Rabu, 28 Oktober 2015

Kuku Kuku Panjang (Sebuah Cerpen)



Kuku-Kuku Panjang[1]
Oleh: Sahal Japara

          Sudah bertahun-tahun Kang[2] Sabar meninggalkan kampung halaman. Sejak lulus SD hingga sekarang di usia 35 tahun, ia masih setia mondok[3] di pesantren Mbah[4] Hikam. Berbagai kitab telah dikhatamkannya. Sekolah baik yang formal maupun nonformal telah ditamatkannya. Ibarat makanan, Kang Sabar adalah santri yang sudah matang yang siap untuk dihidang-tejunkan ke masyarakat. Tetapi karena satu alasan, ia enggan meninggalkan pesantren Mbah Hikam. Satu persatu teman seangkatan Kang Sabar sudah pada boyong[5]. Hanya tinggal Kang Sabar saja yang masih tersisa. Sampai-sampai santri-santri Mbah Hikam memanggilnya “Eyang Sabar” karena usia mondoknya yang sudah begitu lama.
          “Bar, lho masih di sini ta? Tak kira sudah boyong! Hehehe.”
          Kapit teman seangkatan Kang Sabar terkejut melihat temannya itu masih ngoyot[6] di pesantren.
          “Iya Pit, ada kabar apa kok tumben main ke pondok?”
          “Ini lho mau sowan Mbah Hikam. Ngaturi beliau agar bersedia mengakadkanku.”
          “Owh, udah mau nikah ta? Kapan?”
          Tanya Kang Sabar kecut. Seakan tak rela teman seangkatannya itu nikah duluan.
          “Minggu depan insyaallah Bar. Datang ya? Awas kalau nggak datang, tak doain nggak laku-laku, hehehe...”
          Canda Kapit. Meskipun candanya dibumbui tawa, bagi Kang Sabar tetap terasa nyelekit.
          “Insyaallah Pit, he...”
          Jawab Kang Sabar. Wajahnya dihiasi senyum yang terkesan dipaksakan untuk membahagiakan teman seangkatannya yang sedang berbunga-bunga lantaran sebentar lagi akan melepas masa lajangnya. Asal teman-teman bahagia, Kang Sabar rela memendam duka lara. Bukan cuma sekali dua kali Kang Sabar dihadapkan kenyataan bahwa satu persatu teman-teman seangkatannya telah boyong dan menikah. Boyong berarti meninggalkan Kang Sabar sebatang kara tanpa teman seusia di pesantren, dan menikah berarti meninggalkan Kang Sabar semata wayang dalam kejombloan. Terkadang, Kang Sabar merasa bahwa nikah adalah benar-benar merupakan sebuah pemutus tali persahabatan yang nyata. Bagaimana tidak? Jika ada teman yang menikah, ia merasa kehilangan teman yang satu status dengannya yaitu: jomblo! Perasaan semacam ini selalu muncul pada saat musim-musim nikah kembali tiba seperti bulan besar[7] yang kata orang-orang Jawa wayahe mbeber telasar[8]. Kendati merasa kecut dengan kenyataan yang dialaminya, Kang Sabar tetap tegar dan ia pun berkenan datang ke acara pernikahan Kapit teman seangkatannya itu.
          Kang Sabar datang tepat waktu. Ia tidak duduk di kursi bagian depan, untuk menjaga diri agar tidak sawanen[9]. Dilihatnya dari kejauhan, kedua mempelai  saling menabur tawa bahagia di atas panggung. Kang Sabar merasa iba pada diri sendiri karena belum juga bertemu belahan jiwanya. Entah kapan ia bisa menikmati momen-momen bahagia seperti itu. Inilah alasan mengapa Kang Sabar masih memilih tinggal di pesantren Mbah Hikam. Sebenarnya Kang Sabar sudah pernah beberapa kali dijodohkan, namun selalu gagal. Alasannya sama, hanya gara-gara Kang Sabar adalah santri ndeso yang klumprut[10] dan tidak punya pekerjaan.  
          “Sabar!”
          Seseorang memanggil Kang Sabar dan menepuk punggungnya. Ia menoleh. Didapatinya sosok lelaki yang sangat ia kenal bersama dengan seorang perempuan.
          “Slamet!”
          Kang Sabar terkejut bukan kepalang. Ia memekikkan nama teman lamanya yang sudah sekian tahun tak pernah bertemu yang juga seangkatan dengannya dan Kapit, Slamet!
          “Istrimu itu?”
          Tanya Kang Sabar sembari menunjuk perempuan di samping Slamet.
          “Iya lah!”
          “Nikah kok nggak ngundang-undang sih Met?”
          Kang Sabar menegur sambil menelan ludah. Dalam hati, ia merasa ngenes. Bukan karena Slamet tak mengundangnya dalam acara pernikahannya, tetapi karena Kang Sabar meratapi nasibnya mengapa hanya dia yang masih menjomblo hingga sekarang.
          “Nggak rame-rame kok Bar. Lha kamu kapan? Hehehe...”
          Pertanyaan yang bagai petir di siang bolong tanpa awan dan tanpa mendung, menyambar-nyambar hati seorang jomblo ngenes, galau dan hambar.
          “Aku? Owh, aku masih ngaji kok Met. Belum rampung. Jadi belum kepikiran nikah.”
          Dalih Kang Sabar mencoba membohongi perasaannya. Apa yang dikatakannya belum kepikiran justru akhir-akhir ini selalu memenuhi pikirannya.
          “Kalau ngaji ya gak ada rampungnya Bar. Oiya, perkenalkan ini istriku Farida.”
          Perempuan yang duduk di samping Slamet itu melempar senyum kepada Kang Sabar. Sungguh, tega benar Slamet. Maksud baik memperkenalkan istrinya malah jadi bom nuklir yang menghancur-leburkan hati sahabatnya itu menjadi berkeping-keping. Dalam hati Kang Sabar nggrundel.[11] Mentang-mentang sudah nikah, aku kau iming-imingi istrimu yang cantik itu. Tunggu pembalasanku Met! Akan kucari istri yang jauh lebih cantik 10 kali lipat dari istrimu, dan kelak akan kupamerkan padamu. Tunggu saja!
          “Sabar!”
          Tukas Kang Sabar memperkenalkan diri kepada Farida istri Slamet itu sembari mengulumkan senyum dingin.
          Acara pernikahan sahabat yang seharusnya menjadi momen bahagia malah membuat hati Kang Sabar kemrungsung[12] seperti air mendidih yang dikompor-kompori api. Ia seakan sudah tak sabar lagi ingin lekas dipertemukan jodohnya agar kemana-mana tak ada yang meledek. Cara apapun ia tempuh asal Tuhan segera mengabulkan keinginannya.
          Suatu hari, Kang Sabar sowan[13] ke kediaman seseorang yang biasa dipanggil Ki Jadug[14]. Ki Jadug terkenal mempunyai segudang wirid[15] yang mujarab. Sudah banyak orang yang sowan ke kediaman Ki Jadug dengan membawa berbagai masalah, dan ndilalah selalu pupus dengan wirid-wirid yang beliau ijazahkan[16]. Sebenarnya Mbah Hikam pengasuh pesantren yang ditempati Kang Sabar juga gudangnya wirid dan ijazah. Tetapi Mbah Hikam terbilang kyai yang sangat sulit dan sangat pelit jika dimintai ijazah wirid. Bukan apa-apa, Mbah Hikam hanya menjaga kehati-hatian agar tidak mengijazahkan wirid kepada orang yang salah. Karena setiap wirid ada takarannya. Dan wadah setiap orang tentu berbeda-beda. Karena alasan itulah, Kang Sabar lebih memilih sowan Ki Jadug daripada Mbah Hikam sekalipun beliau adalah pengasuh pesantrennya sendiri.
          “Ada perlu apa Le[17]?”
          Tanya Ki Jadug saat Kang Sabar bertamu di rumahnya.
          “Begini Ki. Umur saya sudah hampir 36 tahun tetapi masih belum laku-laku. Mbok saya dikasih ijazah wirid biar cepat laku Ki.”
