Rabu, 28 Oktober 2015

Ramadhan Tanpa Alif dan Nun (Sebuah Cerpen)



“Ramadhan Tanpa Alif & Nun[1]
Oleh: Sahal Japara

Terik mentari Ramadhan kali ini sungguh tak ramah dan begitu garang. Tenggorokan berlendir yang diajak jalan-jalan siang akan langsung kering dan gersang. Berulang-ulang kali Kang[2] Shoim[3] menelan ludah yang hampir keluar dari rongga tenggorokan. Ia duduk termangu di depan kamar, ragu antara berangkat mengaji posonan[4] atau tidak tatkala melihat matahari siang begitu panas menyambar. Pengajian posonan diselenggarakan di masjid. Dari kamar Shoim, butuh waktu sekitar 10 menitan untuk sampai masjid. 10 menit yang jika di hari-hari biasa terasa ringan, maka di bulan yang “panas” ini tapak-tapak kaki bagai berjalan di atas wajan.
“Nggak ngaji lagi, Im?”
Kang Royyan[5] bertanya kepada Kang Shoim sambil mengenakan baju taqwanya. Bungkusnya pertanyaan, namun isinya ajakan agar Kang Shoim bersiap-siap untuk berangkat mengaji. Kang Shoim terdiam menatap Kang Royyan lemas. Meskipun ia sudah bangun dari tadi, namun sisa-sisa tembam karena kebanyakan tidur masih bersarang di kantung matanya. Belum sempat menjawab, Kang Royyan menimpali pertanyaannya tadi dengan sindiran.
“Masa’ ngaji cuma awal dan akhir doang? Bukankah sebaik-baik perkara itu justru yang tengah-tengah? Meski awal dan akhir yang menentukan.”
Kang Royyan berkaca sambil menyisir rambutnya yang basah oleh air wudhu.
“Lha aku lemas banget eg Yan. Mau berangkat khawatir, kalau nggak kuat terus tiba-tiba pingsan gimana coba?”
Dalih Kang Shoim. Wajahnya tiada daya. Bibirnya kering lantaran dahaga.
“Wudhu dulu sana! Biar ada gairah.”
Kang Shoim tak menjawab. Ia malah menyandarkan kepalanya ke tembok seperti sudah tak kuat menyangga. Setelah menyisir rambut dan mengenakan kopyah hitamnya, Kang Royyan menghampiri Kang Shoim. Dipijat-pijatnya pundak Kang Shoim. Keduanya memang sedang berpuasa, namun Kang Royyan nampak begitu segar dan kuat, lain halnya dengan Kang Shoim yang sudah tidak kuat ngglawat.
“Ayolah, kawan! Bulan ini hanya datang setahun sekali. Di bulan inilah al-quran diturunkan. Di bulan ini, terdapat malam yang sebanding dengan seribu bulan. Awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah ampunan, dan akhirnya adalah merdeka dari siksa neraka. Sayang sekali kalau kita hanya melewatkannya dengan berdiam diri saja, atau menghabiskannya dengan ibadah tidur dan bermalas-manja. Lekas wudhu gih.”
Kang Royyan masih memijit-mijit pundak dan tengkuk sahabatnya itu.
“Kamu, ada sepeda?”
Tanya Kang Shoim lirih.
“Sepedaku sudah tak jual sebelum Ramadhan Im. Yah, bagaimana lagi? Kalau ingin ikut ngaji posonan, harus ada yang direlakan.”
“Hmmm... Kalau jalan kaki, rasanya seperti berjalan di atas neraka!”
“Ah, siapa bilang? Panas neraka jauh berlipat-lipat ganda daripada panas dunia. Sepanas-panas dunia, masih lebih panas percikan api neraka. Ramadhan memang terkenal panas, tapi itu tak berlaku bagi mereka yang punya alif dan nun.”
Alif dan nun? Maksudnya?”
Meski lemas, Kang Shoim masih kuat bertanya.
“Ada yang bilang bahwa Ramadhan berasal dari kata ramadh yang berarti panas, mudah panas, dan jika dibiarkan akan semakin panas. Ramadhan menjadi tambah panas, karena di bulan ini orang-orang islam tak boleh makan dan minum secara bebas. Mereka berpuasa mengurung nafsu dan syahwat agar tak terlepas, agar tak semakin buas. Akan tetapi, panas itu hanya berlaku bagi mereka yang tak memiliki alif dan nun, seperti kata ramadh. Alif adalah cermin karakter tegar menghadapi ujian, konsisten menjalankan perintah, dan tak mudah terpengaruh oleh orang lain. Sedangkan nun adalah cermin tabiat kasih sayang, rendah hati, dan mudah memahami orang lain. Dua karakter huruf inilah yang harus dimiliki seorang muslim ketika berpuasa.”
