Selasa, 03 November 2015

"Omah Kayu" (Sebuah Cerpen)



Oleh: Sahal Japara

Hujan belum lagi turun. Kemarau panjang membikin Pak Tani meradang, karena kedatangannya selalu mengubah sawah menjadi ladang. Ia cangkuli tanah yang sudah kering kerontang dan gersang itu. Batang-batang pohon ketela yang tak dikeringkan untuk menjadi kayu bakar, ia tancapkan satu persatu. Pak Tani masih percaya kalau tanah airnya adalah surga. Walaupun kemarau begitu panjang layaknya naga, Pak Tani percaya bahwa tanah-tanah kering itu masih menyimpan sebuah telaga.
Terik mentari semakin meninggi. Panas pun semakin menjadi-jadi. Caping yang dikenakan Pak Tani hanya melindungi kepalanya. Sedang kaos oblong yang dikenakannya masih menyisakan separuh dada, leher dan separuh tangannya hingga bebas dijamah mentari. Celana pendeknya tak sampai mata kaki. Ada perbedaan yang sungguh kentara, antara anggota badan Pak Tani yang tertutupi dengan yang langsung terkena sengatan matahari. Separuh hitam kecoklatan, separuh lagi cokelat sawo matang.  
Sudah. Sekarang sudah waktunya istirahat Pak Tani. Jangan engkau paksa dirimu dengan hal-hal yang membuatmu merasa berat terbebani.
Pak Tani akhirnya pulang dengan membawa batang-batang ketela yang masih tersisa. Ukh, rasanya, angin yang menerpa Pak Tani meniupkan uap-uap neraka. Panasnya tiada terkira. Melihat omah kayu-nya dari kejauhan, Pak Tani mempercepat langkah-langkahnya. Bukan, omah kayu Pak Tani bukanlah rumah kayu yang menempel di pohon, yang belakangan menjadi salah satu destinasi wisata para wisatawan. Omah kayu Pak Tani masih menempel di tanah, bahkan lantainya pun menyatu dengan tanah. Dindingnya kulit-kulit bambu yang teranyam menjadi satu. Atapnya dedaunan rumbia yang diikat rapat menjadi satu, yang disangga sebagian oleh batang pohon kelapa, sebagian oleh batang pohon mangga, dan sebagian yang lain disangga oleh batang pohon bambu. Jendela dan pintunya adalah kumpulan kekayu, yang semula tiada guna kemudian ia tambal menjadi satu.
Meski hanya omah kayu, Pak Tani sangat nyaman tinggal di sana. Atap rerumbia dan dinding kulit bambu di waktu kemarau panjang mampu menyaring uap neraka yang tertiup angin, sehingga yang masuk ke dalam rumah hanyalah belaian angin yang sejuk lagi ramah. Kala musim penghujan datang, atap rerumbia layaknya selimut omah kayu yang menghangatkan Pak Tani dari pelukan udara dingin.
Bukan hanya Pak Tani yang dibikin nyaman tinggal oleh omah kayu. Hewan-hewan ternak Pak Tani pun merasa nyaman dan enak. Dalam dekapan omah kayu, mereka sering tertidur nyenyak dan jenak, walaupun sebenarnya mereka tak pernah kenyang semenjak sawah Pak Tani menjadi ladang. Kalau boleh dikata, omah kayu Pak Tani dibangun atas dasar rahmatan lil ‘alamin, wujud kasih sayang Tuhan untuk alam semesta. Semua unsur kehidupan yang berbeda terajut menjadi satu kesatuan yang padu untuk menebar cinta penuh makna kepada yang lainnya. Ia mirip firman Tuhan yang berabad-abad lalu dibumikan oleh sang pembawa pesan, Baginda Muhammad SAW. Apakah itu? Ummah! Betul, omah Pak Tani seperti pengertian ummah yang menurut beberapa cendekia tak pernah dikekang untuk siapa, dan tak pernah dibatasi kapan waktunya. Semua boleh masuk dan hidup merdeka di sana selama patuh pada norma-norma. Adapun kayu yang terajut menjadi satu dalam omah Pak Tani itu, terdengar seperti mantra seorang murid Kyai Kholil Bangkalan yang berjalan di atas lautan sembari membawa sandal kyainya yang ketinggalan. Apakah itu? Kayu, sifat Sang Maha Hidup yang telah dijawa-madurakan oleh santri Kyai Kholil itu, yaitu: Hayyu! Omah kayu, ummah hayyu, sebuah tempat dimana siapa saja bisa hidup dengan merdeka, tinggal dengan aman dan nyaman sampai kapan pun jua.
Pak Tani merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu, setelah melepas caping dan menggantungkannya di paku yang menancap di saka penyangga omah kayu. Ia lepaskan segala kepedihan. Ia hempaskan segala kepenatan. Uap-uap neraka yang menerpa Pak Tani di luar sana, tak kuasa masuk menembus pedalaman omah kayu. Baginya, omah kayu adalah surga. Dan di surga, takkan ada uap neraka. Uap neraka saja tiada, apalagi percikan apinya? Tentu takkan pernah ada! Pak Tani pun tertidur dengan lelapnya.  
“Arghhh!!!”
Tiba-tiba Pak Tani berteriak, setelah tertidur beberapa saat.
“Siapa mencubitku tadi???”
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Siapa???”
Ia cari-cari, siapa yang baru saja mencubitnya? Tiada yang menjawab. Sepi!
“Siapa yang baru saja mencubitku??? Siapa yang membangunkan tidur siangku??? Berani-beraninya masuk omah kayu-ku tanpa seizinku!”
Benar-benar sepi. Tak ada yang menjawab.
Digeragapinya bagian tubuh yang baru saja dicubit oleh entah siapa. Dielus-elus sebentar, kemudian Pak Tani tidur lagi seperti sedang tidak terjadi apa-apa. Tidur siang di musim kemarau menjadi sebuah kewajiban bagi Pak Tani untuk meng-charge energy agar kuat melanjutkan usaha tanpa tanda jasanya sampai senja hari.
“Argghh… Kurang ajarrr! Siapa yang mencubitku lagi??? Siapa yang menusuk punggungku???”
Pak Tani kembali terbangun. Kali ini, ia amati tempat di mana ia merebahkan tubuh.
“Kurang ajarrr!”
Dilihatnya hewan kecil hitam seukuran semut tengah berjalan dan nampak mengejeknya. Seketika Pak Tani mengambil sebatang kayu ketela yang belum sempat ia tancapkan di sawahnya yang telah menjadi ladang.
Praaaakk! Praaakkk! Praaakk!
Sebatang kayu ketela itu dipukulkan Pak Tani berulang-ulang ke dipan.
“Mati kau! Siapa kamu? Berani-beraninya mengganggu tidur siangku!”
Apa? hewan kecil hitam itu telah hilang!
“Keluar kau! Jangan sembunyi! Keluarrr!”
Praaak! Praaak! Praaak!
“Mati kau! Uhuk… Uhuk…”
Pak Tani memukuli dipan kayunya yang sudah lapuk sampai terbatuk-batuk, sampai puas melampiaskan segala amarahnya yang seketika mengemuka sejak digigit hewan kecil hitam itu. Omah kayu yang semula mampu memfilter uap-uap neraka, sekarang telah lumpuh tiada daya. Celah-celah kecil di dinding bebambu, atap rerumbia, tambalan kayu pintu dan jendela, bahkan lubang-lubang kecil di hati dan fikiran Pak Tani tiba-tiba menjadi jalan masuk uap neraka yang menghilangkan kesejukan di dalam omah kayu dalam beberapa menit saja. Udara surga tiba-tiba menghilang entah kemana. Apa yang sekarang dihisap Pak Tani, juga hewan-hewan yang tengah berteriak ketakutan karena mendengar kemarahan Pak Tani, bukanlah udara surga, melainkan uap-uap neraka.
“Arggghhh! Kurang ajarrrr!”
Tiba-tiba Pak Tani berteriak lagi. Kali ini lebih kencang. Yang semula punggung, sekarang pantat Pak Tani yang diserang hewan kecil hitam itu karena pantat Pak Tani menempel di dipan. Ternyata hewan itu belum mati.
Praaak! Praaak! Praaak! Prakkkk….!
Dipan lapuk yang dipukuli Pak Tani berulang-ulang kali itu akhirnya patah.
“Mati kau!!!”
Praaak! Praaak….!
Tangan Pak Tani sudah lemas. Nafasnya tersengal-tersengal antara capek, kesal dan sebal.
“Hufhhh… Hufhhhh… Hufhhh…”
Hewan kecil hitam itu muncul lagi dari sela-sela kayu dipan yang sudah lapuk sembari menari-nari di atas kayu dipan yang sudah hampir remuk. Amarah Pak Tani semakin berkecamuk. Diraihnya kembali sebatang kayu ketela untuk dipukulkannya kepada makhluk kecil kurang ajar itu, dan…
Praaakk….!
Kayu ketela yang dipegang Pak Tani patah. Pak Tani tak habis pikir. Mengapa hewan kecil hitam yang mengganggu tidurnya itu masih belum mati meski sudah dipukuli berkali-kali?
Kemarahan Pak Tani semakin menjadi-jadi.
“Api??? Iya, api akan membuatmu mati!”
Diambilnya sekotak korek api yang tersimpan di saku celana, kemudian Pak Tani menyulut api tepat dimana hewan menjengkelkan itu berjalan lamban sambil mengejek. 
“Hahahaha… Mati kau! Rasakan!”
Kelakar Pak Tani sambil tertawa terbahak-bahak. Benar. Api telah membuat hewan kecil hitam itu mati secara mengenaskan. Wujudnya benar-benar lenyap dilalap api.
“Arghhh…!”
Kenapa? Kenapa tiba-tiba Pak Tani menjerit lagi?
Rupanya, lagi-lagi ada yang menusuk punggung Pak Tani saat ia bersandar di dinding. Pak Tani menoleh dan mendapati seekor hewan kecil berjalan pelan-pelan di sela-sela dinding bebambu. Seketika amarahnya memuncak. Yang dikira sudah mati, ternyata punya banyak teman yang berusaha untuk melawan.
“Kurang ajar! Sejak kapan kau tinggal di omah kayuku ini? Siapa yang memanggilmu kesini? Hah? Cepat pergi kau! Ke neraka! Dan jangan kembali lagi!”
Disulutnya api tepat dimana hewan kecil hitam itu berjalan. Dan lenyaplah hewan kecil hitam itu dimakan api. Amarah Pak Tani masih berkobar-kobar di dalam dada. Tidur siang wajib yang selalu ia lakukan saat tengah hari, tiba-tiba dirusak hewan kecil hitam yang orang-orang menyebutnya dengan kutu kasur atau tinggi. Hanya karena seekor tinggi, Pak Tani sudah tidak lagi merasa aman tidur di dalam rumah. Ia pun keluar, kemudian menggelar tikar di bawah pohon. Dilanjutkannya tidur siang wajibnya, seakan tidak terjadi apa-apa. Pak Tani terlelap untuk menyambung mimpi-mimpi yang masih belum selesai.
Beberapa menit kemudian, hewan-hewan ternak dan piaraan Pak Tani berteriak.
Betokkk, betokkkkk, betooookkkk…!
Ayam-ayam berkotek.
Ngogghh,…. Ngoggggghhh…!
Sapi-sapi melenguh.
Embeeeekkk… Embeeekkkk…!
Kambing-kambing mengembik.
Meoooonggg… Meonggggg…!
Dan kucing-kucing mengeong.
Teriakan mereka terdengar begitu kencang. Sepertinya, mereka bukan sedang berteriak meminta makan, karena mereka bukan hewan manja. Lalu, karena apa? Astaga, ternyata mereka berteriak minta tolong! Pak Tani yang balas dendam karena tidur siang wajibnya terganggu, sama sekali tak mendengar teriakan ternak dan piaraannya.
Sisa-sisa api yang digunakan untuk membakar tinggi di dipan lupa dipadamkan oleh Pak Tani. Walhasil, omah kayu Pak Tani bukan hanya penuh oleh uap neraka, tetapi sudah dilalap habis api yang tersulut karena murka.
Ya Allaaah Gusti! Ya Allah Gusti!
Pak Tani terbangun dan kaget bukan kepalang mendapati omah kayu surganya telah berubah menjadi neraka. Kedua matanya dikucek-kucek untuk memastikan apakah yang dilihatnya itu benar-benar terjadi, atau hanya mimpi belaka.
“Astaghfirullaaah… Gusti! Gusti! Nyuwun pangapunten Gusti!
Pak Tani beristighfar melihat omah kayu, tempat ia merebah, tempat ia beristirahat, tempat ia berteduh dari sengatan matahari, tempat ia mencari kehangatan di musim penghujan dan malam hari, tempat ia menumbuhkan telaga di dalam hati saat kemarau panjang menerjang tiada henti, tempat ia menepikan uap-uap neraka tatkala angin kemarau menghembuskannya kemana saja, omah kayu itu dalam sekejap habis dilalap kobaran api.
“Ya Allah… Mengapa semua jadi begini? Hamba mohon ampun Gusti!”
Pak Tani meratap sembari menatap lekat-lekat omah kayu surganya dibumihanguskan percikan murka neraka. Ia tak tahu harus meminta tolong kepada siapa, karena Pak Tani tak memiliki tetangga dekat. Ia tak tahu bagaimana caranya memadamkan kobaran api, sementara sumur dan sungai dekat rumahnya sudah tiada air lagi. Pak Tani hanya mampu menelan ludah. Siapa tahu air ludah yang tertelan mampu memadamkan api rasa yang sedang bergejolak di dalam jiwa. Pak Tani telah benar-benar kehilangan omah kayu surganya beserta hewan ternak dan piaraannya hanya karena seekor tinggi.
“Jangan jadi Pak Tani yang secara tidak sadar membakar omah kayu-nya sendiri hanya karena digigit tinggi!
Kyai Wahid tokoh pemuka agama di kampung Damai Sentausa menasehati dua kelompok agama yang tengah bertikai hanya gara-gara masalah sepele, setelah panjang lebar menceritakan tentang omah kayu Pak Tani tetangga desa yang secara tidak sadar dibakar sendiri beberapa hari lalu karena seekor tinggi.
“Mari kita jaga bersama kampung kita, rumah kita, negara kita dan surga kita. Jangan mau diadudomba oleh fihak-fihak yang menginginkan kita terpecah belah, lalu saling serang dan saling perang antara satu dengan yang lain. Al-quwwatu fil-ittihad wadh-dhu’fu fit-tafarruq, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Bangsa kita mampu merdeka, karena para pendahulu senantiasa mencari-cari persamaan antar suku, antar agama dan antar budaya untuk dipertemukan dan dipersatukan di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka selalu menepikan perbedaan yang justru memisah, memecah dan membelah persatuan NKRI. Jangan hanya gara-gara tinggi, hanya gara-gara masalah sepele dan isu yang tidak pasti, kita dengan mudahnya mengkafirkan dan menyerang kelompok lain yang tidak sepaham. Sekali-kali jangan! Jika ingin Indonesiamu, negaramu, bangsamu, rumahmu dan omah-mu tidak terbakar karena tangan-tanganmu sendiri. Mereka semua, pihak-pihak yang menginginkan kita terpecah belah, selalu menebar-nyebarkan tinggi si kutu busuk untuk menggigit pikiran dan hati kita. Tujuannya apa? Agar api amarah dalam diri kita berkobar, lalu membutuhkan kayu bakar yang tak lain adalah saudara kita sendiri. Ingatlah selalu, bahwa kita adalah saudara se-udara, sekumpulan manusia yang menghirup udara sama, maka jangan kotori udaramu dengan uap-uap neraka, jika tak ingin semua mati karena sesak dada. Jangan gampang mencela dan memaki orang lain. Memaki umat beragama lain saja dilarang Tuhan, apalagi memaki saudara muslim yang berbeda faham? Wala tasubbul ladziina yad’uuna min duunillaahi fayasubbullaaha ‘adwan bighairi ‘ilmin, jangan memaki orang lain kalau tak ingin dimaki. Jangan membakar rumah orang lain, kalau tak ingin rumahmu terbakar sendiri.”       
Dua kelompok agama yang bertikai beserta pemimpinnya mendengarkan dengan khidmat nasehat kyai yang sangat disegani di kampung Damai Sentausa itu karena usaha gigihnya dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Namanya Kyai Wahid, artinya “satu”, suka mempersatukan dan membingkai perbedaan dalam kesatuan.    
“Indonesia adalah omah kita yang harus dijaga dan dilestarikan secara bersama-sama. Mengapa saya katakan omah, bukan rumah? Karena omah lebih dekat dengan kata ummah yang biasa diartikan umat, bangsa atau masyarakat. Bukan hanya itu, kata ummah lebih luas dari sekedar umat, bangsa dan masyarakat, karena ia bisa memberikan kehidupan merdeka kepada siapa saja dan kapan saja. Tidakkah kalian lihat? Tatkala Abbasiyah mencapai puncak keemasan, tatkala Andalusia menggapai puncak peradaban, apakah mereka lebih mengurusi perbedaan dalam diri mereka, yang justru memantik perpecahan hingga terjadi peperangan yang membuat para ulama, para intelektual dan para ilmuan mencurahkan segala daya upayanya hanya untuk mencapai perdamaian? Bukan malah memajukan peradaban? Bukan malah mengembangkan keilmuan? Apakah mereka lebih mementingkan perihal yang demikian? Tidak! Karena tidak mungkin peradaban islam maju dan berkembang di atas perpecahan. Bagaimana mungkin gelas yang retak bisa menampung air dengan utuh dan penuh? Bagaimana mungkin? Kemajuan peradaban islam bukan serta merta soal politik dan perluasan kekuasaan. Sekali-kali bukan! Apalagi jika kekuasaan diraih dengan menumpahkan darah saudara sendiri, dengan menjadikan agama sebagai kedok dan dalih. Maka yang terjadi bukanlah memurnikan dan mensucikan agama, tetapi malah sebaliknya, yakni menistakan dan mengotori agama dengan menumpahkan darah saudara sendiri.”
Semua yang hadir di dalam ruangan menunduk takluk menghadapi nasehat Kyai Wahid yang laksana hujan, membasahi tanah gersang kering kerontang, hingga hati nurani mereka bergetar hidup dan amarah mereka menjadi redup. Mata mereka mulai berkaca-kaca dan basah oleh hujan nasehat Kyai Wahid yang teduh menentramkan jiwa.
“Di dalam ummah, terdapat al-umm dan al-imam. Untuk menjaga omah kita agar tetap lestari, kita harus meneladani sifat-sifat al-umm, yaitu ibu yang dengan teliti menjaga segala yang dimiliki, serta menjadi empu dari segala sesuatu. Ibu yang menjadi surga yang selalu merindukan penghuninya, Ibu yang menjadi samudera yang menutupi aib anak-anaknya, Ibu yang menjadi angin segar di kala panas terasa cetar, dan Ibu yang menjadi selimut di kala dingin membuat badan manusia menggigil dan bergetar. Mengapa tanah air kita dinamakan ibu pertiwi? Mengapa kota yang menjadi pusat pemerintahan dinamakan ibukota? Tidakkah kalian fikirkan, mengapa bisa demikian? Karena al-umm atau ibu adalah pusat tempat bertumpu segala sesuatu. Bukankah surga ada di telapak kakinya? Bukankah sifat Rahim Tuhan tersimpan di dalam dirinya? Kasih sayang! Jika kita mampu mengasihi dan menyayangi siapapun tanpa terkecuali, maka besar kemungkinan omah yang kita tempati ini akan menjadi al-imam atau pemimpin di kemudian hari. Pemimpin dengan kasih sayangnya akan terangkat dengan sendiri, sedangkan penguasa dengan angkara murkanya akan hancur-lebur sebentar lagi. Pada waktunya nanti, sejarah akan mencatat mana yang menjadi pemimpin sejati dan mana yang hanya menjadi penguasa dengan semena-mena. Sejelek-jelek Indonesia, jika dibangun atas dasar taqwa, maka akan senantiasa damai sentausa. Sebaik-baik Indonesia, jika dibangun atas dasar angkara murka, maka akan lekas hilang dan binasa. Mari kita rawat dan kita ruwat bersama omah besar kita ini dengan taqwa, etika dan tatakrama.”
Kyai Wahid kemudian mengajak dua kelompok yang sebelumnya berseteru karena masalah ranting kecil dalam pohon besar agama itu untuk saling memaafkan dan menyambung kembali tali jiwa yang telah rantas dan hampir putus karena percikan api yang makin hari makin besar karena ditiupi tinggi-tinggi yang pandai bersembunyi di celah-celah mereka.
Jangan hanya karena tinggi yang menggigit dan mengganggu tidur-siangmu, dengan mudahnya kau bakar seluruh omah kayu-mu dengan tanpa sadar. Jangan hanya karena kata orang tentang kejelekan saudaramu, dengan mudahnya kau rendahkan dan kau hancurkan saudaramu dengan tanpa sabar. Wallahu fi ‘aunil ‘abdi, maa daamal ‘abdu fi ‘auni akhiihi…

Temas, Senin 02 November 2015.
Ditulis tatkala uap-uap neraka mengotori udara Indonesia.          
         
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar