Rabu, 28 Oktober 2015

Menyambut AFTA Dengan Pendidikan Multikultural* (Sebuah Essai)



Oleh: Sahal Mahfudh**

وما كان المؤمنون لينفروا كافّة فلولا نفر من كلّ فرقة منهم طائفة ليتفقّهوا في الدّين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلّهم يحذرون[1]
“Tidaklah orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama dan memperingatkan kaumnya ketika kembali kepadanya agar mereka dapat menjaga dirinya.”
Asean Free Trade Area (AFTA) atau yang sering disebut dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merupakan sebuah kesepakatan antara berbagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara dalam membentuk sebuah kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
            Dengan diberlakukakannya AFTA, negara-negara dengan tradisi dan karakter berbeda itu akan membuat sebuah komunitas atau masyarakat yang lebih besar, dimana berbagai budaya dan tradisi dari para bangsa yang berbeda akan bertemu. Dan pertemuan ini, sedikit banyak tentu akan membawa pengaruh baik positif ataupun negatif terhadap negara-negara yang menjadi anggota AFTA. AFTA akan membuat persaingan antar berbagai negara ASEAN semakin ketat, dimana negara yang kuat akan semakin berkembang pesat, sedangkan negara yang lemah cepat atau lambat akan tertindas dan terjajah.
            Tantangan AFTA atau MEA yang akan berlaku mulai tahun 2015 bagi bangsa Indonesia adalah ancaman kehilangan jatidiri dan identitas Indonesia sebagai bangsa, manakala Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Akan tetapi jika bangsa Indonesia memiliki kepribadian yang kuat dan tidak mudah terpengaruh pribadi negara lain, memiliki identitas dan jatidiri yang kokoh untuk menjadi dirinya sendiri dan tidak ingin berjatidiri negara lain, untuk menjadi dirinya sendiri yang menghormati jati diri negara lain, Indonesia akan menjadi tonggak kemajuan tempat bersandar negara-negara ASEAN.
Sebagai warga Negara Indonesia, selayaknya-lah kita menjaga tradisi, budaya serta nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dan sebagai orang Islam, tentulah kita harus menjaga ciri khas Islam ala Indonesia, yang ramah, moderat dan toleran. Tidak serta merta kemudian AFTA itu menjadi sebuah gerbong besar yang membawa bangsa Indonesia keluar jauh untuk kehilangan jatidirinya. Dan disinilah, arti penting apa yang disebut dengan pendidikan multikultural, yakni proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama, dalam konteks MEA untuk mempererat hubungan antar sesama anggota masyarakat ASEAN.  Dengan demikian, pendidikan multikultural begitu menghargai harkat dan martabat manusia, sehingga pendidikan dilaksanakan untuk --meminjam bahasa KH Musthofa Bisyri (Gus Mus)-- menjadi manusia, yang tahu bahwa dirinya manusia, dan memanusiakan manusia. Jika pendidikan multikultural ini diterapkan dalam konteks MEA akan mendatangkan sakinah, mawaddah, warahmah kepada masyarakat ASEAN.
            Dari ayat yang telah disebutkan di atas, dapat difahami bahwa tidaklah orang-orang mukmin itu semua-mua keluar untuk pergi bekerja atau pergi berperang atau pergi berdagang. Tetapi hendaklah ada sebagian dari mereka yang berkenan untuk mendalami agama sedalam-dalamnya, agar apabila mereka kembali ke kampung halaman, mereka berkenan memperingatkan (baca: memberdayakan) masyarakatnya sehingga masyarakatnya mampu menjaga dirinya.
            Dalam sebuah negara, dalam sebuah tatanan masyarakat, untuk menjaga kelestarian tradisi dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat tersebut, dibutuhkan adanya kelompok-kelompok yang benar-benar mau mendalami dan mengamalkan nilai-nilai juga mengajak yang lainnya untuk turut serta menjaga tradisi dan budaya. Kelompok-kelompok inilah yang bertugas menjaga pilar-pilar bangsa Indonesia agar tetap berdiri kokoh dengan menjalankan pendidikan multikultural yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, budaya, dan pancasila.
            Dari ayat yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita fahami bahwa esensi pendidikan sendiri adalah untuk membangun, memberdayakan masyarakatnya (ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم). Untuk membangun dan memberdayakan sebuah masyarakat, dibutuhkan pemahaman tentang watak, karakteristik serta nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Karena sebuah pengetahuan yang telah dimiliki harus dikontekstualisasikan dan disinergikan dengan masyarakat. Hakikat pendidikan bukanlah --meminjam bahasa Paulo Freire-- untuk menjadi “menara gading” yang tinggi menjulang sendiri dan menjauh dari bumi. Pendidikan harus membumi, mengerti budaya dan tradisi masyarakat yang ditempati agar tidak menghilangkan jatidiri. Dan inilah hakikat pendidikan multikultural.
            Untuk mengembangkan pendidikan multikultural, setidaknya ada 3 cara yang dapat ditempuh sebagaimana yang tersurat dalam Surat an-Nahl ayat 125[2]:
1.      Dengan Hikmah, yakni mendidik bangsa dengan perilaku. Memulai perubahan menuju kebaikan sembari menjaga tradisi, dimulai dari diri sendiri baru kemudian mengajak orang lain. Karena bahasa perbuatan lebih fasih dari bahasa perkataan.
2.     Dengan Mau’idzoh Hasanah, yakni tutur kata yang baik. Mengajak dengan bahasa yang santun, tidak dengan bahasa yang arogan dan kasar. Tidak menghardik dan mempersalahkan.
3.     Dengan Jadilhum bil-lati hiya ahsan, yakni sebuah perdebatan atau diskusi atau dialog yang mengantarkan kepada kebaikan. Kalau perdebatan dan diskusi itu justru menimbulkan kisruh, lebih baik ditinggalkan. Ini merupakan alternatif terakhir setelah Hikmah dan Maw’idzoh Hasanah.
Diharapkan dengan adanya pendidikan multicultural yang berbasis pada nilai-nilai budaya, agama, dan pancasila, kita sebagai bangsa Indonesia yang beragama Islam dapat mempertahankan jatidiri bangsa Indonesia dan jatidiri muslim Indonesia di tengah derasnya arus perubahan zaman utamanya nanti ketika kita tengah berada dalam situasi bebas nilai ketika AFTA atau MEA diberlakukan.




BahanBacaan:
Al-Quran al-Karim
Jalaluddin as-Suyuthi&Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain.
Jalaluddin as-Suyuthi, Lubab an-Nuqul.
HunisyatusSalamah, PendidikanMultikultural: UpayaMembangunKeberagamanInklusif Di Sekolah.
Tim Permata Press, Undang-UndangSistemPendidikanNasional.
Paulo Freire, PendidikanKaumTertindas.
MushtofaBisyri, MencariBening Mata Air.




* Disampaikan pada Hari Senin 29 Desember 2014 di STAI Mathali’ul Falah dalam kajian Tafsir Tematik yang diselenggarakan oleh UKM Qurro’ wal Huffadz.
** Alumni STAI Mathali’ul Falah angkatan ke-3.
[1] QS at-Taubah ayat 122.
[2]Ayatnya adalah:
أدع إلى سبيل ربّك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالّتي هي أحسن

Tidak ada komentar:

Posting Komentar