          “Oh begitu? Ya sebentar.”
          Ki Jadug masuk ke dalam kamar pribadinya untuk mengambil sesuatu. Kemudian ia keluar dengan membawa sobekan kertas kecil berisi ijazah yang ditulis dengan tangannya sendiri.
          “Ini lho!”
          Sobekan kertas kecil itu diberikannya kepada Kang Sabar. Kang Sabar pun menerimanya dengan hati lega penuh harapan, seakan-akan jodoh sudah ada di depan matanya.
          “Saya bacakan, nanti ditirukan! Robbi laa tadzarnii fardan waanta khairul waaritsiin...[18]
          Ki Jadug  merapalkan ijazah. Kang Sabar menirukan.
          Robbi laa tadzarnii fardan waanta khairul waaritsiin...”
          “Ini doa Nabi Zakarya. Dibaca 313 kali setiap bakda shalat sampai empat puluh hari tidak boleh putus-putus. Kalau putus harus mengulangi dari awal lagi!”
          Wejang Ki Jadug kepada Kang Sabar.
          Ha? Dibaca 313 kali setiap salat 5 waktu sampai 40 hari dan tidak boleh putus? Luar biasa berat! Apalagi bagiku yang tak pernah mengamalkan wirid-wirid khusus semacam itu. Hmmmh, tapi tak apalah, cari jodoh juga butuh perjuangan. Siapa tahu benar-benar manjur dan mujarrab. Keluh Kang Sabar dalam hati.
          Bismillah, robbi laa tadzarnii fardan waanta khairul waaritsiin... ijazah wirid doa Nabi Zakarya yang diberikan Ki Jadug mulai diamalkan Kang Sabar. Butuh waktu sekitar 20 menitan untuk menyelesaikan wirid yang diberikan Ki Jadug itu. Awalnya Kang Sabar merasa berat, tetapi perlahan-lahan karena dibaca terus-menerus akhirnya pun terasa ringan. Melihat Kang Sabar yang wiridan lebih lama dari biasanya setiap bakda shalat maktubah, santri-santri Mbah Hikam saling mengumpat bertanya-tanya keheranan.
          “Eh, Eyang Sabar itu sedang mengamalkan apa sih kok tumben wiridannya lama banget?”
          Tanya salah seorang santri kepada temannya saat menunggu Kang Sabar untuk makan bersama. Keduanya adalah teman sekamar dan juga teman makan senampan Kang Sabar yang dari segi usia terpaut cukup jauh darinya. Mereka sedari tadi menunggu seniornya itu yang belum juga beranjak dari sajadah shalatnya. Mereka enggan untuk mengganggu dan lebih memilih untuk sabar menanti meski dengan sedikit umpatan dalam hati.
Kendati banyak yang penasaran dengan apa yang sedang diamalkan Kang Sabar, tak ada satu pun santri yang berani bertanya kepada Kang Sabar. Yang ada hanya sebatas desas-desus yang terjadi di kalangan mereka. Sebentar kemudian, desas-desus itu berlalu seperti angin yang menyapu debu-debu. Kang Sabar masih istiqomah menjalankan amalan yang diberikan Ki Jadug itu. Sudah hampir empat puluh hari, namun tanda-tanda bahwa jodohnya sudah dekat tidak nampak sama sekali. Ia mulai ragu dengan ijazah wirid yang diberikan Ki Jadug, lalu menggerutu kepada Tuhannya.
“Ya Allah, bukankah Engkau berjanji bahwa siapapun yang berdoa kepadaMu pasti akan Kau kabulkan, tetapi mengapa tak kunjung Kau kabulkan doa-doaku? Bukankah Engkau tak pernah mengingkari janj-janjiMu? Apakah aku terlalu banyak dosa, ataukah kurang sungguh-sungguh dalam berdoa? Apakah aku belum pantas menerima jawabanMu atas segala permintaanku? Umurku sudah hampir 36 ya Allah, semua temanku sudah menikah dan hanya diriku yang belum laku-laku, apa Engkau tega melihat hambaMu menanggung malu? Diledek orang-orang dengan pertanyaan-pertanyaan dan canda-lawakan yang selalu mengkerdilkanku? Aku sudah berusaha sebisaku ya Allah. Aku hanya ingin menyempurnakan agamaku dan keluar dari segala fitnah, cercaan, ejekan dan ledekan yang terus menerus menderaku ya Allah. Aku sudah capek dengan semua ini ya Allaaah.....”
Malam itu, Kang Sabar bermimpi. Saat sedang berdzikir mengamalkan wirid dari kyai jadug, tiba-tiba Mbah Hikam ada di hadapannya. Seketika Kang Sabar kaget karena mendapati pengasuh pesantrennya itu muncul secara tiba-tiba.
Sambil menuding ke arah tangan Kang Sabar yang masih memutar tasbih, Mbah Hikam berteriak membentak Kang Sabar.
“Itu, potong kukumu! Atau tak kuanggap sebagai santriku!”
Mbah Hikam yang pemurah senyum dan terkenal lembut tuturkatanya itu dalam mimpi Kang Sabar berbalik 180 derajat. Wajahnya merah padam terbakar amarah. Suaranya keras-beringas seperti malaikat penjaga neraka yang sedang menghardik penghuninya. Seketika Kang Sabar kaget sekaget-kagetnya hingga terbangun dari alam mimpi.
“Astaghfirullahal’adzim... hufh, hufh, hufh...”
Kang Sabar beristighfar. Nafasnya terengah-engah. Rasa-rasanya mimpi itu begitu nyata. Rasa takut yang sangat karena kemarahan yang muncul dari seorang kyai lembut pemurah senyum itu masih mengepung hatinya. Mbah Hikam tak pernah marah sedahsyat itu. Kang Sabar masih tak percaya. Dilihatnya jemari tangan kanan dan kiri. Tak ada satu pun kuku yang panjang. Seingatnya baru kemarin Kang Sabar memotong kuku-kukunya, tetapi mengapa Mbah Hikam memerintahnya untuk memotong kuku. Sampai-sampai Mbah Hikam mengancam kalau Kang Sabar tidak mau memotong kukunya, maka beliau tidak akan mengakui Kang Sabar sebagai santrinya. Kang Sabar masih kebingungan menangkap maksud dari mimpi yang baru saja dialaminya itu. Disuruh memotong kuku, tetapi tak ada satu pun kuku yang panjang. Aneh!
“Astaghfirullahal’adzim, apa maksudnya ini ya Allah?”
Kang Sabar melepas-bebaskan fikirannya untuk mencari-cari makna dari mimpi yang baru saja terjadi. Diingat-ingatnya segala kejadian yang telah dilaluinya. Pada mulanya bertemu Kapit dan diberi undangan pernikahan, kemudian menghadiri pernikahan Kapit dan bertemu Slamet dan istrinya hingga keinginannya untuk menikah membuncah dan memuncak-muncak, kemudian sowan kyai jadug karena tidak sabar dengan keinginannya dan diberi sebuah wirid agar cepat-cepat mendapatkan jodoh, dan yang terakhir dimarahi Mbah Hikam habis-habisan dalam mimpi padahal Mbah Hikam bukan kyai yang suka marah-marah.
“Apa gara-gara keinginanku yang menggebu sehingga aku meminta ijazah Ki Jadug lantas Mbah Hikam memarahiku dalam mimpi ya? Sampai-sampai beliau bilang tidak akan menganggapku sebagai santri kalau masih tidak mau memotong kuku. Kuku? Bagian kuku mana yang harus kupotong? Tidak mungkin Mbah Hikam memarahiku hanya gara-gara kuku. Pasti ada maksud lain selain kuku-kuku jemariku ini. Tapi apakah itu? Oh ya? kuku Bahasa Arabnya ظُفْرٌ, berasal dari kata kerja ظَفِرَ yang artinya adalah memperoleh. Apakah itu maksudnya?”
Kang Sabar menerka-nerka mencoba menangkap maksud perintah Mbah Hikam..
“Apa mungkin maksud Mbah Hikam menyuruhku memotong kuku adalah sejatinya menyuruhku untuk memotong segala angan-anganku yang terlalu panjang yang mendesak untuk segera memperoleh apa yang kuinginkan? Kuku yang dibiarkan panjang akan menyimpan banyak kotoran, barangkali angan-angan yang dibiarkan memanjang juga akan mengendapkan banyak kotoran yang tak kasat mata. Jika memang ini yang dimaksudkan Mbah Hikam, berarti aku harus cepat-cepat sowan beliau untuk meminta maaf atas segala kesalahanku agar beliau masih berkenan mengakuiku sebagai santrinya.”
Tanpa menunda waktu terlalu lama, keesokan harinya Kang Sabar langsung sowan Mbah Hikam. Bersama Kang Sabar, ada seorang tamu yang juga sedang sowan yang datang lebih dulu sebelum Kang Sabar. Tamu itu matur[19] kepada Mbah Hikam.
“Mbah, saya minta didoakan supaya bisnisnya lancar dan cepat kaya biar bisa menunaikan ibadah haji.”
Mendengar curahan hati tamu itu, Mbah Hikam tersenyum ramah kemudian berkata lembut.
“Aja mikirke perkara kang durung digawe deneng Gusti Allah! Pikiran iku kayadene kitiran, kebanteren mubeng cepling, kedhuwuren mabur ngguling. Kabeh wis ana sing ngatur, kari ngelakoni lan masrahke, ora usah melu-melu ngatur![20]
Sekali berkata, dua orang serasa mendapat tamparan keras bersamaan sekaligus. Si tamu merasa ditampar karena sudah terlalu panjang berangan-angan dan meminta Mbah Hikam untuk mendoakan agar segala yang diinginkan lekas jadi kenyataan, sedangkan Kang Sabar merasa ditampar karena keinginannya sudah terlampau jauh mendahului takdir Tuhan. Tiba-tiba kedua mata Kang Sabar berkaca-kaca, lalu menangislah ia tanpa suara.
Tamu yang minta didoakan agar cepat kaya itu akhirnya meminta maaf kepada Mbah Hikam kemudian berpamitan pulang. Kang Sabar ikut-ikutan. Menunggu tamu itu benar-benar keluar, baru Kang Sabar berdiri menghampiri Mbah Hikam untuk bersalaman pamitan.
“Sudah cukup kan?”
Tanya Mbah Hikam kepada Kang Sabar seakan tahu tentang segala kejadian yang sudah dialaminya.
Sampun Mbah.[21]
Tangis Kang Sabar meledak. Didekapnya kyai pemurah senyum dan lembut tutur katanya itu sambil sesunggukan.
“Hiksss... Maafkan saya Mbah... Semoga Simbah masih berkenan menganggap saya sebagai murid Simbah...”
Dibiarkannya santri senior yang paling lama mondok itu mendekap Mbah Hikam sampai reda tangisnya. Setelah Kang Sabar tak sesunggukan lagi, Mbah Hikam berkata kepadanya.
“Besok ngaji ya? Sudah lama aku tak melihatmu ngaji.”
Besok adalah pengajian rutinan mingguan kitab al-Hikam yang diasuh oleh Mbah Hikam. Jamaah pengajian datang dari berbagai penjuru kota dan biasanya mencapai ribuan. Kang Sabar heran mengapa Mbah Hikam tahu jika akhir-akhir ini ia tidak pernah mengikuti pengajian mingguan Kitab al-Hikam, padahal pesertanya mencapai ribuan. Tetapi Kang Sabar merasa tenang dan lega karena Mbah Hikam masih memperhatikannya yang itu adalah pertanda bahwa beliau masih mengakuinya sebagai santrinya, sekalipun ia telah mendurhakainya dengan mengumbar angan-angan dan keinginannya sampai-sampai meminta ijazah wirid kepada kyai lain tanpa seizin Mbah Hikam yang secara etika dalam mengaji tak bisa dibenarkan walaupun dengan berbagai alasan.
Nggih Mbah, insyaallah. Saya mohon maaf, sudah lama tidak pernah mengikuti pengajian Simbah.”
“Iya tidak apa-apa.”
Jawab Mbah Hikam kalem sembari menebar senyum kasih sayang kepada Kang Sabar. 
Pengajian kitab al-Hikam yang diasuh Mbah Hikam sudah berjalan selama bertahun-tahun. Sudah beberapa kali beliau mengkhatamkan Kitab al-Hikam. Belum pernah beliau berganti kitab lain, karena ketika sudah khatam selalu beliau ulangi lagi dari awal. Begitu seterusnya. Kitab al-Hikam karya Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary ini beliau jadikan wiridan. Di waktu lain, Mbah Hikam juga banyak membaca kitab-kitab turats[22] dengan judul yang beragam untuk para santri, namun khusus untuk pengajian umum rutinan mingguan beliau nampaknya sengaja menjadikan al-Hikam sebagai kitab wiridan wajib yang tidak tergantikan.
Hari itu telah tiba. Ribuan orang berbondong-bondong menuju ndalem Mbah Hikam untuk mengikuti pengajian umum rutinan. Ruang tamu dan teras ndalem tidak cukup untuk menampung hadirin yang jumlahnya mencapai ribuan. Banyak jamaah yang duduk di halaman pesantren dan kamar-kamar santri hingga meluber ke jalan-jalan depan rumah warga sekitar.
Mbah Hikam mulai membaca salah satu untaian mutiara sang sufi Alexandria itu.
Laa yakun, aja nganti ana.. taakhkhuru amadil ‘athaai, apa karine mangsa peparing.. ma’al ilhaahi, ing dalem sertane ndesak.. fid-du’aai, ing ndalem dunga.. muujiban, iku netepake.. liya’sika, maring bosen ira.. fahuwa, kerana utawi Allah.. dhominun, iku nanggung.. laka, keduwe sira.. al-ijaabata, ing kasembadan.. fiimaa, ing ndalem perkara.. yakhtaaruhu, kang milih sapa Allah ing maa.. laka, keduwe sira.. laa fiimaa, ora ing ndalem perkara.. takhtaaruhu, kang milih sira ing maa.. linafsika, keduwe awak dewe ira.. wafil waqti, lan ing ndalem wektu.. al-ladzi yuriidu, kang ngersaake sinten Allah.. laa fil-waqti, ora ing ndalem wektu.. al-ladzii turiidu, kang karep sapa sira..[23]
Para hadirin mendengarkan dengan khusyuk dan khidmat, tak terkecuali Kang Sabar yang sedari tadi menitikkan air mata karena apa yang disampaikan Mbah Hikam sangat mengena di hatinya. Ia pun merasa bersalah telah sombong dan durhaka dengan memaksa Tuhan untuk menuruti segala permintaannya.
“Sebelum saya akhiri pengajian pada siang ini, saya memohon kepada para hadirin semua agar jangan pada pulang dulu. Karena hari ini saya akan menikahkan putri saya yang terakhir.”
Para hadirin bergemuruh namun tidak sampai meninggalkan tempat duduknya. Mereka saling melempar tanya keheranan dan kaget karena Mbah Hikam akan ngunduh mantu secara tiba-tiba. Tak ada sama sekali kabar-kabar berhembus sebelumnya.
“Kang Sabar Bimasyiatirrahman saya mohon untuk maju ke depan.”
Kang Sabar terkejut Mbah Hikam memanggilnya untuk maju ke depan. Semua hadirin menoleh ke arahnya yang perlahan-lahan menuju tempat duduk Mbah Hikam. Jantungnya berdebar-debur seperti gulungan-gulungan ombak yang diterjang badai kencang. Ia masih bingung dan menyimpan tanda tanya besar mengapa Mbah Hikam memintanya untuk maju ke depan.
“Ini calon menantu saya yang akan saya nikahkan sekarang dengan putri bungsu saya. Para hadirin saya minta untuk jadi saksi pernikahan anak saya.”
Sontak Kang Sabar terkaget-kaget bukan kepalang. Apa?? Seorang santri klumprut yang tak memiliki apa-apa yang hampir saja tidak dianggap sebagai santri Mbah Hikam ini malah akan dijadikan menantunya??? Kang Sabar masih terbengong-bengong tak percaya. Bagaimana bisa??? Ia masih tak percaya. Perasaannya, ah takkan bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Mbah Hikam meminta Kang Sabar untuk duduk di depan mejanya. Ia hanya nurut saja seperti wayang yang digerakkan dalang. Diraihnya tangan Kang Sabar yang terkulai lemas tak berdaya karena masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya. Keduanya bersalaman seperti sedang menjalin sebuah perjanjian.
Tiba-tiba Mbah Hikam membaca mantra sakral yang dapat menghalalkan sepasang manusia untuk hidup bersama.
 Ankahtuka wazawwajtuka binti Durrotul Hikmah binti Hikam bimahri kitab al-Hikam wa qiraatihi laha...[24]
Kang Sabar kebingungan. Tetapi akhirnya, ia pun menjawab mantra itu meski agak tergagap dengan sebuah mantra pula yang sering ia dengar namun baru kali ini ia ucapkan.
Qo... qobiltu... nikahaha... watazwiijaha... bil-mahril madzkur...”
“Sah?”
Tanya Mbah Hikam kepada para hadirin. Semua menjawab serentak bergemuruh.
“Sah!”
Kemudian Mbah Hikam mengangkat kedua tangannya tepat di dadanya, lalu melangitkan doa-doa. Semua hadirin mengamini dengan sepenuh hati. Setelah pengajian usai, bagai aroma misik yang diterbangkan angin ke segala penjuru, kabar harum pernikahan Kang Sabar dengan putri bungsu Mbah Hikam yang terjadi secara tiba-tiba dengan mahar Kitab al-Hikam dan membacanya di depan istrinya itu segera menyebar ke segala penjuru. Jadilah Kang Sabar gus tiban[25] setelah sah menjadi menantu Mbah Hikam. Ia masih merasa seperti mimpi. Perasaannya campur aduk, antara bahagia karena Tuhan telah mengabulkan permintaannya, dan takut karena ia yang bukan siapa-siapa telah diangkat menjadi menantu kyai tersohor yang ngalim dhohir bathin itu. 
Cepat-cepat Kang Sabar meredam segala gejolak hatinya yang masih ketakutan dan kebingungan bertanya-tanya bagaimana nantinya. Ia pasrah-serahkan segala urusannya kepada Tuhan Yang Maha Mengatur. Dipotongnya segala macam angan-angan yang laksana kuku, yang jika semakin panjang akan semakin menyimpan banyak kotoran di dalamnya. Kemudian ia teringat wejangan Mbah Hikam kepada tamu yang meminta doa agar cepat kaya kepada Mbah Hikam beberapa waktu yang lalu.
“Aja mikirke perkara kang durung digawe deneng Gusti Allah! Pikiran iku kayadene kitiran, kebanteren mubeng cepling, kedhuwuren mabur ngguling. Kabeh wis ana sing ngatur, kari ngelakoni lan masrahke, ora usah melu-melu ngatur!”

 PMH Pusat Kajen, 30 April 2015


[1] Cerpen ini diikutkan dalam lomba cerpen yang diselenggarakan oleh KMF (Keluarga Mathali’ul Falah) Jakarta dan meraih juara II.
[2] Panggilan dalam Bahasa Jawa, artinya: kakak. Biasa digunakan dalam budaya pesantren untuk memanggil santri yang lebih tua.
[3] Mengaji di pondok pesantren.
[4] Panggilan dalam Bahasa Jawa, artinya: kakek. Biasa digunakan untuk memanggil seseorang yang dituakan dan dihormati meskipun bukan kakek secara genealogi, mirip dengan pemakaian kata “syekh” dalam Bahasa Arab. Menurut salah satu sumber, kata “mbah” yang digunakan untuk memanggil seorang yang dituakan dan dihormati berasal dari kata ”manembah” yang artinya menyembah. Maksudnya adalah bahwa seseorang dipanggil dengan “mbah” karena sudah dianggap benar-benar “manembah” kepada Tuhan Yang Maha Esa.
[5] Istilah dalam dunia pesantren yang berarti bahwa santri sudah tidak menetap lagi di pesantren. Bisa jadi pindah ke pesantren lain atau pulang ke kampung halaman.
[6] Mengakar: awet.
[7] Bulan Dzul Hijjah dalam Bahasa Jawa.
[8] Waktunya menggelar alas. Besar, wayahe mbeber telasar adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan dua fenomena yang marak terjadi di bulan besar (Dzul Hijjah), yaitu: 1. Pernikahan 2. Kematian. Keduanya dianggap memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mbeber telasar (menggelar alas). Yang satu (pernikahan) mbeber telasar untuk berbulan madu pengantin baru. Yang satunya lagi (kematian) mbeber telasar untuk menuju kehidupan baru. 
[9] Sawanen adalah sebuah keadaan dimana seseorang merasa demam panas-dingin dan tidak doyan makan karena sebuah kejadian seperti: pulang habis melayat orang meninggal. Orang-orang Jawa percaya bahwa sawanen timbul karena ada persinggungan dengan makhluk halus yang mengakibatkan seseorang itu terkena sawan. Seseorang yang terkena sawan biasanya tidak mempan jika diobati dengan obat dokter. Sawanen bisa hilang jika disawani (diobati dengan ramuan sawan), begitu kata orang-orang Jawa. 
[10] Katrok, tidak rapi.
[11] Mengumpat.
[12] Gundah gulana.
[13] Bertamu/berkunjung.
[14] Ki berasal dari kata “Aki” yang berarti “kakek” dan sejenis. Sedangkan jadug berarti sakti.
[15] Bacaan yang dilanggengkan,
[16] Dilegalkan/ diizinkan untuk membaca. Berasal dari kata Bahasa Arab “Ijazah” yang berarti memperbolehkan. Tak setiap wirid boleh sembarang dibaca. Ada wirid yang harus melalui ijazah terlebih dahulu jika ingin mengamalkannya. Ada pula yang tidak. Karena setiap wirid membawa sirr (rahasia) sendiri-sendiri.
[17] Nak, panggilan dalam Bahasa Jawa. Berasal dari kata thole yang berarti anak.
[18] Artinya: Tuhan, jangan tinggalkan aku sendiri, sedangkan Engkau adalah sebaik-baik pewaris. Ini adalah doa yang dibaca Nabi Zakarya saat tak kunjung diberikan keturunan. Kemudian Allah menganugerahinya seorang anak di saat usianya sudah sangat tua sedangkan istrinya mandul yang kemudian diangkat jadi nabi yaitu Nabi Yahya.
[19] Bilang.
[20] Jangan memikirkan hal yang belum diciptakan oleh Allah. Karena pikiran manusia itu layaknya kitiran (baling-baling kecil yang biasanya terbuat dari kertas), terlalu cepat berputar bisa lepas, terlalu tinggi terbang bisa terhempas. Semua sudah ada yang mengatur, tinggal menjalani dan memasrahkan, tidak usah ikut-ikutan mengatur!
[21] Sudah Mbah.
[22] Kitab-kitab klasik.
[23] Jangan sampai karena keterlambatan waktu pemberian karunia dari Tuhan kepadamu, membuatmu berputus asa dari bersungguh-sungguh dalam berdoa. Karena Allah telah menjamin akan mengabulkan semua doa pada apa yang Dia pilihkan untukmu, tidak apa yang engkau kehendaki untuk dirimu sendiri, dalam waktu yang Dia kehendaki, tidak waktu yang engkau ingini. (al-Hikam: hlm 7)
[24] Saya nikahkan kamu dengan anak perempuan saya Durrotul Hikmah Binti Hikam dengan mahar Kitab al-Hikam dan membacanya di depan anak saya.
[25] Gus adalah panggilan untuk putra kyai, sedangkan tiban bermakna sesuatu yang jatuh (tiba) dari langit. Gus tiban bisa dimaknai sebagai seorang yang biasa-biasa saja dan tak punya nasab kyai tetapi tiba-tiba diambil menantu oleh kyai. Akhirnya dipanggillah ia gus, bukan karena ia putera kyai tetapi karena menikahi ning atau putrinya kyai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar