Oleh:
Sahal Japara
Hujan
belum lagi turun. Kemarau panjang membikin Pak Tani meradang, karena
kedatangannya selalu mengubah sawah menjadi ladang. Ia cangkuli tanah yang
sudah kering kerontang dan gersang itu. Batang-batang pohon ketela yang tak
dikeringkan untuk menjadi kayu bakar, ia tancapkan satu persatu. Pak Tani masih
percaya kalau tanah airnya adalah surga. Walaupun kemarau begitu panjang
layaknya naga, Pak Tani percaya bahwa tanah-tanah kering itu masih menyimpan sebuah
telaga.
Terik
mentari semakin meninggi. Panas pun semakin menjadi-jadi. Caping yang dikenakan
Pak Tani hanya melindungi kepalanya. Sedang kaos oblong yang dikenakannya masih
menyisakan separuh dada, leher dan separuh tangannya hingga bebas dijamah
mentari. Celana pendeknya tak sampai mata kaki. Ada perbedaan yang sungguh
kentara, antara anggota badan Pak Tani yang tertutupi dengan yang langsung
terkena sengatan matahari. Separuh hitam kecoklatan, separuh lagi cokelat sawo
matang.
Sudah.
Sekarang sudah waktunya istirahat Pak Tani. Jangan engkau paksa dirimu dengan
hal-hal yang membuatmu merasa berat terbebani.
Pak
Tani akhirnya pulang dengan membawa batang-batang ketela yang masih tersisa.
Ukh, rasanya, angin yang menerpa Pak Tani meniupkan uap-uap neraka. Panasnya
tiada terkira. Melihat omah kayu-nya dari kejauhan, Pak Tani mempercepat
langkah-langkahnya. Bukan, omah kayu Pak Tani bukanlah rumah kayu yang menempel
di pohon, yang belakangan menjadi salah satu destinasi wisata para wisatawan.
Omah kayu Pak Tani masih menempel di tanah, bahkan lantainya pun menyatu dengan
tanah. Dindingnya kulit-kulit bambu yang teranyam menjadi satu. Atapnya
dedaunan rumbia yang diikat rapat menjadi satu, yang disangga sebagian oleh
batang pohon kelapa, sebagian oleh batang pohon mangga, dan sebagian yang lain
disangga oleh batang pohon bambu. Jendela dan pintunya adalah kumpulan kekayu,
yang semula tiada guna kemudian ia tambal menjadi satu.
Meski
hanya omah kayu, Pak Tani sangat nyaman tinggal di sana. Atap rerumbia
dan dinding kulit bambu di waktu kemarau panjang mampu menyaring uap neraka
yang tertiup angin, sehingga yang masuk ke dalam rumah hanyalah belaian angin
yang sejuk lagi ramah. Kala musim penghujan datang, atap rerumbia layaknya selimut
omah kayu yang menghangatkan Pak Tani dari pelukan udara dingin.
Bukan
hanya Pak Tani yang dibikin nyaman tinggal oleh omah kayu. Hewan-hewan
ternak Pak Tani pun merasa nyaman dan enak. Dalam dekapan omah kayu, mereka
sering tertidur nyenyak dan jenak, walaupun sebenarnya mereka tak pernah
kenyang semenjak sawah Pak Tani menjadi ladang. Kalau boleh dikata, omah kayu
Pak Tani dibangun atas dasar rahmatan lil ‘alamin, wujud kasih sayang
Tuhan untuk alam semesta. Semua unsur kehidupan yang berbeda terajut menjadi
satu kesatuan yang padu untuk menebar cinta penuh makna kepada yang lainnya. Ia
mirip firman Tuhan yang berabad-abad lalu dibumikan oleh sang pembawa pesan,
Baginda Muhammad SAW. Apakah itu? Ummah! Betul, omah Pak Tani seperti
pengertian ummah yang menurut beberapa cendekia tak pernah
dikekang untuk siapa, dan tak pernah dibatasi kapan waktunya. Semua boleh masuk
dan hidup merdeka di sana selama patuh pada norma-norma. Adapun kayu yang
terajut menjadi satu dalam omah Pak Tani itu, terdengar seperti mantra seorang
murid Kyai Kholil Bangkalan yang berjalan di atas lautan sembari membawa sandal
kyainya yang ketinggalan. Apakah itu? Kayu, sifat Sang Maha Hidup yang telah
dijawa-madurakan oleh santri Kyai Kholil itu, yaitu: Hayyu! Omah kayu, ummah
hayyu, sebuah tempat dimana siapa saja bisa hidup dengan merdeka, tinggal
dengan aman dan nyaman sampai kapan pun jua.
Pak
Tani merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu, setelah melepas caping dan
menggantungkannya di paku yang menancap di saka penyangga omah kayu. Ia
lepaskan segala kepedihan. Ia hempaskan segala kepenatan. Uap-uap neraka yang
menerpa Pak Tani di luar sana, tak kuasa masuk menembus pedalaman omah kayu. Baginya,
omah kayu adalah surga. Dan di surga, takkan ada uap neraka. Uap neraka saja
tiada, apalagi percikan apinya? Tentu takkan pernah ada! Pak Tani pun tertidur
dengan lelapnya.
“Arghhh!!!”
Tiba-tiba
Pak Tani berteriak, setelah tertidur beberapa saat.
“Siapa
mencubitku tadi???”
Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Siapa???”
Ia
cari-cari, siapa yang baru saja mencubitnya? Tiada yang menjawab. Sepi!
“Siapa
yang baru saja mencubitku??? Siapa yang membangunkan tidur siangku??? Berani-beraninya
masuk omah kayu-ku tanpa seizinku!”
Benar-benar
sepi. Tak ada yang menjawab.
Digeragapinya
bagian tubuh yang baru saja dicubit oleh entah siapa. Dielus-elus sebentar,
kemudian Pak Tani tidur lagi seperti sedang tidak terjadi apa-apa. Tidur siang
di musim kemarau menjadi sebuah kewajiban bagi Pak Tani untuk meng-charge energy
agar kuat melanjutkan usaha tanpa tanda jasanya sampai senja hari.
“Argghh…
Kurang ajarrr! Siapa yang mencubitku lagi??? Siapa yang menusuk punggungku???”
Pak
Tani kembali terbangun. Kali ini, ia amati tempat di mana ia merebahkan tubuh.
“Kurang
ajarrr!”
Dilihatnya
hewan kecil hitam seukuran semut tengah berjalan dan nampak mengejeknya. Seketika
Pak Tani mengambil sebatang kayu ketela yang belum sempat ia tancapkan di
sawahnya yang telah menjadi ladang.
Praaaakk!
Praaakkk! Praaakk!
Sebatang
kayu ketela itu dipukulkan Pak Tani berulang-ulang ke dipan.
“Mati
kau! Siapa kamu? Berani-beraninya mengganggu tidur siangku!”
Apa?
hewan kecil hitam itu telah hilang!
“Keluar
kau! Jangan sembunyi! Keluarrr!”
Praaak!
Praaak! Praaak!
“Mati
kau! Uhuk… Uhuk…”
Pak
Tani memukuli dipan kayunya yang sudah lapuk sampai terbatuk-batuk,
sampai puas melampiaskan segala amarahnya yang seketika mengemuka sejak digigit
hewan kecil hitam itu. Omah kayu yang semula mampu memfilter uap-uap neraka,
sekarang telah lumpuh tiada daya. Celah-celah kecil di dinding bebambu, atap
rerumbia, tambalan kayu pintu dan jendela, bahkan lubang-lubang kecil di hati
dan fikiran Pak Tani tiba-tiba menjadi jalan masuk uap neraka yang
menghilangkan kesejukan di dalam omah kayu dalam beberapa menit saja. Udara
surga tiba-tiba menghilang entah kemana. Apa yang sekarang dihisap Pak Tani,
juga hewan-hewan yang tengah berteriak ketakutan karena mendengar kemarahan Pak
Tani, bukanlah udara surga, melainkan uap-uap neraka.
“Arggghhh!
Kurang ajarrrr!”
Tiba-tiba
Pak Tani berteriak lagi. Kali ini lebih kencang. Yang semula punggung, sekarang
pantat Pak Tani yang diserang hewan kecil hitam itu karena pantat Pak Tani
menempel di dipan. Ternyata hewan itu belum mati.
Praaak!
Praaak! Praaak! Prakkkk….!
Dipan
lapuk yang dipukuli Pak Tani berulang-ulang kali itu akhirnya patah.
“Mati
kau!!!”
Praaak!
Praaak….!
Tangan
Pak Tani sudah lemas. Nafasnya tersengal-tersengal antara capek, kesal dan
sebal.
“Hufhhh…
Hufhhhh… Hufhhh…”
Hewan
kecil hitam itu muncul lagi dari sela-sela kayu dipan yang sudah lapuk
sembari menari-nari di atas kayu dipan yang sudah hampir remuk. Amarah
Pak Tani semakin berkecamuk. Diraihnya kembali sebatang kayu ketela untuk
dipukulkannya kepada makhluk kecil kurang ajar itu, dan…
Praaakk….!
Kayu
ketela yang dipegang Pak Tani patah. Pak Tani tak habis pikir. Mengapa hewan
kecil hitam yang mengganggu tidurnya itu masih belum mati meski sudah dipukuli
berkali-kali?
Kemarahan
Pak Tani semakin menjadi-jadi.
“Api???
Iya, api akan membuatmu mati!”
Diambilnya
sekotak korek api yang tersimpan di saku celana, kemudian Pak Tani menyulut api
tepat dimana hewan menjengkelkan itu berjalan lamban sambil mengejek.
“Hahahaha…
Mati kau! Rasakan!”
Kelakar
Pak Tani sambil tertawa terbahak-bahak. Benar. Api telah membuat hewan kecil
hitam itu mati secara mengenaskan. Wujudnya benar-benar lenyap dilalap api.
“Arghhh…!”
Kenapa?
Kenapa tiba-tiba Pak Tani menjerit lagi?
Rupanya,
lagi-lagi ada yang menusuk punggung Pak Tani saat ia bersandar di dinding. Pak
Tani menoleh dan mendapati seekor hewan kecil berjalan pelan-pelan di sela-sela
dinding bebambu. Seketika amarahnya memuncak. Yang dikira sudah mati, ternyata
punya banyak teman yang berusaha untuk melawan.
“Kurang
ajar! Sejak kapan kau tinggal di omah kayuku ini? Siapa yang memanggilmu
kesini? Hah? Cepat pergi kau! Ke neraka! Dan jangan kembali lagi!”
Disulutnya
api tepat dimana hewan kecil hitam itu berjalan. Dan lenyaplah hewan kecil
hitam itu dimakan api. Amarah Pak Tani masih berkobar-kobar di dalam dada.
Tidur siang wajib yang selalu ia lakukan saat tengah hari, tiba-tiba dirusak
hewan kecil hitam yang orang-orang menyebutnya dengan kutu kasur atau tinggi.
Hanya karena seekor tinggi, Pak Tani sudah tidak lagi merasa aman tidur di
dalam rumah. Ia pun keluar, kemudian menggelar tikar di bawah pohon.
Dilanjutkannya tidur siang wajibnya, seakan tidak terjadi apa-apa. Pak Tani
terlelap untuk menyambung mimpi-mimpi yang masih belum selesai.
Beberapa
menit kemudian, hewan-hewan ternak dan piaraan Pak Tani berteriak.
Betokkk,
betokkkkk, betooookkkk…!
Ayam-ayam
berkotek.
Ngogghh,….
Ngoggggghhh…!
Sapi-sapi
melenguh.
Embeeeekkk…
Embeeekkkk…!
Kambing-kambing
mengembik.
Meoooonggg…
Meonggggg…!
Dan
kucing-kucing mengeong.
Teriakan
mereka terdengar begitu kencang. Sepertinya, mereka bukan sedang berteriak meminta
makan, karena mereka bukan hewan manja. Lalu, karena apa? Astaga, ternyata mereka
berteriak minta tolong! Pak Tani yang balas dendam karena tidur siang wajibnya
terganggu, sama sekali tak mendengar teriakan ternak dan piaraannya.
Sisa-sisa
api yang digunakan untuk membakar tinggi di dipan lupa dipadamkan
oleh Pak Tani. Walhasil, omah kayu Pak Tani bukan hanya penuh oleh uap
neraka, tetapi sudah dilalap habis api yang tersulut karena murka.
“Ya
Allaaah Gusti! Ya Allah Gusti!”
Pak
Tani terbangun dan kaget bukan kepalang mendapati omah kayu surganya
telah berubah menjadi neraka. Kedua matanya dikucek-kucek untuk memastikan
apakah yang dilihatnya itu benar-benar terjadi, atau hanya mimpi belaka.
“Astaghfirullaaah…
Gusti! Gusti! Nyuwun pangapunten Gusti!”
Pak
Tani beristighfar melihat omah kayu, tempat ia merebah, tempat ia
beristirahat, tempat ia berteduh dari sengatan matahari, tempat ia mencari
kehangatan di musim penghujan dan malam hari, tempat ia menumbuhkan telaga di
dalam hati saat kemarau panjang menerjang tiada henti, tempat ia menepikan
uap-uap neraka tatkala angin kemarau menghembuskannya kemana saja, omah kayu
itu dalam sekejap habis dilalap kobaran api.
“Ya
Allah… Mengapa semua jadi begini? Hamba mohon ampun Gusti!”
Pak
Tani meratap sembari menatap lekat-lekat omah kayu surganya dibumihanguskan
percikan murka neraka. Ia tak tahu harus meminta tolong kepada siapa, karena
Pak Tani tak memiliki tetangga dekat. Ia tak tahu bagaimana caranya memadamkan
kobaran api, sementara sumur dan sungai dekat rumahnya sudah tiada air lagi.
Pak Tani hanya mampu menelan ludah. Siapa tahu air ludah yang tertelan mampu memadamkan
api rasa yang sedang bergejolak di dalam jiwa. Pak Tani telah benar-benar
kehilangan omah kayu surganya beserta hewan ternak dan piaraannya hanya
karena seekor tinggi.
“Jangan
jadi Pak Tani yang secara tidak sadar membakar omah kayu-nya sendiri hanya
karena digigit tinggi!”
Kyai
Wahid tokoh pemuka agama di kampung Damai Sentausa menasehati dua kelompok agama
yang tengah bertikai hanya gara-gara masalah sepele, setelah panjang lebar
menceritakan tentang omah kayu Pak Tani tetangga desa yang secara tidak
sadar dibakar sendiri beberapa hari lalu karena seekor tinggi.
“Mari
kita jaga bersama kampung kita, rumah kita, negara kita dan surga kita. Jangan
mau diadudomba oleh fihak-fihak yang menginginkan kita terpecah belah, lalu
saling serang dan saling perang antara satu dengan yang lain. Al-quwwatu
fil-ittihad wadh-dhu’fu fit-tafarruq, bersatu kita teguh bercerai kita
runtuh. Bangsa kita mampu merdeka, karena para pendahulu senantiasa
mencari-cari persamaan antar suku, antar agama dan antar budaya untuk
dipertemukan dan dipersatukan di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka selalu menepikan perbedaan yang justru memisah, memecah dan membelah
persatuan NKRI. Jangan hanya gara-gara tinggi, hanya gara-gara masalah
sepele dan isu yang tidak pasti, kita dengan mudahnya mengkafirkan dan
menyerang kelompok lain yang tidak sepaham. Sekali-kali jangan! Jika ingin Indonesiamu,
negaramu, bangsamu, rumahmu dan omah-mu tidak terbakar karena
tangan-tanganmu sendiri. Mereka semua, pihak-pihak yang menginginkan kita
terpecah belah, selalu menebar-nyebarkan tinggi si kutu busuk untuk
menggigit pikiran dan hati kita. Tujuannya apa? Agar api amarah dalam diri kita
berkobar, lalu membutuhkan kayu bakar yang tak lain adalah saudara kita
sendiri. Ingatlah selalu, bahwa kita adalah saudara se-udara, sekumpulan
manusia yang menghirup udara sama, maka jangan kotori udaramu dengan uap-uap
neraka, jika tak ingin semua mati karena sesak dada. Jangan gampang mencela dan
memaki orang lain. Memaki umat beragama lain saja dilarang Tuhan, apalagi
memaki saudara muslim yang berbeda faham? Wala tasubbul ladziina yad’uuna
min duunillaahi fayasubbullaaha ‘adwan bighairi ‘ilmin, jangan memaki orang
lain kalau tak ingin dimaki. Jangan membakar rumah orang lain, kalau tak ingin
rumahmu terbakar sendiri.”
Dua
kelompok agama yang bertikai beserta pemimpinnya mendengarkan dengan khidmat
nasehat kyai yang sangat disegani di kampung Damai Sentausa itu karena usaha
gigihnya dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Namanya Kyai Wahid,
artinya “satu”, suka mempersatukan dan membingkai perbedaan dalam kesatuan.
“Indonesia
adalah omah kita yang harus dijaga dan dilestarikan secara bersama-sama.
Mengapa saya katakan omah, bukan rumah? Karena omah lebih dekat
dengan kata ummah yang biasa diartikan umat, bangsa atau masyarakat. Bukan
hanya itu, kata ummah lebih luas dari sekedar umat, bangsa dan masyarakat,
karena ia bisa memberikan kehidupan merdeka kepada siapa saja dan kapan saja.
Tidakkah kalian lihat? Tatkala Abbasiyah mencapai puncak keemasan, tatkala
Andalusia menggapai puncak peradaban, apakah mereka lebih mengurusi perbedaan dalam
diri mereka, yang justru memantik perpecahan hingga terjadi peperangan yang
membuat para ulama, para intelektual dan para ilmuan mencurahkan segala daya
upayanya hanya untuk mencapai perdamaian? Bukan malah memajukan peradaban?
Bukan malah mengembangkan keilmuan? Apakah mereka lebih mementingkan perihal
yang demikian? Tidak! Karena tidak mungkin peradaban islam maju dan berkembang
di atas perpecahan. Bagaimana mungkin gelas yang retak bisa menampung air
dengan utuh dan penuh? Bagaimana mungkin? Kemajuan peradaban islam bukan serta
merta soal politik dan perluasan kekuasaan. Sekali-kali bukan! Apalagi jika
kekuasaan diraih dengan menumpahkan darah saudara sendiri, dengan menjadikan
agama sebagai kedok dan dalih. Maka yang terjadi bukanlah memurnikan dan
mensucikan agama, tetapi malah sebaliknya, yakni menistakan dan mengotori agama
dengan menumpahkan darah saudara sendiri.”
Semua
yang hadir di dalam ruangan menunduk takluk menghadapi nasehat Kyai Wahid yang
laksana hujan, membasahi tanah gersang kering kerontang, hingga hati nurani
mereka bergetar hidup dan amarah mereka menjadi redup. Mata mereka mulai
berkaca-kaca dan basah oleh hujan nasehat Kyai Wahid yang teduh menentramkan
jiwa.
“Di
dalam ummah, terdapat al-umm dan al-imam. Untuk menjaga omah
kita agar tetap lestari, kita harus meneladani sifat-sifat al-umm, yaitu
ibu yang dengan teliti menjaga segala yang dimiliki, serta menjadi empu dari
segala sesuatu. Ibu yang menjadi surga yang selalu merindukan penghuninya, Ibu
yang menjadi samudera yang menutupi aib anak-anaknya, Ibu yang menjadi angin
segar di kala panas terasa cetar, dan Ibu yang menjadi selimut di kala dingin
membuat badan manusia menggigil dan bergetar. Mengapa tanah air kita dinamakan
ibu pertiwi? Mengapa kota yang menjadi pusat pemerintahan dinamakan ibukota?
Tidakkah kalian fikirkan, mengapa bisa demikian? Karena al-umm atau ibu
adalah pusat tempat bertumpu segala sesuatu. Bukankah surga ada di telapak
kakinya? Bukankah sifat Rahim Tuhan tersimpan di dalam dirinya? Kasih
sayang! Jika kita mampu mengasihi dan menyayangi siapapun tanpa terkecuali,
maka besar kemungkinan omah yang kita tempati ini akan menjadi al-imam
atau pemimpin di kemudian hari. Pemimpin dengan kasih sayangnya akan
terangkat dengan sendiri, sedangkan penguasa dengan angkara murkanya akan
hancur-lebur sebentar lagi. Pada waktunya nanti, sejarah akan mencatat mana
yang menjadi pemimpin sejati dan mana yang hanya menjadi penguasa dengan
semena-mena. Sejelek-jelek Indonesia, jika dibangun atas dasar taqwa, maka akan
senantiasa damai sentausa. Sebaik-baik Indonesia, jika dibangun atas dasar
angkara murka, maka akan lekas hilang dan binasa. Mari kita rawat dan kita
ruwat bersama omah besar kita ini dengan taqwa, etika dan tatakrama.”
Kyai
Wahid kemudian mengajak dua kelompok yang sebelumnya berseteru karena masalah
ranting kecil dalam pohon besar agama itu untuk saling memaafkan dan menyambung
kembali tali jiwa yang telah rantas dan hampir putus karena percikan api yang
makin hari makin besar karena ditiupi tinggi-tinggi yang pandai
bersembunyi di celah-celah mereka.
Jangan
hanya karena tinggi yang menggigit dan mengganggu tidur-siangmu, dengan
mudahnya kau bakar seluruh omah kayu-mu dengan tanpa sadar. Jangan hanya
karena kata orang tentang kejelekan saudaramu, dengan mudahnya kau rendahkan
dan kau hancurkan saudaramu dengan tanpa sabar. Wallahu fi ‘aunil ‘abdi, maa
daamal ‘abdu fi ‘auni akhiihi…
Temas, Senin 02 November
2015.
Ditulis tatkala uap-uap
neraka mengotori udara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar