai itu bagaikan untaian mutiara. Seakan-akan kudengar secara langsung beliau berpetuah padaku.
Fatichah itu ummul kitab, ibu dari segala kitab. Kau tahu bagaimana kedudukan seorang ibu di hadapan anak-anaknya? Semua anak-anak, semua surat bersujud kepadanya karena surga mereka berada di bawah telapak kakinya.
Ia merupakan kunci. Kau tahu apa guna kunci? Ia mampu membuka segala pintu kebaikan, sekaligus mampu menutup dan mengunci rapat-rapat segala pintu keburukan. Oh apakah ini maksud Kyai Zen memberiku kunci di dalam mimpi?
Kau tahu? Dialah yang turunnya diantarkan beribu-ribu malaikat untuk diberikan khusus hanya kepada ummat Muhammad. Kau tahu mengapa dia yang datang belakangan justru ditempatkan di barisan paling depan? Tingginya kedudukan-lah yang membuatnya demikian. Sebagaimana halnya seorang presiden yang sering datang belakangan, ia akan tetap selalu dipersilahkan duduk di barisan paling depan. Kau tahu? Dialah tujuh ayat keramat yang harus dibaca ketika seorang hamba sedang menghadap Tuhannya. Tanpanya, segala yang dilakukan hamba ketika menghadap Tuhannya tak akan ada artinya, takkan ada artinya sama sekali!
Ohh… begitu sejuknya kumpulan petuah Baginda Rasul SAW ini tentang Fatichah, sesejuk tetes embun di pagi hari ini. Ya Allah, terima kasih telah Engkau tunjukkan hamba jalan. Aku sangat percaya bahwa Engkau takkan membiarkan hambaMu ini tersesat dalam menempuh jalanMu. Bimbinglah aku, dan tuntunlah. Karena aku benar-benar buta dan berjalan pun aku tak kuasa jika dalam diriku Engkau tiada.
Setelah membaca petuah Baginda Rasul SAW itu, ketika aku membaca Fatichah, sering kali aku rasakan, seakan-akan Tuhan  benar-benar memberikan jawaban atas apa yang kubaca. Seakan-akan aku mendengar suara Tuhan, dan rasa-rasanya aku benar-benar berdialog dengan Tuhan.Semenjak itu, aku tak peduli apakah ketika ngaji nanti, aku dipindah jen-ku atau tidak. Karena aku benar-benar menikmati Fatichah ini, meskipun aku belum begitu faham secara mendalam dan mengerti secara pasti.
Beberapa hari ini, ketika aku membaca Fatichah di hadapan Kyai Zen, aku benar-benar merasakan kelezatan tiada tara, yang rasa-rasanya aku tak ingin berpindah darinya. Sungguh aku tak ingin berpaling dari ibu sekalian surat ini. Malah terfikir olehku, tak usah naik jen saja biar aku bisa selalu bersama Fatichah.
Berhari-hari, aku sangat menikmati ngajiku ini. Nampak olehku pula perubahan raut muka Kyai Zen yang dulunya agak masam ketika awal-awal aku mengaji, sekarang menjadi cerah menyimpan secercah senyum merekah. Sampai genap empat puluh hari terhitung mulai pertama kali ngaji, aku masih saja setia pada Fatichah yang sering dianggap enteng dan sepele banyak orang.

Malam Ke-41
Seperti biasa, aku menyetorkan Surat al-Fatichah di hadapan Kyai Zen.Sudah 40 hari lamanya aku bergelut dengannya. Aku begitu mengenalnya, huruf-hurufnya, makhraj-makhrajnya, wakaf-wakafnya, karakteristiknya, sampai makna dan berbagai tafsirnya. Itu baru Fatichah, dan itu pun baru sedikit, sangat sangat sedikit pengetahuanku tentangnya. Akan tetapi yang sangat sedikit itu telah mampu membuka segala ketenangan sehingga bersemayam dalam-dalam dalam hati yang terdalam.
Aku mulai membacanya. Begitu nikmat, begitu khidmat. Benar-benar aku merasakan Fatichah-ku dijawab Tuhan. Sampai “ihdinashshirathal mustaqim”, tak terasa bulir-bulir mata air yang sudah lama tak pernah memancar ini, tiba-tiba saja mengucur sangat deras dan tak terbendung. Mata air itu menarik dadaku sedemikian kencangnya hingga nafasku tersengal-sengal dan seakan-akan aku membaca tanpa suara. “Aaamin” nyaris tiada terdengar kecuali olehku, dan barangkali sedikit oleh Kyai Zen. Mataku terpejam sembari menunduk. Tak berani membuka apalagi mendongakkan muka. Tiba-tiba terdengar olehku.
“Wis, wis, wis… wis cukup Cunggg… mulai sesuk pindah al-Baqarah…”[17]
Kubuka mata perlahan. Sedikit menatap wajah beliau. MaasyaAllah! Beliau berlinang air mata. Kukecup asta beliau cukup lama sampai ikut basah oleh mata dan hidungku. Dalam hati aku berkata.
“Nyuwun pangapunten Kyai, dalem nyuwun agunging pangapunten. Nyuwun tambahing samudero pangestu kersane ngajine kulo niki panteng, penting pantang pontang panting…”[18]

PMH Pusat Kajen, Lupa tanggal


[1] Cerpen ini diikutkan lomba cerpen santri Kajen pada Bulan Muharram 1436, dan mendapatkan juara II lomba cerpen santri Kajen. Pernah dibedah di MA Darul Falah Cluwak Pati pada 28 Februari 2015.
[2]Ingin ikut ngaji Kyai.
[3]Apa?
[4]Iya Kyai, saya ingin ikut ngaji dengan Kyai.
[5]Berani apa kamu?
[6]Saya tidak berani apa-apa Kyai. Saya ngikut Kyai saja.
[7]Ya sudah, besok Malam Rabu mulai ngaji Fatichah.
[8]Iya Kyai, terima kasih banyak. Mohon doa restu.
[9]Aaaa... buka mulut yang lebar! Kalau ngaji itu yang serius! Jangan loyo begitu!
[10]Eh eh eh... Fatichah saja belum bisa kok mau langsung pindah sendiri? Ulangi lagi!
[11]Merawat perkara keramat (al-Quran) supaya keramut (mendapatkan syafaatnya) dan tidak keremet (celaka)
[12]Darrr.. darrr.. darrr.. pindah seenaknya sendiri, kau kira al-Quran itu mainan? Semaumu sendiri saja! Fatichah saja belum bisa kok minta dipindah! Sudah-sudah belajar dulu sana!
[13]Nak.. nak.. kesini, tak beritahu.
[14]Iya Kyai, ada apa Kyai?
[15]Kalau ngaji yang serius ya nak, yang penting jangan pernah goyah.
[16]Ini saya titipi kunci. Tolong dirawat baik-baik untuk kehidupan nanti. Siapa bersungguh-sungguh ia akan mendapatkan apa yang diinginkan. Siapa yakin ia akan mendapatkan kemuliaan. Siapa mau merawat akan dapat syafaat.
[17]Sudah.. sudah.. sudah cukup nak... mulai besok pindah Surat al-Baqarah.
[18]Mohon maaf Kyai... saya benar-benar memohon maaf... saya mohon doa restu agar ngaji saya bisa lurus dan istiqomah, yang penting tetap dan tak pernah goyah...

1 komentar: