oleh: Sahal Japara
Novel ini bercerita tentang seorang santri yang menimba ilmu
dan air kehidupan di desa para santri yang punya julukan tanah surgi, yaitu
Kajen. Nama aslinya Fauzan, tetapi ia lebih sering dipanggil Paejan semenjak
mondok di Pondok Pesantren Al-Hikam yang diasuh oleh Mbah Jogo seorang kyai
yang ahlul quran dan ngalim dhohir bathin.
Paejan dilahirkan dalam keluarga agamis. Ibunya seorang
guru mengaji al-quran dan Bapaknya adalah seorang pengrajin macan kurung, karya
ukir khas Jepara yang kian hari kian tak diminati. Macan kurung terbuat dari
sebalok kayu jati yang dipahat dan diukir tanpa lem dan tanpa sambungan kayu membentuk
sebuah kurungan yang di dalamnya terdapat seekor macan yang dirantai. Menjadi
seorang pengrajin macan kurung membuat Bapak Paejan menjaga dan mengamalkan
falsafah macan kurung. Sebalok kayu jati
adalah ibarat seorang manusia. Dari balok itu, muncul seekor macan yang dipahat
tanpa lem dan tanpa sambungan kayu. Artinya setiap manusia pasti memiliki nafsu yang tidak
dapat dipisahkan dari dirinya yang mampu mengoyak-rusakkan hidupnya seperti
seekor macan. Maka nafsu yang diibaratkan macan itu harus selalu dirantai dan
dikurungi agar tidak mengalahkan manusia.
Sebelum
dipondokkan, Paejan merupakan anak yang bandel, nakal dan sulit diatur
sampai-sampai orang tuanya sering mengelus dada. Segala macam cara ditempuh
oleh Bapak dan Ibunya, namun selalu kandas melawan kenakalan Paejan yang begitu
akut. Pada suatu malam ketika sang Ibu bermunajat kepada Tuhan, tiba-tiba ada
suara tanpa rupa membisik di telinga Ibu Paejan: “Nek kepengen anakmu mari,
dusi banyu Kajen![1]” Kemudian, setelah
mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Bapak dan Ibu Paejan memutuskan untuk memondokkannya
di Pesantren Al-Hikam Kajen. Meskipun kondisi ekonomi keluarga sedang kritis
karena produk macan kurung yang sudah tidak laku di pasaran, Bapak dan
Ibu Paejan tetap mantap dengan pilihannya. Mereka yakin bahwa setiap orang yang
menempuh jalan menuju Tuhan, akan dituntun, ditunjukkan, dan dimudahkan. Dan
benarlah, semenjak Paejan mondok rezeki keluarga melimpah ruah. Setelah
Bapaknya memenangi lomba logo branding kota Jepara, ia mendapatkan
banyak job mengajari pemuda-pemuda Jepara untuk membuat karya ukir khas Jepara
yang lambat laun hanya tersisa beberapa gelintir orang yang benar-benar mampu
untuk membuat model aslinya, yaitu patung macan kurung yang terbuat dari
sebalok kayu jati tanpa lem dan tanpa sambungan kayu.
Ketika
hendak masuk ke Pesantren al-Hikam, Mbah Jogo mengajukan sebuah syarat kepada
Paejan jika ingin diterima menjadi santrinya. Apa syaratnya? Tirakat! Jadilah Kuntul
Nucuk Mbulan!
Karena
tidak faham dengan istilah-istilah itu, Paejan pun bertanya kepada Mbah Jogo,
tetapi Mbah Jogo justru meminta Paejan untuk mencari artinya sendiri. Kuntul
Nucuk Mbulan merupakan gambar dua burung bangau berwarna biru yang mematuk
rembulan sabit emas dari dua sisi. Gambar ini terpahat di mimbar masjid Kajen,
dan konon merupakan peninggalan bersejarah seorang wali yang menyebarkan Islam
di Desa Kajen yaitu KH Ahmad Mutamakkin.
Di
tengah kebingungannya itu, Paejan bertemu dengan salah seorang santri senior
Pesantren al-Hikam asal Kalimantan yang sudah lama tinggal di Kajen dan tahu
banyak tentang sejarah Mbah Mutamakkin dan berbagai peninggalannya, yaitu Kang
Kasan. Dari Kang Kasan dan dari berbagai kejadian, sedikit demi sedikit Paejan
memahami makna gambar Kuntul Nucuk Mbulan.
Kuntul
merupakan
seekor burung yang bisa hidup di mana saja dan pemakan apa saja (omnivora). Ia
memiliki sifat qona’ah atau ---kata orang Jawa--- nrima ing pandum. Karena
sifatnya yang demikian, ia pun memiliki kekuatan untuk selalu tirakat, yakni
meninggalkan hal-hal yang tidak berguna untuk mencapai segala tujuannya. Kuntul
Nucuk Mbulan adalah perlambang bahwa manusia harus selalu tirakat jika ia
ingin diangkat derajatnya (dilambangkan dengan: terbang) dan mampu mencapai
segala tujuan (dilambangkan dengan: mematuk cahaya rembulan). Cahaya rembulan
berbeda dengan cahaya matahari. Cahaya rembulan itu lembut, indah, suci, teduh
dan menentramkan hati. Ia hanya ditemukan dalam malam yang selalu
menyembunyikan diri. Maka meskipun seekor kuntul itu terbang tinggi
sehingga mampu mematuk rembulan sabit yang bercahaya emas, ia tidak pernah
menampakkan diri apalagi menyombongkan diri.
Gambar
burung kuntul diberi warna biru memberikan makna bahwa seorang manusia
sejati harus mampu menyamudera dan mengudara seperti laut dan langit yang
berwarna biru. Laut adalah perlambang: hablun minan naas dan sifat
naasut (sifat-sifat kemanusiaan), sedangkan langit adalah perlambang: hablun
minallah dan sifat lahut (sifat-sifat keTuhanan). Jika
manusia mampu memadukan dan meleburkan keduanya, maka terjadilah apa yang
disebut Abu Manshur al-Hallaj dengan al-hulul, yakni Tuhan mengambil
tempat di dalam tubuh manusia ketika ia mampu melenyapkan sifat-sifat kemanusiaan
(nasut) yang ada di dalam dirinya. Sedangkan bulan sabit
bercahaya emas adalah perlambang bahwa siapa yang permulaannya bercahaya maka
pamungkasnya juga akan bercahaya, sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Athaillah: man
asyraqat bidayatuhu asyraqat nihayatuhu.
Dalam
perjalanannya selama mondok di Kajen di Pesantren al-Hikam yang diasuh Mbah
Jogo, Paejan mengalami berbagai kejadian yang sarat akan makna dalam kehidupan.
Pada
awal-awal mondok, Paejan harus belajar prihatain dan tirakat, karena
pada waktu itu kondisi ekonomi keluarga sedang kritis. Sebentar kemudian, ia
dicoba dengan rezeki yang melimpah karena Tuhan telah membuka lebar-lebar
rezeki Paejan sekeluarga. Ia pun leha-leha dan poya-poya. Sampai ketika Kuman
(nama aslinya Rohman) seorang teman yang biasa mengajaknya bersenang-senang
dapat hukuman berat, Paejan baru benar-benar taubat dari berfoya-foya
menghamburkan harta. Ia pun menyesal selama bertahun-tahun di Kajen belum bisa
apa-apa. Memaknai kitab saja tidak bisa, padahal ia sudah lama tinggal di
pesantren.
Api
penyesalan membuat semangat Paejan untuk membenahi diri berkobar-kobar. Ia pun
menjalankan syarat Mbah Jogo yang pernah ia tetapi kemudian ia abaikan, yaitu:
tirakat. Meninggalkan segala yang tidak penting dan segala yang mengganggu
dalam mencari ilmu, karena sementara ini tujuannya adalah mencari ilmu. Setiap
hari ia tidak pernah lepas dari kitab kuning. Lebih-lebih ketika Mbah Jogo
pengasuh pesantren sekaligus guru matapelajaran Tafsir Paejan di Perguruan
Islam Mathali’ul Falah (selanjutnya Matholek) menawari cara supaya para
siswa bisa cepat membaca kitab kuning. Caranya adalah ketika diajar tidak boleh
memaknai, boleh memaknai ketika sudah berada di pesantren. Anehnya, cara itu
hanya berlaku untuk Paejan karena hanya ia yang meng-insyaallah-i tawaran Mbah
Jogo.
Di
tengah-tengah kesibukan Paejan bergelut dengan kitab gundul dan makna
gandul, ia dicoba Tuhan dengan seorang gadis cantik jelita bernama Najwa
Kamila yang ia kenal melalui surat-surat bangku. Najwa Kamila yang artinya
adalah bisikan yang sempurna ternyata mengganggu kekhusyukan Paejan dalam
belajar dan bergelut dengan kitab kuning. Meski tak pernah bertemu, bisikan Najwa
Kamila selalu mendesis di hatinya. Lama-lama ia merasakan apa yang acapkali
dirasakan para remaja dan orang dewasa: cinta! Cinta itu membuatnya semakin
rajin belajar karena Najwa Kamila adalah seorang bintang sekaligus bunga
madrasah. Paejan merasa harus mengimbangi Najwa Kamila jika ia ingin
mendapatkan cintanya. Kemudian ia bersama-sama teman-temannya menggagas sebuah halaqah
diskusi dan musyawarah yang bertujuan untuk melestarikan budaya pesantren
yang makin lama makin tergerus arus globalisasi. Kitab kuning dan musyawarah
dipandang sudah tidak menarik lagi semenjak internet dan handphone merebak
di kalangan santri. Halaqah ini diberi nama MAKHROJAN yang
artinya adalah sebuah jalan keluar. Sebenarnya MAKHROJAN adalah singkatan dari
nama-nama pendirinya, yaitu: MAkky, Kuman, Haikal, ROfiq, dan paeJAN.
Cinta
kepada Najwa membuat semangat Paejan untuk meningkatkan dan menampakkan diri
semakin menggebu. Digagas olehnya sebuah ide untuk membangunkan Bulletin Bahasa
Arab yang sudah tertidur selama puluhan tahun. Diajaknya beberapa teman untuk
meng-goal-kan misi ini. Ia terinspirasi seekor kuntul atau bangau
yang ketika di angkasa terbang secara bersama-sama membentuk sebuah panah yang
kukuh menuju satu titik kendati angin melawannya dengan hembusan kuat lagi
kencang. Paejan berkata kepada Najwa bahwa Najwa bukanlah duri yang menancap di
kaki sehingga mengganggu jalannya kaki, tetapi Najwa adalah kaki itu sendiri.
Kaki yang membuatnya mampu berdiri, melangkah hingga berlari. Halaqah musyawarah
MAKHROJAN yang Paejan gagas bersama teman-temannya semakin hari semakin
bertambah banyak anggotanya. Sedangkan bulletin Bahasa Arab yang ia bangunkan
dari tidur panjangnya terjual laris di pasaran.
Di
akhir-akhir masa studinya di Matholek, saat ia duduk di kelas 3 aliyah
sebuah kejadian besar menggoncang jiwanya. Bapak Paejan meninggal dunia. Paejan
berpikir bahwa sekarang ia harus tinggal di rumah untuk menggantikan tugas
Bapak sebagai tulang punggung keluarga. Tetapi Ibunya menolak. Sang Ibu justru
sangat kecewa jika Paejan putus ngaji di tengah jalan. Paejan bingung. Sampai
ketika Ibunya mengungkapkan sebuah rahasia tentang Paejan yang tak pernah
diceritakan kepada siapa-siapa, ia baru mantap dan yakin untuk kembali lagi ke
Kajen. Dahulu, saat Paejan masih dalam kandungan usia 4 bulan, sang Ibu pernah
bermimpi didatangi seekor burung bangau bermahkotakan bulan sabit emas yang
cahayanya begitu indah dan begitu terang. Anehnya, burung bangau itu tidak
sebagaimana yang lazim dilihat banyak orang, karena ia berwarna biru. Bangau
biru itu tiba-tiba menundukkan kepala dan mempersembahkan mahkota kepada sang
Ibu. Sang Ibu menafsirkan, bahwa kelak anak yang dikandungnya itu akan menjadi
seorang ahlul quran yang mampu mempersembahkan sebuah mahkota yang
sinarnya lebih indah dari sinar sang surya kepadanya dan suaminya kelak di hari
kiamat. Sebenarnya Paejan pernah disarankan Bapaknya untuk menghafalkan
al-quran kepada Mbah Jogo, tetapi dulu Paejan menolak. Dan sekarang, karena
rasa bersalahnya kepada Bapak membuncah, maka tumbuhlah semangat berjuang
Paejan untuk menjadi seorang ahlul quran sebagaimana yang diinginkan
Bapak dan juga Ibunya. Akhirnya ditempuhlah jalan untuk menghafalkan al-quran
pada awal-awal kelas 3 Aliyah.
Najwa
Kamila yang sudah lama tidak pernah berkirim surat bangku kepada Paejan karena
tidak pernah sebangku lagi sejak kelas 1 aliyah, tiba-tiba mengucapkan selamat
ulang tahun dan memberi Paejan sebuah kado yang ditaruh Najwa di laci meja
Paejan. Makky teman dekat Paejan yang memiliki rasa kepada Najwa tetapi selalu
diabaikan dan ditolak mengambil kado itu dan melaporkannya kepada komisi
disiplin (komdis) siswa. Disidanglah Paejan oleh guru-guru komdis. Kasus itu
dilaporkan kepada Mbah Jogo pengasuh pesantren yang ditempati Paejan beserta
barang bukti berupa kado dan sebuah surat yang ditempelkan di luar kado itu.
Paejan takut dan bingung. Setelah mengaji al-quran, ia dipanggil Mbah Jogo.
Anehnya, Mbah Jogo tidak memarahinya. Bahkan, Mbah Jogo malah memberikan kado
itu kepada Paejan sembari menasehati bahwa memperjuangkan al-quran selalu diuji
dengan banyak cobaan termasuk juga perempuan. Kemudian Mbah Jogo meminta Paejan
agar tidak mengulanginya lagi. Setelah dibuka, ternyata kado itu berisi 3 jilid
kitab Faidhul Barakat fi Sab’il Qiraat karya KH Muhammad Arwani Amin
yang dibeli Najwa hanya untuk Paejan sewaktu mengaji posonan di Pesantren
Yanbu’ul Quran Kudus.
Setelah
kejadian itu, Paejan tidak pernah membalas surat yang dikirimkan Najwa. Ia
fokus belajar dan belajar agar hasil akhir maksimal. Suatu ketika ia ditawari
Ustadz Itqan munaqisy (penguji) karya tulis arabnya untuk melanjutkan ke
Universitas Islam Madinah. Syaratnya harus menjadi mutakhorrijin (lulusan)
terbaik, nilai karya tulis arab terbaik, dan meraih predikat mutafawwiqah (summa
cumlaude) dalam daurah (kursus) Bahasa Arab. Ia pun memacu diri untuk
menggapai apa yang dimimpi. Mbah Jogo yang melihat Paejan mengebut dalam
mengaji al-quran agar lekas khatam, menasehati Paejan bahwa semakin banyak yang
dihafalkan maka semakin banyak pula yang harus dijaga dalam ingatan dan
diamalkan dalam perbuatan. Mbah Jogo mengijazahi Paejan agar ia mendaras
al-quran minimal 3 juz dalam semalam di dalam shalat malam. Dengan sekuat
tenaga Paejan berusaha mengamalkan apa yang diijazahkan kyainya itu.
Di
akhir tahun Paejan meraih segala yang disyaratkan oleh Ustadz Itqan untuk
mendapatkan beasiswa ke Universitas Islam Madinah. Tetapi ketika kesempatan
meneruskan ke Madinah itu diungkapkan Paejan kepada Ibunya, sang Ibu menolak
karena tidak bisa jauh dari Paejan. Dengan berat hati, Paejan melepaskan impian
meneruskan ke Madinah yang sudah ada di depan matanya itu. Yang lebih
menyakitkan, ternyata kuota beasiswa ke Universitas Islam Madinah untuk Matholek
ada dua orang. Yang satu diraih oleh Paejan. Dan yang satunya diraih oleh
Najwa. Tetapi karena Paejan tidak bisa, maka digantikan oleh Makky yang menjadi
mutakhorrijin terbaik kedua. Najwa pun menjadi begitu kecewa dan mengungkapkan
segala yang dirasanya kepada Paejan dalam sebuah surat. Surat itu lagi-lagi
tidak bisa dibalas oleh Paejan karena janjinya kepada Mbah Jogo. Dan pergilah
Najwa bersama Makky ke Madinah, kemudian mereka berdua menikah di sana.
Saat
hati begitu sakit dan begitu patah, Paejan mengabdikan seluruh hidup dan
waktunya untuk al-quran. Mbah Jogo menyarankan agar ia meneruskan mengaji
al-quran qiraah sab’ah kepada Mbah Jogo. Kado yang pernah diberikan
Najwa berupa 3 jilid kitab Faidhul Barakat itu pun digunakan
Paejan untuk mengaji qiraah sab’ah kepada Mbah Jogo. Sutau ketika,
Paejan mendapatkan hadiah haji gratis dan kesempatan untuk mengampanyekan
produk ulama nusantara setelah ia memenangi lomba proyek penulisan dan eskavasi
naskah ulama nusantara yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama Republik
Indonesia. Tulisannya berjudul “Faidhul Barakat: Upaya Kyai Arwani
Membumikan Ilmu Qiraat” membawanya ke tanah suci. Di tanah suci, mulut
Paejan tidak henti-hentinya melafalkan ayat-ayat suci al-quran. Ketika ia sedang
shalat malam sembari mendaras al-quran sebagaimana yang diijazahkan Mbah Jogo,
tiba-tiba ada cahaya begitu terang menerangi sekelilingnya. Dari balik
cahaya itu muncul seorang manusia yang tengah mendekatinya! Cahaya yang
mengiringinya menyeruak kemana-mana hingga Paejan tidak mampu melihat kecuali
dirinya dan orang itu. Ia kemudian berdiri di samping Paejan. Menirukan seluruh
gerakan shalatnya. Saat salam, betapa kaget dan terkejutnya Paejan mendapati
dirinya utuh dalam wujud lain di sampingnya saat ini. Antara sadar dan tidak,
orang itu menjabat tangan Paejan, kemudian memeluknya erat dan berkata pelan.
“Akulah qarin-mu[2], yang
selalu menyuarakan kebenaran dan kebaikan dalam dirimu. Akulah sirr[3] yang ada dalam
bacaan al-quran yang senantiasa engkau istiqomahkan. Akulah sekeping diantara
dua burung bangau yang mematuk cahaya rembulan sabit emas dari dua sisi, agar
letak bulan sabit seimbang sehingga mampu menangkap segala isyarat Ilahi dengan
tanpa bimbang.”
Setelah
mendengar kata-katanya, Paejan tidak sadarkan diri di tanah suci.
Mbah Mutamakkin
yang mengikat diri untuk mengeluarkan nafsu dari dalam dirinya telah menuntun
Paejan yang senantiasa menyucikan diri dengan kalam ilahi untuk mengeluarkan
jatidiri dalam wujud dirinya yang lain. Saat lahut dan nasut menyatu,
maka saat itulah man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa robbahu berlaku.
[1] Kalau ingin anakmu sembuh,
mandikanlah air Kajen!
[2] Lihat QS Qaf: ayat 27. Qarin
secara harfiyah artinya teman. Secara istilah berdasarkan ayat 27 Surat Qaf
tersebut dapat dimaknai sebagai teman yang tidak nampak yang ada di dalam
setiap diri manusia yang senantiasa menyerukan kepada kebaikan. Dalam ayat 27
Surat Qaf tersebut, ketika seorang manusia dimasukkan kedalam neraka, qarin-nya
berkata bahwa ia tidak menyesatkannya (ia sudah berusaha untuk menyerukan
kebaikan tetapi diabaikan manusia). Dalam budaya spiritual Jawa, dikenal
istilah “Bala Tuwa”, yang maknanya mirip dengan qarin.
[3] Rahasia. Bisa dimaknai sebagai khadam.
Setiap wirid memiliki sirr sendiri-sendiri yang ketika diamalkan
secara istiqamah, sirr itu bisa muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar