Rabu, 28 Oktober 2015

Pesantren Nushan Tara (Sebuah Cerpen)



“Pesantren Nushan Tara[1]
Oleh: Sahal Japara

          Seorang pemuda berbadan gempal, berambut panjang terkuncir, bercelana jins dan berkemeja lengan pendek tertutup jaket,  berpenampilan layaknya orang-orang metropolitan, tengah berjalan memasuki sebuah pesantren dengan menggendong sebuah ransel besar.
          “Benarkah ini Pesantren Nusantara?”
          Tanya si pemuda pada salah satu penghuni pesantren.
          “Benar.”
          Yang ditanya menjawab.
          “Kalau pengen mondok di sini selama Bulan Ramadhan, bagaimana caranya?”
          “Oh, mari saya antarkan ke pengurus.”
           Keduanya berjalan menuju kantor pesantren, tempat dimana para santri baru mengurus pendaftaran dan administrasi.
          “Silahkan masuk!”
          Santri yang mengantarkan pemuda itu mempersilahkannya masuk kantor, lalu undur diri.
          “Assalamualaikum...”
          Si pemuda mengucapkan salam.
          “Waalaikumussalaam warahmah wabarkah... sumangga sumangga, silahkan duduk. Ada yang bisa dibantu?”
          Lurah[2]  pesantren, Kang[3] Ngalim namanya, bertanya kepadanya.
          “Saya ingin mondok di sini selama Bulan Ramadhan Mas.”
          “Sudah sowan Simbah Kyai minta izin mau mondok di sini?”
          “Belum Mas.”
          “Kalau begitu, nanti sowan ya? Ini saya daftari dulu.”
          Kang Ngalim mengambil formulir pendaftaran kemudian diberikan kepada pemuda berambut gondrong itu. Setelah diisi, formulir itu diberikan kepada Kang Ngalim.
          “Ternyata orang sunda Kang Ibin Thoo...libin?”
          Tanya Kang Ngalim sambil mengeja tulisan di formulir pendaftaran.
          “Iya Mas. Sekarang saya masih kuliah jurusan IT di salah satu universitas ibukota. Pumpung masih liburan panjang habis semesteran, daripada menganggur, saya gunakan untuk mondok saja.”
          “Begitu ya?”
          “Yah, mohon dimaklumi Mas kalau saya kurang sopan, karena baru pertama kali ini saya menginjakkan kaki di pesantren. Saya tahu pesantren justru dari sosial media Mas, saat dunia maya gempar dengan gerakan #AyoMondok. Saya pun penasaran karena begitu banyak yang membicarakan. Saya cari-caritahu tentang bagaimana sebenarnya pondok pesantren itu. Saya baca satu persatu postingan teman-teman sosmed baik yang mendukung gerakan ini maupun yang menolak dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi. Setelah banyak membaca dan merenung, entah kenapa hati saya tiba-tiba begitu menggebu ingin mondok.”
          “Alasan apa yang paling mendorong sampean kepengen mondok?”
          “Bagaimana ya menjelaskannya? Emmm, saya bingung harus mulai dari mana karena latar belakang pendidikan saya begitu rumit. Ya sudah, saya akan cerita. Tapi Mas jangan kaget ya. Saya ini lulusan SD Kanisius. Waktu itu di kampung saya hanya ada satu SD saja. Setelah itu masuk SMP dan SMA Islam milik salah satu ormas islam tertentu. Kemudian kuliah di jurusan IT. Dan sekarang, saya begitu ngebet pengen masuk pesantren. Yang ingin saya tanyakan, kira-kira berkenankah Simbah Kyai menerima saya yang lulusan SD Kanisius ini mondok di sini Mas?”
          Sampean itu lho aneh. Belum-belum kok sudah berprasangka buruk dengan Simbah Kyai? Mantap sajalah, insyaallah Simbah Kyai menerima, bahkan senang dengan kedatangan sampean.”
          “Iya ya Mas, semoga saja begitu. Eh Mas, benar kan pesantren ini namanya Pesantren Nusantara? Soalnya tadi pas ngliat tulisan di pintu masuk kok seperti ada yang janggal.”
          “Tulisannya itu Nushan (bish-shod) Tara. Tapi lebih dikenal dengan nama Pesantren Nusantara. Nushan Tara itu Bahasa Arab. Nushan artinya ‘nasehat’, sedangkan tara artinya ‘yang engkau lihat’. Seharusnya struktur kalimat yang lazim itu Tara Nushan, karena Tara adalah kata kerja, sementara Nushan adalah obyeknya. Kata kerja harusnya ada di depan sementara obyek ada di belakang. Nushan yang jadi obyek didahulukan atas Tara yang jadi kata kerja karena alasan pengkhususan. Jadi, artinya: hanya nasehat yang engkau lihat.”
          Ibin melongo karena tak paham apa yang baru saja dijelaskan oleh Kang Ngalim.
          Nushan Tara ya?”
          Sahut Ibin sambil mangut-mangut.
          “Kalau Simbah Kyai seingat saya waktu baca salah satu postingan teman tentang Pesantren Nushan Tara, namanya Kyai Maharim? Iya kan Mas?”
          “Makarim, bukan Maharim. Itu tadi lho, pertanyaan saya belum dijawab Kang Ibin.”
          “Oh iya, alasan yang paling mendorong saya untuk mondok ya Mas? Sebelumnya, saya akan sedikit cerita lagi Mas.”
          “Banyak juga tidak apa-apa kok, hehe...”
“Selama saya sekolah di SD Kanisius yang dikelola oleh umat kristen katolik, saya diajari untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja tanpa pandang bulu.  Saya tidak pernah didoktrin atau dipaksa untuk mengikuti ajaran agama mereka. Ketika ada jam pelajaran agama, saya dan teman-teman yang seagama keluar kelas. Bahkan ketika waktu shalat datang, guru-guru justru mempersilahkan kami untuk lekas mendirikan shalat. Karena mereka sangat senang jika kami menjadi seorang muslim yang taat. Di sana, saya begitu merasakan kasih sayang di tengah-tengah perbedaan. Dan dari sanalah, saya mendapatkan banyak pelajaran tentang bagaimana cara menghormati pemeluk agama lain Mas. Namun, ketika masuk SMP dan SMA Islam yang dikelola oleh salah satu ormas islam tertentu, dan mengikuti kegiatan ormas itu selama menjadi mahasiswa, saya merasakan iklim yang berbanding terbalik dengan apa yang pernah saya temukan di SD Kanisius Mas.”
          Kang Ngalim mengernyitkan kedua alisnya karena begitu penasaran dengan kelanjutan cerita Ibin. Ia hanya diam saja menyimak tamunya itu bicara.
          “Di situ, di institusi dan organisasi yang menggunakan label islam itu, saya malah tidak menemukan kedamaian padahal katanya islam agama yang cinta damai. Selama di sana, saya dan teman-teman seringkali didoktrin bahwa kami adalah orang-orang pilihan yang paling benar dan paling baik. Selain kami adalah salah, sesat, dan kafir. Mulailah tumbuh percikan-percikan api kebencian terhadap siapa saja yang berbeda dari kami, baik yang berbeda agama, maupun yang berbeda aliran atau tau yang tidak sepaham dengan kami. Sekali ada kayu kering dilempar, api-api itu akan langsung melahapnya hingga makin berkobar-kobar. Sejak disitu, saya begitu membeci guru-guru saya di SD Kanisius dulu. Anggapan saya telah tertanam dalam hati bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang najis dan tak boleh didekati lagi. Karena selalu merasa benar sendiri lantas dengan mudahnya saya menyalahkan dan mencacimaki orang lain. Hal itu justru membuat hati saya jadi tidak tenang. Benci, cemas, khawatir, dan rasa dengki sering kali menyelimuti hati. Kemudian setelah sekian lama bergelut dengan perasaan-perasaan semacam itu, saya jadi bertanya-tanya, apakah benar ini ajaran agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad? Apakah islam itu pembenci dan pendendam? Bukankah Nabi Muhammad adalah seorang pemaaf dan pengampun? Lalu mengapa agama kristen katolik yang dipeluk guru-guruku di SD Kanisius dulu yang kuanggap kafir itu  justru begitu ramah dan penuh kasih sayang terhadap siapa saja tanpa pernah pandang? Adakah yang salah dengan ajaran islam? Atau justru para pemeluknya yang menyalahi ajaran islam?”
          “Saat muncul gerakan #AyoMondok, teman-teman di ormas islam itu sebagian besar suka nyinyir dan mencacimaki bahwa gerakan #AyoMondok merupakan gerakan islam liberal karena dikampenyekan oleh dedengkot-dedengkot JIL (Jaringan Islam Liberal) seperti Ulil Abshar Abdalla dan Akhmad Sahal. Kegelisahan saya memuncak. Apakah ini islam yang sesungguhnya? Selalu bersikap nyinyir dengan saudaranya yang sesama muslim, dan merasa jijik dengan saudaranya yang non muslim? Akhirnya, setelah saya mencari tahu, membaca dari berbagai hal, banyak merenung dan memikirkan, saya pun berkesimpulan bahwa islam yang diajarkan kepada saya selama ini agaknya sudah melenceng dari ajaran-ajaran Nabi. Sejak saat itu, saya keluar dari organisasi yang pengajian-pengajiannya selalu membakar api amarah dalam hati saya. Sekarang, saya dikucilkan teman-teman saya gara-gara tak pernah hadir lagi dalam kegiatan-kegiatan yang mereka selenggarakan. Kemudian saya memutuskan untuk mondok selama liburan semesteran ini Mas. Saya ingin tahu, apa benar pondok pesantren itu mengajarkan islam yang ramah bukan islam yang marah yang mudah sekali memfitnah? Saya ingin tahu, apa benar pondok pesantren itu memiliki mata rantai keilmuan yang menyambung sampai Nabi Muhammad yang selalu dijaga oleh para penerusnya hingga sekarang? Saya ingin tahu, apa benar pondok pesantren adalah lembaga pendidikan islam tradisional yang selalu mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia?  Hal-hal yang tak pernah saya temukan dulu selama belajar di institusi maupun organisasi berlabel islam itu.”
          Ibin berapi-api menceritakan kronologi mengapa ia sekarang memilih untuk mondok hingga matanya berkaca-kaca.
          “Apa yang sampean cari, insyaAllah nanti akan sampean temukan di sini Kang. Kalau sampean semakin dikucilkan karena masuk pondok, tidak usah khawatir. Di sini, banyak teman yang berasal dari berbagai latar belakang dari berbagai penjuru nusantara yang saling menghormati dan saling mengasihi satu sama lain. Malahan, dulu banyak santri yang berasal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand. Namun setelah Indonesia dicap sebagai negara sarang teroris karena para ulah ekstremis, lambat laun santri-santri yang berasal dari negeri tetangga berkurang dan akhirnya tidak ada sama sekali. Di sini, insyaAllah sampean akan kerasan Kang Ibin. Santri-santri sini suka bermusyawarah dan rajin berjama’ah, bukan hanya dalam shalat saja. Dalam makan pun mereka berjama’ah. Biasanya mereka bagi tugas. Yang punya uang beli bahan, sedangkan yang tak punya kebagian tugas masak nasi dan lauk sampai matang. Mereka berbeda, namun tidak pernah mempermasalahkan perbedaan. Di sini, para santri Nushan Tara tak pernah diajarkan untuk saling membenci. Yang selalu dipesankan Simbah Kyai adalah tatakrama dan akhlaqul karimah kepada siapa saja, karena islam itu rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta. Ya sudah, mari saya antarkan ke kamar biar sampean bisa langsung istirahat Kang. Tentunya capek seharian menempuh perjalanan jauh.”
          Kang Ngalim menawarkan, dan Ibin mengiyakan.
          “Baik. Mari!”
          Setelah pulas istirahat, Kang Ngalim mengajak Ibin untuk segera menghadap Kyai Makarim karena besok sudah ramadhan. Mereka pun sowan untuk meminta izin supaya diperkenankan mengaji posonan di Pesantren Nushan Tara. Kyai Makarim mengizinkan, bahkan sangat senang dengan kedatangan Ibin.
*******
          Pesantren Nushan tara yang diasuh Kyai Makarim ini sudah sejak dulu menjaga tradisi para ulama pendahulu sembari menghidupkan local wisdom yang berkembang di masyarakat sekitar. Semboyannya adalah al-muhafadzah ‘ala al-qadiim ash-shaalih wal-akhdzu bil-jadiid al-ashlah, menjaga tradisi lama yang masih baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Ramadhan kali ini, kitab kuning yang akan dibaca oleh Kyai Makarim adalah kitab-kitab yang ditulis oleh ulama nusantara, yaitu: Kaasyifatus Saja karya Syekh Nawawi Banten, Siroojut Thoolibin karya Syekh Ihsan Jampes, dan Mandzuumatul Akhlaq karya Syekh Mahfudh Salam Kajen.
          Pengajian akan segera dimulai. Ibin nampak kesulitan mengenakan sarung. Karena tak terbiasa, perutnya pun terlihat menyembul seperti ibu hamil 5 bulan. Saat hendak berangkat, Kang Ngalim memanggilnya.
          “Kang! Di sini kalau ngaji harus pakai songkok hitam.”
          Tegur Kang Ngalim halus sambil menghampiri Ibin.
          “Punyaku cuma ini Mas? Trus gimana?”
          “Ya sudah, itu ada songkokku!”
          “Lha kamu Mas?”
          “Aku punya dua. Sudah, anggap saja itu punyamu.” 
          Kang Ngalim berangkat duluan untuk mempersiapkan pengajian. Sedangkan Ibin berangkat bersama santri-santri lain. Di tengah jalan, ia merasa ada yang ganjil dengan penampilannya. Apa ya? Ibin berpikir sejenak, lalu cepat-cepat ia menyembunyikan rambut gondrongnya yang berkuncir ke dalam songkok agar terlihat sedikit rapi meski gulungan sarungnya masih mondol-mondol.
          Kyai Makarim sudah memasuki mushalla pesantren untuk mengasuh pengajian. Beliau berperawakan tinggi besar. Kulitnya sawo matang, namun wajahnya begitu teduh berbinar cahaya. Tak berkumis, tapi di dagunya ada jenggot perak pendek dan tebal yang semakin membuat beliau terlihat berwibawa. Beliau suka mengenakan rasukan-rasukan (pakaian) produk dalam negeri. Kali ini yang beliau kenakan adalah baju batik Bakaran Juwana berwarna putih lengan panjang dan sarung tenun Troso Jepara yang juga berwarna putih. Jangan salah, meski  rasukan-rasukan Kyai Makarim bersifat lokal, namun pemikirannya bersifat global, dan ibadahnya bersifat internasional. Act locally, think globally & worship internationally. Entah Ibin kuat atau tidak, di Pesantren Nushan Tara ini shalat tarawih dan witir berjumlah 23 raka’at dan bacaannya menggunakan al-quran. Selama ramadhan dalam shalat tarawih, biasanya Kyai Makarim mampu mengkhatamkan al-quran sampai dua kali. Hmmm, rasanya seperti shalat tarawih di masjidil haram.
Kyai Makarim mulai mengasuh pengajian.
          “Sebelum membaca kitab Kasyifatus Saja, saya akan menyampaikan sebuah hadits musalsal bil-awwaliyyah. Hadits musalsal adalah sebuah hadits yang dalam sanadnya antara satu perawi dengan perawi setelahnya melakukan hal yang sama baik berupa perkataan, perbuatan atau kedua-duanya. hadits musalsal bil-awwaliyyah ini merupakan hadits pertama yang saya dengar dari guru saya Simbah Kyai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh Kajen, yang juga merupakan hadits pertama yang Kyai Sahal dengar dari Syekh Muhammad Yasin Padang,....”
          Kyai Makarim menyebut satu persatu nama para perawi hingga perawi pertama yang meriwayatkan hadits.
          “...yang juga merupakan hadits pertama yang didengar Abu Qabus budak Sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, diceritakan dari Sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الرّاحمون يرحمهم الرّحمن تبارك وتعالى، إرحموا من في الأرض يرحمكم من في السّماء
          Kyai Makarim membacanya dengan makna gandul, kemudian menterjemahkannya.
          “Orang-orang yang mengasihi akan dikasih-sayangi Sang Maha Pengasih, betapa ia Maha Berkah dan Maha Luhur. Kasih-sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya siapa saja yang ada di langit akan mengasih-sayangi kalian semua...”
          Setelah Kyai Makarim menyampaikan hadits musalsal tersebut, beliau mulai membaca kitab Kasyifatus Saja karya Syekh Nawawi Banten.
          Alhamdulillaahil ladzii waffaqqa man yasyaau min ‘ibaadihi liadaai afdholit thoo’aat.. alhamdu utawi sekabehani puji, lillaahi iku tetep kagungane Gusti Allah...
          Semua santri memaknai kitab kecuali Ibin. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Kitab itu dibaca dengan bahasa jawa ala pesantren, sedangkan ia orang sunda. Meski teman sekampusnya banyak yang berasal dari jawa, tapi ia tak begitu paham bahasa jawa, apalagi bahasa jawa ala pesantren. Ia pun menulis sekenanya segala yang dituturkan Kyai Makarim dengan aksara latin di bawah setiap kata dalam kitabnya. Kendati demikian, ia merasa bahagia karena telah menemukan salah satu hal yang paling dicarinya dari pesantren, yaitu: mata rantai keilmuan yang tersambung sampai Nabi Muhammad SAW.
*******
          Malam telah larut. Sebagian besar penghuni Pesantren Nushan Tara telah berpindah ke alam mimpi. Ada beberapa yang masih terjaga, karena tak ingin melewatkan malam-malam agung ramadhan begitu saja. Sedangkan Ibin belum kunjung tidur. Sedari tadi ia masih berada di teras mushalla pesantren, menatap kitabnya yang terbuka dengan pandangan kosong. Kang Ngalim yang memergokinya seperti itu dari tadi tiba-tiba mendekatinya. Sadar bahwa lurah pesantren menghampirinya, seketika Ibin mengusap-usap mata dan pipinya.
          “Jam segini mengapa belum tidur Kang Ibin?”
          “Ah, tidak apa-apa Mas Ngalim.”
          “Lho? Sampean nangis ta?”
          “Tidak Mas, tidak apa-apa.”
          “Kangen kampung halaman?”
          “Tidak Mas. Tidak apa-apa. Saya hanya menyesal mengapa baru sekarang saya masuk pesantren? Mengapa tidak dari dulu? Tapi buat apa menyesali yang telah lalu?”
          “Tidak usah terlalu dipikirkan Kang. Jalan hidup tiap orang itu berbeda-beda. Ada yang tegak lurus bebas hambatan, ada pula yang berliku penuh rintangan. Sampean di perjalankan Allah di lingkungan yang berbeda-beda itu tandanya Allah sayang sama sampean. Mengapa demikian? Karena sampean bisa mengambil ibrah dari berbagai kejadian. Beda dengan saya yang sejak kecil hidup di pesantren yang tahunya hanya lingkungan pesantren saja.”  
          Saat melihat kitab Ibin yang terbuka, Kang Ngalim kaget.
          “Kang Ibin belum bisa nulis arab? Kalau belum, nanti saya ajarin.”
          “Udah bisa Mas. Cuman ndak bisa memaknai seperti teman-teman. Jadinya ya begini.”
          Keluh Ibin sambil melirik makna latin yang menggandul di kitabnya.
          “Di pesantren, ngajinya ya begini ini Kang. Kyai membaca kitab, santri memaknai dengan menggandulkan tulisan arab pegon di setiap kata yang ada dalam kitab.”
          “Arab pegon? Maksudnya bagaimana Mas?”
          “Tulisan arab pegon itu bentuknya arab, tapi isinya jawa. Ini merupakan salah satu produk islam nusantara yang sampai sekarang masih dilestarikan Pesantren Nushan Tara. Dulu, tulisan pegon ini adalah media dakwah ulama nusantara untuk mengelabuhi para penjajah yang gemar merampas tulisan-tulisan latin atau jawa yang berbau ajaran agama, agar apa yang mereka dakwahkan sampai kepada kepada mereka yang membutuhkan. Makanya dinamakan pegon atau pego yang berarti plin-plan atau berwajah dua, untuk mengelabuhi para penjajah yang suka menipu. Sikap semacam ini dinamakan musyakalah atau menandingi. Menghadapi penjajah yang suka menipu, harus dengan tulisan arab pegon agar mereka tertipu Kang. Orang yang pemahaman agamanya mendalam tak pernah takut mati, dan hal inilah yang ditakutkan para penjajah, karena orang yang tak takut mati akan sulit dikalahkan.  Makanya para penjajah itu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan ajaran agama islam dari para pemeluknya. Disamping tulisan arab pegon, produk ulama nusantara lainnya adalah makna gandul, yaitu makna yang menggandul di setiap kata dalam kitab kuning. Makna gandul ditulis dengan arab pegon. Beda dengan makna lain, makna gandul mengungkapkan makna setiap kata dan fungsinya dalam sebuah kalimat. Seperti kata al-hamdu, utawi sekabehane puji. Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia hanya akan menjadi: segala puji, dengan menghilangkan utawi. Lalu kata lillaahi, iku tetep kagungane Gusti Allah. Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia hanya akan menjadi: bagi Allah, dengan menghilangkan iku tetep. Makna Utawi dan iku tetep ini adalah makna yang muncul sebab sebuah kata menempati satu posisi tertentu Kang, dalam hal ini kata al-hamdu menjadi mubtada’ dan kata lillahi menjadi khobar yang berbentuk jarr-majrur sehingga menyimpan makna kain/istaqarr yang berarti tetap. Para ulama nusantara mencetuskan makna gandul ini tujuannya agar para santri nusantara memiliki pemahaman yang mendalam ketika membaca sebuah teks arab sehingga tidak ada makna yang hilang dan terdistorsi.”
          Kang Ngalim menerangkan kepada Ibin sembari menuding ke arah kitab kasyifatus saja. Ibin antusias mendengarkan.
          “Membingungkan ya?”  
          “Tidak ah Mas. Saya jadi sedikit paham. Kalau teman-teman saya tahu tentang tulisan arab pegon dan makna gandul ini, mungkin mereka akan langsung berkata bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat. Lalu mereka akan menjadikannya dalih untuk menuduh bahwa gerakan #AyoMondok ternyata adalah gerakan liberal yang dipelopori oleh JIL. Sebuah tuduhan yang ternyata sama sekali tidak benar. Biarlah saya dikucilkan dan dituduh liberal, asal saya bisa nulis arab pegon sebagai sarana untuk memaknai dan memahami kitab yang telah dibaca oleh Simbah Kyai. Kalau Mas Ngalim ada waktu, saya mohon diajari nulis pegon Mas.”  
          “Siap Kang Ibin. InsyaAllah saya siap membantu.”
          Sejak itu, Ibin mulai belajar nulis pegon kepada Kang Ngalim. Setiap menemui makna-makna sulit yang tidak dipahami, langsung ia tanyakan kepada Kang Ngalim, kemudian ia catat. Kendati Ibin terkendala bahasa, namun semangatnya untuk belajar agama sungguh luar biasa. Ibin Tholibin, arti nama itu begitu melekat dalam dirinya: seorang anak para pencari arti tiada henti.
*******
          Siang itu Kang Ngalim bersama para pengurus pesantren terlihat begitu sibuk mempersiapkan sebuah acara. Di mushalla, santri-santri lalu-lalang untuk ikut membantu.
          “Ada acara apa ini Mas Ngalim? Kok ramai banget?”
          “Ini nanti sore ada acara khataman al-quran bin-nadzar, malamnya khataman al-quran bil-ghaib dalam shalat tarawih, lalu setelah isya’ khataman kitab sekaligus pembacaan sanad yang dipimpin langsung oleh Simbah Kyai. Agenda rutinan untuk memperingati nuzulul quran dan kemerdakaan Indonesia berdasarkan kalender hijriyyah Kang.”
          “Wah wah wah... banyak sekali acaranya ya Mas? Sampai-sampai ada peringatan hari kemerdekaan Indonesia juga.”
          “Memang inilah yang dikehendaki Simbah Kyai Kang. Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 bertepatan dengan ramadhan, bulan yang memerdekakan hamba dari siksa neraka. Tentang tanggalnya terdapat perselisihan. Ada yang berkata tanggal 17 dan ada yang berkata tanggal 9 ramadhan tahun 1365 Hijriyyah. Semua ini rasa-rasanya bukan merupakan sebuah kebetulan. 17 adalah angka keramat dalam islam, di mana pada tanggal itu al-quran diturunkan, dan 17 adalah jumlah rekaat shalat dalam sehari. Tentu Bung Karno tahu akan hal ini, dan menjadikannya spirit untuk berusaha memerdekakan Indonesia tepat pada tanggal 17. Al-quran turun pada bulan Ramadhan, dan Indonesia merdeka pada bulan ini juga. Sebuah pertanda bahwa Allah merahmati dan meridhai lahirnya negara kepulauan yang memiliki beragam suku dan bahasa ini. Letaknya berada di tengah-tengah bumi dan dilintasi garis khatulistiwa. Bukan sebuah kebetulan jika bangsa ini kemudian mampu menjadi ummatan wasathan yang mampu membumikan ajaran islam tanpa menghilangkan keindonesiaannya.”
          Ibin mangut-mangut sambil bergumam dalam hati. Ternyata benar bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan islam tradisional yang mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
          “Sudah dulu ya Kang. Disambung kapan-kapan lagi. Saya mau ndekor dulu.”
          “Oh, iya Mas. Maaf sudah mengganggu.”
          Acara demi acara berlangsung khidmat. Ibin yang tak pernah mengikuti acara khataman-khataman al-quran merasa berat, namun pada akhirnya ia kuat. Hingga tibalah acara puncak yang ditunggu-tunggu para santri, yaitu khataman kitab dan pembacaan sanad. Sebelum mengkhatamkan kitab, Kyai Makarim mengajak para santrinya untuk membaca surat al-fatihah yang dihaturkan teruntuk para pendahulu. Kemudian beliau membaca hadhrah (sebuah bacaan yang dibaca sebelum menghaturkan bacaan kepada seseorang) dan menyebut satu persatu nama-nama mereka selama 15 menit. Dalam rentang waktu itu, yang terekam jelas dalam ingatan Ibin hanya ada beberapa nama, yaitu: Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, Sayyidina Ali, Syekh Nawawi Banten, Syekh Ihsan Jampes, Syekh Mahfudz Salam Kajen, Pak Soekarno, dan Pak Mohammad Hatta, dan Pak Syahrir. Selain itu, tak ada lagi nama yang diingatnya karena jumlahnya begitu banyak.
          Setelah mengkhatamkan kitab, membaca sanad, dan berdoa, Kyai Makarim menyampaikan pesan kepada para santri-santri yang mengikuti pengajian selama Bulan Ramadhan sebelum mereka pulang ke kampung halaman.
          “Anak-anakku para santri Nushan Tara yang kucintai. Kita sekarang hidup di zaman penuh fitnah dan cobaan. Sing becik kecelik, sing ala ngrajalela. Sing salah ndelik, sing bener ora cetha. Mangka awak dewe kudu pinter nyekel iwake, senajan buthek banyune. Kudu bisa ngerteni kahanan, senajan zaman wis ora karu-karuan. Maka tak ada lagi yang bisa kita jadikan pegangan kecuali al-quran, hadits, dan pendapat para ulama salaf. Mengapa kita harus juga memegang pendapat para ulama salaf? Karena di tangan-tangan mereka lah, kemurnian ajaran islam terjaga dan tersambung hingga Rasullah Muhammad SAW. Di sinilah letak keutamaan sanad atau matarantai keilmuan, agar panjenengan semua tahu siapa guru-guru yang mengajarkan ilmu ini kepada panjenengan, karena kelak kita semua akan ditanya dari siapa kita belajar agama? Inilah tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan pesantren-pesantren di nusantara termasuk di Pesantren Nushan Tara ini, agar kita semua tidak melesat dan menyimpang dari ajaran Rasulullah Muhammad SAW seperti anak panah yang melesat keluar dari busurnya. Sanad itu bagaikan sebuah pohon. Orang yang pertama kali menanam pohon itu adalah Rasulullah Muhammad SAW. Dari pohon Rasul inilah para ulama mengambil buah kemudian menanam tunasnya agar tumbuh jadi pohon lagi sehingga para anak cucunya, murid-muridnya, dan umat islam sedunia bisa  merasakan buahnya dan menanam tunasnya lagi secara turun temurun sampai kelak hari kiamat. Lalu bagaimana mungkin kita bisa memahami secara mendalam tentang ajaran-ajaran islam yang diajarkan pada masa Rasul tanpa melalui perantara guru-guru kita para ulama salaf yang shalih-shalih itu?”
“Di zaman ini, begitu banyak aliran-aliran islam bermunculan. Semua mengaku paling benar dan paling selamat diantara aliran lain. Ada beberapa yang suka menyalahkan, memfitnah, dan bahkan mengkafirkan aliran yang tak sepaham dengan mereka. Ada juga yang sampai hati membunuh dan menghancurkan rumah-rumah saudara sesama muslim yang berbeda pandangan dengan mereka. Mereka bagaikan anak panah yang melesat keluar dari busurnya. Dan tabiat anak panah itu tajam, kejam, dan suka menyerang. Ini sama sekali bukan wajah islam yang diajarkan para pendahulu kita para ulama nusantara yang santun dan selalu menghargai sebuah perbedaan karena bagi mereka perbedaan adalah rahmat, wujud kasih sayang dari Allah Yang Maha Penyayang. Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq. Panjenengan semua tidak bisa baca kitab tidak apa-apa, yang penting satu ini yang harus benar-benar panjenengan jaga, akhlaqul karimah yakni etika dan tatakrama kepada siapa saja. Ini adalah ciri khas santri-santri nusantara yang harus kita dakwahkan bersama agar menyebar luas keseluruh penjuru dunia. Apalagi sebentar lagi akan diberlakukan masyarakat ekonomi asean atau AFTA, dimana masyarakat antar negara seluruh asean akan lebih sering bersinggungan. Maka mari kita kenalkan kepada dunia, bahwa islam itu santun, islam itu ramah, islam itu rukun, islam itu indah. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan tindakan nyata, dengan akhlaq dan etika, bukan hanya sekedar dengan kata-kata. Lisaanul haal afshahu min lisaanil maqaal, bahasa tindakan lebih fasih dari bahasa perkataan.”
“Kita harus bersyukur, lahir dan besar di Indonesia. Negara dengan beribu pulau beragam suku dan bahasa, tetapi mampu bersatu dan hidup rukun dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kita jangan mau diadu-domba, baik dengan saudara kita sesama muslim yang berbeda paham, maupun dengan saudara kita setanah air yang berbeda agama. Allah menciptakan kita laki-laki dan wanita, suku-suku dan bangsa-bangsa, agar kita saling mengenal dan menebar kasih sayang. Bukan malah saling bertengkar, saling menyerang dan mengajak perang. Sebaik-baik doa adalah mendoakan bangsa dan negara, dan sebaik-baik tindakan adalah menjaga kerukunan bangsa dan negara. Kalau negara aman, ibadah kita, belajar kita, dan hidup kita akan nyaman. Semoga islam kita menjadi islam Nushan Tara, yang selalu menjadi nasehat bagi setiap yang melihat...”
Setelah Kyai Makarim menyampaikan pesan, beliau pun berdiri hendak meninggalkan ruangan. Ribuan santri yang mengikuti pengajian kitab seketika berhambur ke arah Kyai Makarim untuk bersalaman dengan beliau. Mereka berdesak-desakan namun Kyai Makarim tetap sabar melayani satu persatu, seakan di tangan Kyai Makarim ada ribuan tunas yang jadi rebutan para santri untuk dibawa pulang dan ditanam di pekarangan kampung halaman.
*******
          Ramadhan telah usai. Ibin pulang ke kampung halaman. Begitu banyak kesan dan pelajaran yang ia dapatkan dari mondok di Pesantren Nushan Tara selama Bulan Ramadhan. Diantaranya adalah: songkok hitam simbol islam nusantara yang dihadiahkan Kang Ngalim kepadanya, hadits musalsal bil-awwaliyyah dari Kyai Makarim yang tersambung sampai Nabi Muhammad SAW, kitab-kitab karya ulama nusantara beserta makna gandul pegon dan sanadnya, dan sebuah kamus Bahasa Arab-Jawa-Sunda seputar kosa-kata yang ada dalam kitab Kaasyifatus Saja, Sirojut Tolibin, dan Mandzumatul Akhlaq hasil diskusi Ibin dengan Kang Ngalim yang kini telah ia jadikan kamus digital yang bisa didownload dan dinikmati siapa saja. Yang jauh lebih penting lagi dari apa yang ia dapatkan adalah sebuah tunas islam Nushan Tara yang ia peroleh dari Kyai Makarim, islam yang penuh nasehat bagi siapa saja yang melihat, yang tak suka menghujat namun gemar berbuat bagi umat.
          Sepulang dari shalat ied di masjid besar kampung halamannya, Ibin bertemu seorang perempuan tua berkerudung namun tak lazim. Wajahnya sudah berkeriput, rambutnya beruban, dan jalannya sempoyongan. Saat menatap perempuan itu dari kejauhan, hati Ibin berdesir hebat dan jantungnya berdebar-debur kuat. Ada semacam kenangan lama yang tiba-tiba menyeruak, menguak segala ingatan yang sebelumnya tak nampak. Jalannya terhenti, ia bertanya-tanya dalam hati. 
          “Bukankah itu???”
          Perempuan itu semakin mendekat ke arah Ibin. Iya benar, wajah itu sangat ia kenali. Hanya sekarang, guratan-guratan usia sudah mengerut di wajahnya. Tiba-tiba, ada yang berbisik dalam hati Ibin.
          Jangan kau dekati perempuan itu! Dia seorang kafir! Najis!
          Badannya lantas gemetaran. Dihelanya nafas agak panjang agar sedikit baikan. Sebentar kemudian ada suara lagi berbisik di hatinya.
          Bagaimanapun juga, ia adalah gurumu. Bukankah murid adalah hamba seorang guru meski hanya satu huruf saja yang diajarkan?
          Ibin tak tega melihat gurunya di SD Kanisius dulu yang sekarang berjalan sempoyongan itu. Guru yang selalu mengingatkannya agar lekas shalat ketika masjid sekitar sekolah berkumandang. Guru yang selalu menasehatinya agar jadi seorang muslim yang taat yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara. Guru yang selalu sabar membimbingnya mengeja huruf perhuruf, kata perkata, kalimat perkalimat, hingga paragraf perparagraf dalam Bahasa Indonesia. Guru yang selalu membela ketika ada teman sekelas yang beragama katolik mengejek dan melecehkannya. Guru yang pernah mengantarkannya pulang ke rumah karena sakit di kelas hingga tak kuat meneruskan pelajaran. Ibin benar-benar tidak tega. Matanya mulai basah karena iba. Ia pun langsung menghampiri perempuan tua itu.
          “Selamat pagi Ibu Maria...”
          Ibin menyapa gurunya yang bernama Maria kemudian mengecup tangannya. Perempuan tua itu kaget menyadari ada pemuda muslim bersarung dan berkopyah yang tiba-tiba menyapanya, menyalaminya dan bahkan mengecup tangannya.
          “Siapa ya?”
          Ibu Maria mengeryip-ngeryipkan matanya.
          “Saya Ibin Bu. Ibin Tholibin. Masih ingatkah ibu dengan saya?”
          “Puji Tuhaaan... Ibin yang pernah kuantar ke rumah saat dulu sakit di kelas itu?”
          “Benar Ibu... Hik...”
          Ibin berusaha membendung airmatanya.
          “Sekarang kamu sudah besar ya Nak? Puji Tuhaaan... Selamat hari raya idul fitri ya Ibin. Ibu mohon dimaafkan segala kesalahan... Benar-benar pagi yang indah, puji Tuhaaann...”
          “Hiksss... Harusnya Ibin yang minta maaf Ibuuu... Ibin banyak salah pada Ibuuu...”
          Tangis Ibin tak terbendung. Teringat jelas di benaknya bahwa ia pernah menganggap gurunya itu seorang kafir dan najis.
          “Tidak apa-apa Nak. Tak kau minta pun sudah ibu maafkan...”
“Terima kasih Ibu... Mari saya hantar ibu pulang ke rumah...”
          “Puji Tuhaann.. terima kasih banyak Naaak.. Semoga Allah memberkatimu, menjadikanmu muslim yang taat, yang berguna bagi nusa dan bangsa...”
          Ibin menggandeng lengan gurunya itu yang saat ini sangat butuh sandaran karena jalannya sudah sempoyongan. Para penyayang dan pengasih akan disayang Sang Maha Penyayang dan Maha Pengasih...

PMH Pusat Kajen, 09 Ramadhan 1436 H


[1] Ditulis untuk mendukung gerakan nasional #AyoMondok & kampanye islam nusantara. Pernah dibedah pada tanggal 17 Agustus 2015 di PP Shofa Azzahra Gembong Pati.
[2] Ketua pengurus.
[3] Kak, sebutan familiar di kalangan pesantren

Tidak ada komentar:

Posting Komentar