Kang Royyan mulai menguliahi Shoim.
“Lihatlah bentuknya Im. Alif tegak lurus bagaikan sebuah tongkat yang dijadikan pijakan dan sandaran banyak orang. Alif seakar kata dengan kata allafa yang artinya adalah mempersatukan. Orang yang memiliki alif punya jiwa-jiwa pemimpin, yaitu: tegas, tegar, berwibawa dan suka mempersatukan kaumnya. Tidak suka bertengkar, tidak mudah memaki dan mencela, apalagi di bulan puasa.”
“Adapun nun, coba kau lafalkan Im! Na-ni-nu-an, ringan kan? Ia ringan dilafalkan. Seorang yang memiliki nun, akan ringan tangan dan ringan badan untuk membantu orang lain. Nun dalam ilmu tajwid, jika disukun dan bertemu huruf-huruf lain, maka ia bisa menjelma jadi idzhar, idgham bighunnah, idgham bila ghunnah, iqlab, dan ikhfa’. Seorang yang memiliki nun akan selalu menebar kasih sayang dan mudah bergaul dengan siapapun tanpa terkecuali. Sama seperti ajaran islam yang rahmatan lil’alamin, keberadaannya adalah sebentuk kasih sayang kepada sekalian alam. Nun itu suka bersembunyi dan tak menyombongkan diri, karena ia sering bersembunyi dalam wujud tanwin yang mengayomi semua huruf selain huruf vokal tanpa pernah menampakkan diri. Maka seorang muslim yang sedang berpuasa tidak boleh menyombongkan puasanya, dan menjadikannya alasan untuk bermalas-malasan. Ibadah puasa sangat istimewa karena ia tak kelihatan sebagaimana shalat, zakat atau haji. Maka wajar, jika Tuhan sendiri lah yang akan memberikan balasan kepada para hambanya yang berpuasa. ”
“Nabi pernah bersabda: siapa saja yang berdiri (qiyam lail) pada Bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala akan diampuni seluruh dosa yang telah dilakukannya. Dalam hadits lain: siapa saja yang berpuasa pada Bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala akan diampuni seluruh dosa yang telah dilakukannya. Berdirilah (qooma) seperti alif, dan berpuasalah (shooma) seperti nun, insyaAllah panas bulan Ramadhan takkan terasa Im.”
Kang Royyan begitu semangat mendoktrin sahabatnya itu.
“Sedangkan aku hanya punya alif saja. Nun tak punya. Beda denganmu yang punya kedua-duanya, he...”
Tukas Kang Shoim sambil tersenyum tipis.
“Maksudnya?”
Giliran Kang Royyan yang bertanya.
“Shooim: shod, alif, hamzah, mim. Royyan: ro’, ya’, ya’, alif, nun. Karena tak punya nun, maka terawihnya kuat, tapi puasanya berat!  Hehe...”
Kang Shoim tertawa agak lebar.
“Owalah! Hehehe... ya sudah, wudhu sana! Keburu telat. Tak usah banyak pertimbangan, wudhu dan jalan kaki ke masjid sudah cukup untuk melebur kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan...”
Akhirnya Kang Shoim mau berdiri walaupun tertatih-tatih. Perlahan-lahan ia berjalan menuju tempat wudhu.
“Lhoh? Pecimu kok basah kuyub begitu Im?”
Tanya Kang Royyan kaget.
“Biar tidak terasa panas! Hehe, sudahlah ayo berangkat!”
Rupa-rupanya peci putih yang dikenakan Kang Shoim sehabis wudhu tadi dibilas dengan air lalu diperas. Fungsinya sama seperti kain kompres yang ditempelkan di kening anak saat sedang sakit panas.
Keduanya bergegas menuju masjid, menantang sinar matahari yang sedang garang-garangnya. Di tengah jalan, ada beberapa warung makan yang buka dengan malu-malu, menutup diri dengan kain selambu.
“Wadoooh, puasa-puasa begini masih buka? Sama sekali nggak menghormati yang sedang puasa! Hufh...”
Kang Shoim gusar melihat banyak orang paruh baya tengah makan begitu lahapnya di salah satu warung yang ia lihat. Apa boleh buat? Ia hanya bisa menelan ludah sambil mengumpat.
“Ah, jangan begitu Im! Siapa tahu mereka itu para musafir. Apalagi jalan raya kayak gini tentu banyak orang yang sedang bepergian. Musafir kan boleh nggak puasa to? Cara untuk menghormati puasa kita ya dengan menjaga diri kita sendiri, bukan malah mengumpat orang lain. Dihusnudzdzonni saja biar selamat dari dosa.”
“Harusnya Menteri Agama dan Presiden melarang warung-warung makan buka pada siang hari! Biar yang lemah imannya seperti aku ini nggak mudah tergoda.”
“Hehehe, sudahlah Im... semakin kau teruskan, semakin banyak bangkai orang lain yang akan kau makan... Puasa itu seperti nun. Lembut, rendah hati, mengasihi dan menghormati siapa saja termasuk mereka yang berbeda.”
Kali ini Kang Shoim tak menggubris nasehat Kang Royyan. Keduanya pun berlalu tanpa sepatah kata lagi setelah itu. Baru ketika sampai masjid, Kang Shoim kembali berucap.
“Waw? Sedikit banget yang ngaji ya Yan? Ini kalau ngantuk bisa langsung ketahuan nih.”
“Justru yang sedikit itulah yang mudah dicatat dan diingat-ingat oleh para malaikat.”
Setelah berkata, Kang Royyan langsung menempatkan diri di barisan depan tepat di depan meja Kyai Taqwa[6], pengasuh pengajian posonan yang diselenggarakan di masjid.
Inilah waktu yang tepat tuk berpisah.
Kang Shoim mendendangkan lagu Sheila on 7 itu dalam hatinya saat memisahkan diri dari Kang Royyan yang memilih duduk di barisan paling depan. Sebaliknya, Kang Shoim memilih duduk di barisan paling belakang agar ketika capek bisa mengaji sambil tiduran.
Sebentar kemudian Kyai Taqwa datang. Pengajian kitab telah dimulai. Ada beberapa peserta pengajian yang datang terlambat. Mereka yang datang belakangan ini duduk di barisan paling belakang.
“Lho? Pak Brengos ikut ngaji?”
Kang Shoim kaget melihat Pak Brengos penjual sate tetangga pesantren itu tiba-tiba duduk di sampingnya.
“Aku sudah kemarin-kemarin ngaji terus. Malah kamu yang baru kelihatan ngaji hari ini.”
“Warung satenya tutup berarti Pak? Alhamdulillah!”
Kelakar Kang Shoim bahagia karena warung sate Pak Brengos tak ikut serta menggoda imannya.
“Hey, jangan keras-keras Im! Ngajinya sudah dimulai. Sudah tiga Ramadhan ini warungku buka mulai sore, kalau siang tutup. Biasanya, dulu buka terus non stop. Karena satu alasan, akhirnya aku putuskan untuk buka mulai sore saja.”
“Baguslah kalau begitu. Harusnya memang demikian, warung-warung tidak buka ketika siang hari untuk menghormati orang yang sedang berpuasa.”
Sahut Kang Shoim.
“Idealnya memang begitu. Tapi jangan langsung tidak diperbolehkan buka, karena Indonesia bukan hanya dihuni oleh orang muslim saja. Di saat kita sedang berpuasa, ada yang tidak berpuasa karena non muslim, atau musafir, atau sedang haidh dan seterusnya. Maka tidak bisa dipukul rata meskipun sebagian besar yang jajan di warung beragama islam.”
“Lalu, apa alasan panjenengan tidak buka warung siang hari Pak?”
“Sini mendekat, tak kasih tahu.”
Posisi duduk Kang Shoim bergeser sedikit dan agak merapat ke Pak Brengos. Telinganya didekatkan ke mulut Pak Brengos yang volume suaranya cukup pelan agar tidak mengganggu pengajian.
“Jadi awalnya, aku tak peduli. Mau puasa mau tidak, warung tetap buka. Yang penting kan aku puasa dan mencari nafkah untuk keluarga? Masalah orang lain tidak puasa karena warungku buka, bukan urusanku. Dulu aku berpikir seperti itu. Baru ketika ada beberapa kejadian yang menimpa keluarga, aku baru sadar bahwa Tuhan sedang mengingatkanku. Buka warung sate di siang hari ketika bulan puasa, uhhh pemasukannya tiga kali lipat dibanding hari-hari biasa Im. Benarlah kata orang-orang itu, bahwa Ramadhan adalah bulan penuh berkah karena rejekiku melimpah-ruah. Tapi ada kejadian aneh yang selalu berulang-ulang menimpaku. Tiap kali lebaran, pasti ada salah satu anggota keluargaku yang masuk rumah sakit. Dan uang hasil jualan sate ketika puasa selalu habis untuk biaya pengobatan, malah terkadang minus. Kejadian ini ndak cuma sekali dua kali. Sudah benar-benar aku amati Im. Karena penasaran, aku pun menanyakan masalahku ini kepada Kyai Taqwa. Akhirnya beliau menganjurkanku untuk buka ketika sore saja menjelang berbuka. Kemudian beliau berpesan: carilah berkah, jangan cari banyak. Yang berkah akan mendatangkan banyak, sedangkan yang banyak belum tentu berkah. Aku baru tahu bahwa berkah bukanlah yang melulu melimpahruah, tetapi berkah adalah segala yang dapat mendatangkan kebaikan meski jumlahnya hanya sedikit. Sejak itu, aku mengamalkan nasehat Kyai Taqwa. Dan alhamdulillah selama tiga kali lebaran tidak ada lagi yang masuk rumah sakit. Daripada capek-capek jualan siang hari, mendingan ikut ngaji Kyai Taqwa Im!”
“Owhhh, jadi begitu kronologinya Pak? Semoga para pemilik warung yang masih buka di siang hari lekas dapat hidayah dari Gusti Allah.”
 “Hidayah itu urusan Tuhan Im. Kita sebagai sesama manusia tidak boleh memaksa mereka untuk tutup selama bulan puasa. Kalau ada orang nongkrong di warung, ya dihusnudzdzonni saja mereka punya alasan yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa.”
Kata-kata Pak Brengos mirip dengan apa yang dikatakan Kang Royyan tadi saat melintas di depan warung yang ramai pembeli di siang hari selama Bulan Ramadhan.  
“Sudah sudah... Ayo kita dengarkan pengajian Kyai Taqwa... Wong ngaji kok malah ngobrol sendiri...”
Karena ceritanya sudah selesai, duduk Kang Shoim agak merenggang. Ia dan Pak Brengos mulai khidmat menyimak pengajian Kyai Taqwa.
Ashshiyaamu, utawi pasa.. junnatun, iku minangka benteng.. Puasa itu seperti benteng, bukan banteng. Benteng itu melindungi, sedangkan banteng suka melukai. Benteng itu menjaga, sedangkan banteng suka berlaga. Benteng itu kukuh, sedangkan banteng itu angkuh. Benteng itu teduh, sedangkan banteng itu gaduh. Benteng kuat menahan, sedangkan banteng sering tak sabaran. Puasa itu bagaikan benteng, menahan serangan nafsu yang diibaratkan seperti banteng. Jadikan puasa sebagai benteng yang menjaga diri kita dari segala bentuk kedurhakaan. Jangan jadikan ia banteng yang suka menyerang, mencari pembenaran atas segala kepongahan. Jangan jadikan puasa kita sebagai dalih untuk menyombongkan diri, apalagi dijadikan pembenaran untuk menyerang dan mencacimaki orang lain yang sedang tidak berpuasa.”
“Inilah saat yang tepat untuk membangun benteng pertahanan yang kokoh, saat dimana iblis dibelenggu dan tak bisa mengganggu, saat dimana pintu-pintu sorga terbuka lebar, saat dimana pintu Royyan melambai-lambaikan tangan kepada para shoimin yang mampu bersabar. Kalau benteng kita mudah roboh, berarti ada yang salah dengan diri kita. Maka mari mulai sekarang kita perkuat niat, mari kita perbulat tekad, untuk membangun benteng yang kuat, agar ketika iblis dilepas mereka tak bisa banyak berbuat. Benteng kita adalah puasa, rumah kita adalah masjid, tiangnya adalah shalat, kuncinya adalah syahadat, tanaman yang tumbuh di pekarangan kita adalah zakat, dan lampu yang meneranginya adalah al-quran.”
Tiba-tiba Kang Shoim teringat nasehat Kang Royyan. Ramadhan tanpa alif dan nun (ramadh) terasa begitu panas. Tetapi bagi mereka yang memiliki alif dan nun, Ramadhan terasa begitu sejuk. Karena mereka yang memiliki alif dan nun punya benteng yang kukuh dan teduh yang membentengi jiwa raga mereka dari serangan banteng nafsu. Mereka punya tombak alif untuk melawan, dan perisai nun untuk bertahan.
Nun jauh di sorga sana, Royyan melambai-lambaikan tangan sambil berbisik lirih kepada Kang Shoim: Selamat berjuang, kutunggu kau di sorga!


PMH Pusat Kajen, 05  Ramadhan 1436


[1] Cerpen ini dibedah dalam acara Pesantren Kilat Ramadhan on Campus di MTs Thowalib pada 4 Juli 2015/17 Ramadhan 1436.
[2] Kak. Panggilan familiar di kalangan pesantren.
[3] Isim fail dari kata “shooma”, artinya: orang yang berpuasa.
[4] Mengaji kitab di bulan Ramadhan.
[5] Nama pintu surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang berpuasa secara baik dan benar.
[6] Taqwa adalah tujuan utama dalam berpuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar